Lembah tanpa sinar matahari terhampar di hadapan Mara, membuat segala harapan lenyap bersama kabut tebal yang menyelimuti. Bahkan sebelum kaki menjejak tanah basah, ia sudah mendengar bisikan: “Pergilah…” Namun, tekadnya bulat—ia harus menemukan saudara kembarnya, Tari, yang hilang di lembah itu sepekan silam. Meskipun petunjuk hanya kabur, suara ratapan jauh dan aroma tanah busuk menuntunnya masuk semakin jauh. Seketika, kegelapan menyergap indera penglihatan, sedangkan embusan angin dingin menembus tulang, seakan lembah itu menolak keberadaannya. Meski demikian, Mara berbisik pada diri sendiri bahwa hanya di lembah tanpa sinar matahari ia akan memecahkan misteri kelam ini.
Jalan Setapak yang Terlarang
Pertama-tama, Mara menelusuri jalur setapak sempit yang terjal, berkelok di antara tebing terjal. Selanjutnya, ia melewati rerimbunan pakis hitam yang meneteskan cairan merah kecokelatan—seperti darah terjungkal. Kemudian, suara ranting patah terdengar di belakangnya, membuat bulu kuduk berdiri. Padahal, hanya ia yang berjalan di sana. Sementara ia menoleh, kabut merayap menutupi pandangan, seolah menyembunyikan sesuatu yang jahat. Kendati langkahnya berat, Mara terus maju, karena setiap detak jantungnya berdenyut semakin kencang oleh rasa takut dan penasaran.
Air Terjun Senyap
Tak jauh, terdengar gemericik air terjun yang sunyi, anehnya tanpa suara air jatuh—justru tiruan jeritan halus bergema di antara bebatuan. Setelah mendekat, ia melihat genangan hitam keruh, memantulkan sosoknya sendiri—namun dengan mata kosong dan mulut mengerang. Meski napasnya tercekat, ia menahan diri untuk tidak mundur. Selanjutnya, ia menyentuh permukaan air; sentuhan itu menimbulkan riak yang menghancurkan pantulan. Namun, di dasar genangan, tergurat tulisan samar: “Dia menunggumu.” Rasa penasaran berubah jadi kegelisahan, tapi Mara terus meneguk keberanian.
Pohon Hitam Penjaga Rahasia
Kemudian, jalur berbelok ke hutan pinus gundul. Di sanalah berdiri pohon hitam besar—batangnya retak dan pucat, seperti terkubur ke dalam malam abadi. Selain itu, rantingnya merambat menutup langit, memastikan tidak ada setitik sinar matahari memasuki lembah. Saat Mara melangkah di bawahnya, daun kering berhambur turun, menimbulkan suara berbisik seolah ribuan jiwa terperangkap. Sementara napasnya memburu, ia melihat jejak kaki kecil di tanah lembek—jejak kaki Tari. Namun, semakin ia ikuti, jejak itu menghilang di antara akar pohon, seakan Tari ditelan bumi.
Jejak Darah dan Ratapan
Beberapa meter kemudian, Mara menemukan jejak bercak cokelat kemerahan di dedaunan—darah kering yang terhampar dengan pola huruf tak beraturan. Selain itu, ratapan rendah menggema, berulang-ulang seperti doa terkutuk. Kemudian, ia berlutut dan mencium aroma yang menusuk—seperti darah dan keringat ketakutan. Meski tubuhnya gemetar, ia memungut segumpal kain sobek yang terjerat ranting. Kain itu berwarna kuning pucat, sangat mirip dengan jaket yang dipakai Tari saat terakhir terlihat. Seketika, sora ratapan itu berhenti, digantikan hening yang mencekam.
