Kedatangan yang Mencekam
Aku tiba di lobi hotel tua itu pada senja keruh, membawa koper beroda yang berderit di atas ubin retak. lukisan di dinding hotel terpajang di balik resepsionis—seorang wanita anggun dengan gaun putih lusuh, tatapannya kosong. Pemburu bayangan di wajahnya tampak seolah menjerit tanpa suara. Saat aku menatapnya, seketika aura dingin merayap ke tulang belakang. Lampu gantung di langit-langit berayun perlahan, menciptakan tarian bayangan di dinding. Tanpa kusadari, kerikil di tangga belakang bergetar di bawah langkahku. Sejak detik itu, kengerian perlahan merambat ke setiap sudut kamar.
Suara Langkah Tanpa Jejak
Setelah menerima kunci kamar—nomor 213—langkahku meniti lorong panjang penuh karpet lusuh. Dinding-dindingnya ditempeli lukisan di dinding hotel yang sama, berulang-ulang. Semakin jauh, semakin jelas aku mendengar ketukan sepatu hak runcing yang berjalan mengikuti langkahku. Namun saat kulirik ke samping, lorong kosong melompong. Transisi antara rasa penasaran dan kecemasan mengeras di dadaku. Aku menoleh sekali lagi; tak ada satu pun tamu lain. Ketukan itu terus bergema, menuntunku ke pintu kamarku, seakan tamu misterius itu ingin masuk bersamaku.
Mata yang Bergerak di Kegelapan
Begitu memasuki kamar, kupasang lampu meja, tetapi sudut ruangan tetap pekat. Di atas ranjang, tergantung lukisan di dinding hotel—sosok wanita yang kini aku sadari bukan satu-satunya; ada puluhan versi menatapku. Lampu berkelip, dan setiap kali redup, matanya di lukisan yang berbeda seolah berpindah, menutup dan membuka secara bergantian. Detik pertama aku merasakan denyut jantung kusut, dan keringat dingin mengalir di pelipis. Sebuah bisikan remang terdengar, memanggil namaku dengan napas berdesir. Kepalaku berdenyut, namun aku tak berani berpaling.
Bisikan Arwah yang Memanggil
Aku berusaha menenangkan diri, menutup mata, tetapi terasa seolah ada yang meniupkan udara dingin di samping leherku. Saat membuka mata, bibir wanita di lukisan sedikit bergerak—membentuk senyum pahit. Bisikan itu kembali:
“Lihat aku… atau aku akan melihatmu.”
Kata-kata itu terangkai di ambang kesadaran. Setiap kali aku menatap lukisan di dinding hotel, bisikan semakin kencang, menabuh genderang ketakutan di kepala. Aku meraba saku, mencari telepon, tapi tak ada sinyal. Hanya ada aku, lukisan, dan malam yang semakin pekat.
Pantulan di Cermin Retak
Dalam upaya melarikan diri, aku beranjak ke kamar mandi. Cermin di atas wastafel berderet retakan halus—seolah pukulan tangan tak terlihat telah menghancurkannya. Namun di balik retakan, aku melihat sosok berbeda: tubuhku yang pucat pasi, mata hitam legam. Sosok itu menatap balik, tanpa berkedip. Aku membalikkan badan, berharap menemukan pelaku, tapi kamar mandi tetap kosong. Ketika menoleh lagi, cermin itu hanya memantulkan diriku yang terbelah retakan. Queasy perut, aku merasa terjerat dalam labirin kaca yang memenjara napasku.
Dinding Berbisik Rahasia
Mengambil ember air, aku berusaha mencuci wajah agar pikiran jernih. Namun saat air menetes, terdengar suara gesekan di balik dinding. Bagaikan kuku mencakar kayu tua, suara itu setiap kali berhenti, berganti helaan napas terengah. Dengan senter kecil, aku menyorot setiap sudut—lukisan di dinding hotel di sekitarnya tampak menetes cat hitam pekat, seperti darah. Darah itu mengalir menuruni bingkai, menetes ke lantai. Bau besi keringat darah menusuk, membuatku hampir pingsan. Aku mundur, mendengar dinding mengerang pelan, membelai telingaku dengan bisikan lagi: “Keluar… tapi kau tak akan lepas.”
