I. Bayangan di Ujung Lorong
Lilitan ular menghantui pikiran Raka sejak pertama kali langkahnya menapak di gerbang pabrik tua itu. Namun, rasa penasaran memaksanya terus maju, meski mendadak dingin menyergap tulang-belulangnya. Sementara itu, deru mesin tua yang sudah lama mati membuat lorong panjang itu terbungkam dengan sunyi. Sesekali, getaran halus seakan menandakan sesuatu bergerak di antara reruntuhan pipa berkarat.
II. Desir Angin yang Membisik
Meskipun pintu logam sudah tergembok rapat, ia merasakan desir angin dingin menyusup melalui retakan kusen. Transisi dari keheningan ke kegelisahan begitu tiba-tiba. Cahaya senter Raka berkedip, lalu menyorot ke kiri dan kanan—namun tak ada apa-apa, kecuali bayangan samar berjuntai di dinding. Fokus keyphrase lilitan ular menghantui semakin nyata saat ia mendengar desahan lembut, seperti napas reptil.
III. Jejak Lekukan Licin
Selanjutnya, Raka menuruni anak tangga besi menuju ruang mesin. Tanpa diduga, ia terpeleset pada bekas tetesan cairan pekat. Kakunya meremas pegangan besi berkarat bagai tarikan nafas yang tertahan. Setelah berdiri, tatapannya tertuju pada jejak lekukan di lantai—berbentuk spiral sempurna, seperti sisik ular yang melilit sesuatu.
IV. Denting Logam yang Ganjil
Namun, sebelum ia sempat menelusuri lebih jauh, terdengar denting logam yang ganjil. Sekonyong-konyong, bayangan panjang bergerak di sudut pandang. Sementara Raka membeku, seekor ular besar muncul dari balik tumpukan drum, melilit sebatang pipa setinggi hampir empat meter. Lilitan ular menghantui membuat darahnya beku, padahal pisau kecil sudah siap di sabuk pinggangnya.
V. Nafas yang Membeku
Selanjutnya, ular itu menundukkan kepala, dengan mata hitam berlendir menatap Raka tanpa berkedip. Nafasnya yang berat menggema di lorong sempit, seolah menandakan bahwa makhluk itu hidup dari kegelapan. Ia menggeram lirih. Meskipun Raka tahu ia harus segera mundur, kakinya terasa direkatkan oleh ketakutan.
VI. Kilatan Senter yang Terakhir
Sementara itu, senter Raka berkedip sekali lagi—kemudian mati total. Lilitan ular menghantui kegelapan hampa. Dalam detik-detik itu, ia hanya mengandalkan pendengaran: gesekan sisik di lantai, hembusan napas dingin yang menyayat tenggorokan, dan gemuruh jantung di dada. Transisi antara sadar dan panik makin tipis, membuatnya sulit membedakan antara mimpi buruk dan kenyataan.
VII. Teriakan Yang Terkubur
Selanjutnya, Raka mencoba menjerit, namun suaranya nyaris tercekik. Dengungan motor di kejauhan seakan melebur dengan bisikan ular. Ia teringat kata-kata tua penjaga pabrik dulu: “Lorong ini terkutuk, siapa pun yang melewati akan dipeluk oleh bayangan ular abadi.” Kini, kutukan itu terasa benar-benar hidup.
VIII. Lintasan Kabur
Namun, naluri bertahan hidup memohon pada Raka untuk melarikan diri. Ia meraba dinding sebelah kanan, berlari tanpa arah. Lilitan ular menghantui bukan hanya lorong, tapi setiap hela nafasnya. Sementara pipa berkarat menimbulkan gema berulang, Raka berharap lorong ini akan berakhir—padahal pintu keluar sama sekali tak terlihat.
IX. Sekilas Harapan
Selanjutnya, Raka melihat seberkas cahaya dari celah pintu darurat. Meskipun jauh di ujung lorong, bayangan itu bagai oase di padang pasir kematian. Dengan segenap tenaga, ia meraup harapan terakhir. Namun saat ia hampir mencapai pintu, suara bulat dan berat memantul di tembok: “Tunggu aku…”
X. Pelukan Terakhir
Di ambang pintu, Raka menoleh dan terkejut—ular raksasa itu menyusul, melilit tubuhnya dengan lilitan dingin. Lilitan ular menghantui membuat setiap serat ototnya melepuh, padahal belum ada luka. Ia merasakan dunia berputar, lalu seketika gelap gulita.
Bisnis & Ekonomi : Perkembangan Ekonomi Syariah di Pasar Global