Jejak Cahaya yang Tak Ada
Selanjutnya, Mara menyusuri kawah kecil di sisi lereng. Meskipun kabut menebal, ia menangkap kilatan cahaya hijau samar—seperti lentera yang dinyalakan tanpa sumber. Setelah mendekat, ia menyadari itu hanyalah pantulan dari lumut bercahaya di bebatuan. Meski demikian, kilatan itu membentuk siluet manusia yang merunduk, tangan terjulur memohon pertolongan. Sementara Mara menahan napas, sosok itu menghilang, dan cahaya pun padam. Ia menepuk dada, mencoba menenangkan pikiran, lalu berbisik, “Tari, tunjukkan dirimu…”
Bayang-bayang Tanpa Wajah
Kemudian, di sela-sela kabut, muncul sosok tinggi berbalut selubung kelam, tanpa wajah—hanya permukaan hitam pekat seperti cermin gelap. Selanjutnya, sosok itu melayang mendekat, menebarkan hawa mati. Tanpa menunggu lama, Mara menyalakan api korek di tangan, berharap bisa mengusirnya. Namun, kobaran api itu tersedot ke tubuh bayangan, membuat nyala korek meledak lalu padam. Sementara angin menderu, bisikan yang lebih keras terdengar: “Dia milikku…” Mara terhuyung, tubuhnya gemetar, tetapi tekadnya menguat.
Pencarian Ujung Lembah
Akhirnya, Mara tiba di sebuah gua sempit—mulutnya menjulang gelap tanpa kedalaman yang terlihat. Sementara ia melangkah masuk, cahaya korek menyentuh dinding penuh ukiran aneh: sosok manusia terikat, dengan mata melotot dan tangan terulur. Selain itu, ukiran berdarah memantulkan bayangan seakan hidup. Kemudian, dari dalam gua terdengar tangisan merintih—suara Tari. Mara merangkak masuk, menahan bau busuk yang menyesakkan dada. Meskipun tubuhnya terasa berat bagai timah, ia memanggil lagi, “Tari!” dan bayangan samar menjawab, “Di sini…”
Konfrontasi di Kedalaman
Di kedalaman gua, ruang terbuka kecil terpampang: di tengahnya, Tari duduk di atas altar batu, tubuhnya gemetar namun mata kosong. Selain itu, di sekeliling altar, sosok-sosok bayangan menggantung, terikat rantai hitam. Ketika Mara semakin dekat, sosok besar tanpa wajah muncul dari kegelapan, mengangkat tangan kurusnya. Selanjutnya, makhluk itu menggema: “Dia milikku selamanya.” Kemudian, bayangan rantai terlepas, menebar suara gesekan logam yang menakutkan. Mara menantang, “Lepaskan dia!” dan seketika petir mengguncang atap gua, mendadak lampu keras menerangi seluruh ruangan—memaparkan kengerian yang tak terperi.
Pelepasan Perbudakan
Selanjutnya, Mara meraih tangan Tari, dan energi hangat menyebar. Dalam sekejap, rantai hitam di pergelangan Tari memutih, retak, lalu hancur. Bayangan makhluk itu mengejek, mencoba meraih kembali Tari, namun Mara menebar cahaya korek yang tersisa—kali ini kobaran api menyala stabil. Kemudian, makhluk itu melolong kesakitan, tubuhnya mencair menjadi asap pekat, terhisap ke dalam kegelapan. Sementara gua bergetar, Mara memaksakan diri mengangkat Tari, menuntun keluar menuju udara lembah.
Kebangkitan Fajar
Saat keduanya menjejak kembali jalan setapak, kabut pucat terurai, dan pertama kalinya sejak tiba, cakrawala memerah samar—matahari muncul di balik tebing. Cahaya keemasan menembus lembah tanpa sinar matahari, menyinari rerimbunan pakis dan pohon-pohon pinus yang tadinya menyeramkan. Tari terisak, memeluk kakaknya, sementara Mara menatap langit, merasakan kelegaan dan kehangatan yang dulu hilang. Meskipun kengerian malam itu masih membekas di pikiran, mereka berhasil keluar dari neraka kabut.
Berita Terkini : Wanita Ditemukan Tewas dalam Mobil di Bali: Ada Luka di Leher