Suara Sunyi yang Membekukan
Malam itu, nurse Rani menapaki lorong icu dengan napas tertahan. lorong icu terdengar begitu sunyi, hanya suara kempa langkahnya yang bergema di antara pintu tahan kedap suara. Namun, di ujung lorong, ada bisikan lembut seolah dari balik dinding, memanggil namanya. Seketika, udara di sekitarnya menyusut dingin—seolah lorong icu menghisap kehangatan darinya. Ketegangan itu menjadi pintu gerbang menuju mimpi buruk yang belum pernah ia bayangkan.
Tembok Berbisik
Setelah ronde ketiga, Rani melepas sarung tangan lateks dan menepuk-depukkan tangannya untuk menghangatkan pergelangan. Saat itulah ia merasakan getaran halus di dinding lorong. Telinganya menangkap suara detak jarum jam yang terdistorsi, seakan denyut nadi pasien berbaur dengan nada aneh. “Ada apa di ujung sana?” gumamnya. Namun, yang terjawab hanyalah desah nafas kosong. lorong icu makin terasa seperti mulut gua gelap, menelan setiap kilat harapan akan keselamatan.
Kilatan di Sudut Gelap
Kemudian, lampu koridor tiba-tiba berkedip, memperlihatkan sesosok bayangan melintas di sudut pandang Rani. Ia menoleh cepat, tetapi hanya tampak kursi roda tua yang terguling pelan. Suara roda bergesekan lantai terngiang, namun tak ada satu pun pasien atau staf lain yang terlihat. Dalam gugup, Rani melangkah mendekat—setiap langkahnya bergema dalam keheningan lorong icu. Ia tak menyadari, sesuatu yang hidup bersembunyi di balik tirai di kamar sebelah.
Detak Monitor yang Lumpuh
Selanjutnya, Rani memasuki ruang monitoring. Wall monitor yang biasanya menampilkan data vital tiba-tiba mati total. Layar hitam menebarkan kesunyian visual. Jantung Rani berdegup keras, memenuhi kekosongan. Ia meraih telepon genggam untuk mengabarkan gangguan, namun pulsa sinyal tampak hilang. “Tidak… ini tidak mungkin,” bisiknya panik. Tiba-tiba, suara alarm palsu berbunyi sekali, lalu hening kembali—lebih mengerikan daripada deru alarm berulang. lorong icu menuntut nyawa dalam keheningan.
Bisikan dari Lorong Pintu Terkunci
Di tengah kewaspadaan tinggi, Rani mendengar pintu otomatis di salah satu ujung koridor terbuka perlahan, meski sensor tak mendeteksi gerakan. Dari balik celah pintu, terdengar suara air menetes—tetapi di lorong steril, tak ada wastafel atau kran. Hanya sekilas, bayangan baju pasien putih melintas, lalu menutup pintu sendiri. Seketika, seluruh lampu ruang monitoring redup, seakan menandai dimulainya ritual gelap di lorong icu.
Jeritan Malam
Tak lama kemudian, teriakan panjang mengguncang keheningan—suara seperti manusia tercekik kesakitan, namun terdistorsi hingga terdengar seperti tangisan makhluk tak kasat mata. Rani berlari menembus kegelapan, pintu demi pintu diketuknya, memohon tolong. Namun, setiap ruang yang ia buka kosong, kecuali cermin dipasang di dinding, memantulkan sosok dirinya—namun dengan mata hitam pekat dan mulut terkatup rapat oleh kain kasa. Mata itu menatap balik, dan Rani merasakan serangan dingin merambat ke tulang sumsum.
Jejak Darah di Lantai
Dalam panik, Rani terperosok pada genangan cairan kental di lantai—darah segar yang menempel di sepasang tangan kecil. Ia menoleh, dan di ujung lorong, terlihat sosok bocah dengan tabung infus, melangkah tanpa suara. Bocah itu menoleh, menatapnya, lalu menghilang di balik dinding. Lembaran tipis kabut seperti menutup timbul tenggelam, memisahkan yang hidup dan mati. Rani tahu, lorong icu bukan sekadar koridor rumah sakit—ia adalah lorong antara dunia.
Pelarian yang Tertunda
Dengan segenap nyali yang tersisa, Rani menekan tombol panggil bantuan. Pintu darurat terbuka, memancarkan cahaya hijau redup. Namun, jalur menuju keluar terasa memanjang—seolah lorong berpindah tempat. Tangan dingin meraba bahunya; ia menoleh dan bertemu mata kosong sepasang pasien tak bernyawa. Sebelum sempat berteriak, Rani terhisap ke dalam kegelapan yang menjalar di dinding.
Bekas Luka yang Tak Hilang
Beberapa jam kemudian, satpam menemukannya tergeletak di pintu belakang rumah sakit, napasnya terengah. Rani sadar, ia selamat—tapi traumatanya abadi. Setiap kali lampu lorong icu berkedip, pikirannya melayang kembali ke malam itu. Ia menulis laporan, tetapi setiap baris kata seolah tak mampu menceritakan betapa menakutkannya lorong icu yang selalu dingin dan sepi. Dan di sudut hatinya, ia yakin: di balik setiap pintu rumah sakit, ada rahasia yang menunggu korban berikutnya.