Pintu yang Terkunci Sendiri
Panik memuncak saat kulihat pintu kamar terkunci rapat, meski kukatakan “open” berulang kali. Gagang pintu bergetar seperti bernafas dan terkunci lebih erat. Di balik pintu, kulihat bayangan sosok wanita melintas cepat. Jantungku tercekat, dan lukisan di dinding hotel di lorong tampak berkedip—satu matanya menutup, lalu terbuka dengan sorot mematikan. Aku memukul pintu, menjerit, tetapi hanya terdengar gema suaraku sendiri. Denyut detik-detik di jam dinding terasa menahan nafasku.
Lorong Terbalik di Imajinasi
Aku menoleh dan menemukan koridor di dalam kamar—dindingnya memanjang tak berujung, seolah iman aku berjalan di lorong lain. Karpet hotel yang semula memerah kini pucat membiru, motifnya berubah menjadi pola tengkorak. Tiap langkahku meninggalkan jejak hitam yang segera lenyap, digantikan retakan kecil di ubin. Bayangan sosok putih bergerak di sudut pandangku, menolak diam jika aku menatapnya. Kedua mataku perih, dan aku tersedak ketakutan, berusaha mencari jalan keluar yang sebenarnya tidak ada.
Cahaya Remang di Langit-Langit
Tiba-tiba lampu plafon redup, meninggalkan hanya satu cahaya remang di pojok kamar. Sorot itu menyoroti lukisan di dinding hotel—sosok wanita tampak hidup, rambutnya melayang perlahan seperti direndam air. Gorden berdesir meski angin tidak masuk, dan suara kicau burung henti seolah malam tiba-tiba hadir di siang bolong. Aku terpaku melihat matanya—serta-merta, ia menutup hingga hanya kerah putih dan bahu tampak riak kecil. Ketika aku mendekat, perlahan dua tangan keluar dari bingkai, merayap ke arahku.
Tubuh yang Membeku
Aku terjatuh mundur, lututku mencium lantai dingin. Napasku memburu, seluruh otot menegang. Tangan dingin itu menyentuh telapak kakiku, mengalirkan hawa kematian. Aku menjerit dan merangkak—mencoba menjauhi lukisan itu. Namun semakin jauh aku merangkak, semakin dekat suara langkah di ruang tamu. Setiap detik, lukisan di dinding hotel membelai batas jiwa hidupku, menjerumuskan ke dalam kegelapan. Aku sadar, detik-detik genting itu bukan hanya permainan bayangan.
Dentuman Terakhir sebelum Fajar
Tiba-tiba lampu kamar berkedip putus nyala. Dalam kegelapan total itu, aku merasakan tubuhku melayang, ditarik ke depan oleh tangan dingin yang terjulur dari lukisan. Suara gemeretak kayu tua, dentuman di dinding, dan derap jantungku bersatu menjadi simfoni terkutuk. Lalu, keheningan memekik—semua suara sirna. Satu detik terasa seperti keabadian. Saat lampu menyala kembali, aku sudah berdiri di lobi hotel, tepat di depan resepsionis. lukisan di dinding hotel tampak normal, menyapa tamu baru tanpa ekspresi.
Kutukan yang Terus Berulang
Pagi menjelang, tamu lain datang mengantre di meja resepsionis. Aku menyeka keringat dingin, menatap kedua tanganku—tak ada bekas luka, tapi mataku merah. Tak berani menengok ke kamar 213, aku meninggalkan hotel itu tanpa baggage. Namun saat mobil melaju menjauhi bangunan tua, di kaca spion kulihat sosok wanita di kamar atas mengintip—matanya tertutup. Aku menelan ludah, dan bisikan terakhir bergema di kepalaku:
“Sampai kita bertemu lagi di lukisan berikutnya…”
Kesehatan : Medis Masa Depan: Inovasi Kesehatan yang Tersembunyi