Kembalinya Sang Pewaris
Pada malam pertama memasuki rumah warisan, Sari segera mencium aroma lilin lembap yang khas—seolah biang keladi dari lilin yang tak pernah padam di lorong ujung. Selain itu, lantai kayu berderit pelan, dan tiap jejak kakinya memancing gema samar. Meskipun ia datang dengan niat menjual properti tua itu, rasa penasaran menjalari tulang punggungnya. Terlebih lagi, kabar tetangga tentang suara detak di koridor membuat hatinya berdebar—namun Sari menahan diri dan melangkah mantap menembus kegelapan.
Api yang Abadi
Kemudian, ketika matahari tenggelam, Sari menelusuri lorong panjang di sisi timur. Pertama-tama, ia melihat cahaya kecil berpendar di balik pintu setengah terbuka. Seketika, ia menyadari: itu adalah lilin yang tak pernah padam. Sementara itu, udara di sekitarnya terasa dingin meski di luar gerimis turun. Bahkan ketika ia meniup lilin dengan nafas pelan, nyalanya tak surut—malah getar bayangan semakin menari di dinding, seperti sosok manusia merangkak.
Bisikan dalam Kelam
Selanjutnya, Sari mendengar bisikan halus yang bergema, “Bebaskan aku…” Kata-kata itu terdengar bergulung, seakan dipantulkan dari tiap sudut koridor. Sambil gemetar, ia mendekati lilin abadi itu; perlahan, bayangan di dinding berubah wujud, membentuk figur perempuan bergaun putih. Ditambah lagi, suara detak perlahan berubah jadi ketukan seram, menandai keberadaan sesuatu yang mengintai di balik panel kayu.
Jejak Keluarga Terlarang
Kemudian, pada siang harinya, Sari menjelajah loteng yang penuh kotak arsip. Di dalam sebuah peti kayu, ia menemukan kumpulan surat kuno dan foto keluarga yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Dari catatan, terungkap bahwa rumah itu dulunya milik Buyut Ambar—seorang pendeta gaib yang mempraktikkan ritual api abadi. Ia menyegel jiwa salah satu keturunannya dengan mantra, memerintahkan lilin “tidak pernah padam” hingga dosa dibayar lunas.
Rekaman Malam Kedua
Lalu, Sari menyiapkan ponsel untuk merekam suara saat malam tiba. Benar saja, tepat pukul dua dini hari, ia menangkap denting keras—seolah sudut dinding dipalu dari dalam—diiringi nafas panjang yang tidak manusiawi. Selain itu, rekaman menangkap suara gemeretak perlahan: rantai besi yang bergeser dan bisikan berganti tawa pilu. Sari kaget bukan main dan hampir menumpahkan kopi dinginnya.
Konfrontasi di Lorong Gelap
Kemudian, ketika kelopak matanya setengah tertutup kantuk, ia terpaksa kembali ke lorong tempat lilin abadi menyala. Saat memasuki koridor, pintu di belakangnya menutup sendiri dengan gemeretak dahsyat. Seketika, bayangan perempuan putih bergerak cepat, menutup jalan pulang. Sari terperangah; tubuhnya membeku, namun nalurinya memaksa ia berlari, menyalakan lampu baterai seraya berulang kali menoleh.
Teror yang Tak Berkesudahan
Di tengah keputusasaan, Sari terjebak di depan lilin abadi itu. Bayangan perempuan semakin jelas—wajahnya muram, rambut basah mengotori gaun lusuh, dan matanya kosong. “Kenapa kau belum melepaskanku?” suara bergema menyayat hati. Seketika, lilin berkedip kencang, menebarkan sinar oranye yang menari liar. Setiap kali nyala meredup, bayangan merangkak lebih dekat, seolah nyala api itu mengikatnya di lorong tak berujung.
Ritual Pembebasan
Karena terdesak, Sari memutuskan memakai mantra penebusan yang tertulis di buku tua. Ia menaburkan abu lilin ke lantai dan membacakan syair kuno. Perlahan, nyala api berubah biru, dan bisikan berganti tangis haru. Momen itu amat singkat—tak sampai tiga detik—namun cukup membuat bayangan bergetar hebat. Dan tiba-tiba, sosok itu terhisap ke dalam kobaran, menghilang dalam lubang gelap di balik plester yang retak.
Jejak Kehancuran
Keesokan paginya, koridor lorong dipenuhi abu lilin dan kesunyian abadi. Lilin yang tak pernah padam itu kini padam tuntas, meninggalkan sisa-sisa serpihan sumbu hangus. Sari menatap kamar tua itu dengan mata merah, menyadari bahwa ia telah membuka rahasia kelam keluarga. Meski teror mereda, tiap kali melewati lorong, ia masih mendengar bisikan sayup—seolah lilin yang tak pernah padam menuntut kematian berikutnya, menunggu nyala api baru yang akan membebaskan atau mengutuk selamanya.
Alam dan Lingkungan : Mengapa Burung Pipit Banyak Mati di Musim Semi?