Lorong Bayangan Kelam: Jeritan di Balik Kabut

Lorong Bayangan Kelam: Jeritan di Balik Kabut post thumbnail image

“Aku Berlari, Namun Bayangan Itu Terus Menguntit”


Bayangan Pertama

Namun, sejak langkah pertamaku menapaki lorong ini, bayangan kelam sudah terpampang jelas di sudut mataku. Kabut tipis menyelimuti lantai keramik retak, dan aroma antiseptik yang menguap lalu meninggalkan rasa dingin menelusup ke tulang belakangku. Saya menoleh, namun tak ada siapa-siapa—meski bisikan lembut terdengar semakin dekat.

Kehampaan Terdengar

Kemudian, lampu neon di atas kepalaku berderit hingga memekakkan, lalu padam sesaat sebelum menyala kembali. Sementara itu, pintu-pintu berkarat bergoyang perlahan, seolah didorong tangan gaib. Ketika aku mengayunkan senter seadanya, sorotnya menari menelusuri lorong panjang, bahkan hingga mencapai ujung yang tak terlihat.

3. Denting Jam Tua

Selanjutnya, aku mendengar denting jam tua di sudut ruangan—walapun tak ada jam yang terpajang—hingga membuat detak jantungku bergema. Tanpa disadari, jejak langkahku bercampur tetesan air yang menetes dari langit-langit. Suara itu… semakin menguat, seakan memanggil namaku dengan nada memelas.

Jejak Darah yang Membeku

Lalu, di atas ubin yang basah, kubuka senter lebih terang, hingga terlihat setitik noda merah. Jejak darah yang memudar, berkelok menuju kamar operasi tua. Aku melangkah pelan, terkadang mundur, namun rasa penasaran menjerat kaki ini untuk terus maju. Bahkan ketika aku hampir pingsan melihat kursi roda terbalik, napasku tetap tercekat untuk melangkah.

Bisikan di Balik Pintu

Hingga akhirnya, aku tiba di pintu yang terkunci rapat—padahal gagangnya sudah hilang. Dari balik relung tipisnya, kusematkan telinga dan terdengar bisikan parau:

“Bantu aku… bebaskan aku…”

Ekor bajuku tertarik dari dalam, namun tangan tak terlihat meraihku. Aku terjerat antara keberanian dan ketakutan, meskipun naluri survival memaksaku menjauh.

Sosok Tanpa Wajah

Tiba-tiba, kabut bergerak laksana makhluk hidup, membentuk sosok tinggi tanpa wajah. Ia melayang tanpa udara bergerak, sementara tubuhku seakan menempel di lantai dingin. Meskipun lampu neon berkedip, bayangan itu selalu muncul jelas, seolah membuktikan bahwa ia nyata.

Puncak Teror

Padahal detik itu, aku hanya ingin berlari menjauh, namun kakiku batu. Suara jeritan perempuan memecah senyap, bahkan rintihan anak kecil bergema, hingga lorong bagaikan hidup dan siap menelanku. Napasku terhenti. Saat itulah bayangan itu menempel di wajahku tanpa mulut, lalu menghisap seluruh kepercayaan diriku ke dalam kegelapan.

Keheningan Terakhir

Namun, saat lampu neon akhirnya padam total, semua sirna. Aku terjaga di lorong yang sama—hanya sendirian, dengan keheningan mencekam. Pintu kamarmu tertutup perlahan, menandakan bahwa cerita belum usai. Bahkan meskipun aku berlari keluar, bayangan kelam itu seolah berbisik satu hal:

“Sampai jumpa lagi…”

Makana Dan Perjalanan : Kuliner Khas Nias yang Wajib Dicoba Saat Berkunjung

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Post