Pintu Menuju Neraka
Pada fajar kelabu itu, punggung bukit berbisik tentang lembah rahim ibu terkutuk yang tersembunyi jauh dari jalan setapak. Awalnya, banyak yang menganggapnya sekadar legenda, namun perlahan cerita-cerita mengerikan mulai merembes ke desa-desa terdekat. Akhirnya, keberanian—atau kebodohan—memaksa seorang pegiat arkeolog dan dua temannya menembus kegelapan yang tak pernah mereka bayangkan.
Jejak Darah di Kabut
Pertama, mereka menapak di antara pepohonan rimbun, di mana kabut memeluk erat tubuh setiap pejalan kaki. Selanjutnya, suara gemerisik dedaunan memekakkan telinga, seakan ada yang terus menguntit dari balik bayangan. Namun, meskipun rasa takut menyesakkan dada, mereka terus berjalan. Bahkan, ketika darah segar terlihat menetes di bebatuan, mereka tak mampu membalik arah.
Suara Ratapan dari Bawah
Kemudian, malam merayap lebih cepat dari perkiraan; sinar obor menari-nari di permukaan genangan air keruh. Tiba-tiba, terdengar ratapan panjang, seakan jiwa ibu yang meratap lantaran rahimnya terkutuk selamanya. Di situ, lembah rahim ibu terkutuk tidak lagi sekadar mitos—ia hidup, bernapas, dan menjerat akal sehat.
Pintu Rahim yang Retak
Selain suara, kehadiran makhluk halus mulai terlihat: bayangan putih melintas sekilas, seolah sosok wanita berpakaian robek, bertahtakan tanah dan lumut. Lantas, salah satu – Indra – berteriak, “Lihat! Ada pintu batu bercorak rahim!” Meski begitu, mereka terbelenggu oleh rasa ingin tahu yang lebih kuat daripada rasa takut.
Kengerian yang Memuncak
Namun, begitu mereka mendekat, retakan di batu terkuak, memancarkan cahaya merah darah. Kesunyian seketika terpecah oleh jeritan mengerikan; tanah seakan berbicara dalam bahasa kematian. Kemudian, lembah memuntahkan bau belerang, dan setiap langkah terasa semakin berat. Bahkan, antara setiap napas, mereka mendengar desahan lembut yang memohon pertolongan—atau mungkin panggilan maut.
Mimpi Buruk Melayang
Di sisi lain, malam membuat pikiran mereka terpecah antara realita dan ilusi. Indahnya bintang sirna, digantikan awan kelam yang menari liar. Sementara itu, satu per satu anggota tim merasakan tangan dingin menyentuh punggung mereka, meninggalkan bekas seperti luka bakar. Pada akhirnya, ketegangan memuncak saat sosok itu muncul: seorang ibu berwajah pucat, mata hitamnya kosong, menyibakkan rambut berkabut untuk menatap ke dalam jiwa.
Pilihan Antara Hidup dan Mati
Meskipun tak ada jalan keluar yang jelas, mereka dipaksa memilih: mundur dan menyerah pada kutukan, atau terus maju untuk mengungkap rahasia terlarang. Bahkan, dalam kegelapan pekat, kata-kata sang ibu terkutuk bergema, “Tinggalkan aku… atau akuilah dosamu.” Seketika, petir menyambar, mengoyak langit dan merelai teriakan mereka ke udara dingin.
Bayangan Tak Pernah Hilang
Akhirnya, pagi menampakkan cahaya muram, menutupi reruntuhan api dan kesunyian yang kembali menghimpit. Meskipun mereka berhasil keluar, seolah selamat, satu hal pasti: lembah rahim ibu terkutuk tak pernah melepaskan bayangan kelamnya. Bahkan sekarang, setiap kali angin melintas di bukit sunyi, bisikan itu kembali menggelayut, mengundang siapa pun yang cukup gila untuk mendengarnya.
Sejarah & Politik : Tren Politik dan Dampak Pemilu Global 2025