Langkah Terakhir di Lorong Beku: Jejak Dingin Mencengkeram

Langkah Terakhir di Lorong Beku: Jejak Dingin Mencengkeram post thumbnail image

Keheningan Membeku

Pada malam itu, langkah terakhir di lorong beku bergema panjang, menembus kesunyian yard kereta tua yang terlupakan. Meskipun angin berbisik lembut, hawa dingin menyeruak tanpa ampun, menyalut kulit dan meremang tulang. Seketika, kesunyian berubah menjadi desah samar, seolah ada nafas tak kasat mata yang mengintai, menunggu momen untuk menyerang. Selanjutnya, bayangan hitam menyusup perlahan di ujung cahaya lentera, menciptakan ketakutan yang tak terdefinisi. Kemudian, satu demi satu, jejak kaki tertinggal—satu di antara ribuan jejak yang membawa kepada sebuah rahasia kelam.

Sekilas Bayangan

Namun demikian, saat lentera digerakkan ke kiri, sekilas bayangan manusia tampak melintas di celah tembok berlumut. Bahkan jarak beberapa meter pun tak mampu meredam detak jantung yang memecut kencang. Sementara itu, aroma lembab dan berkarat memenuhi rongga hidung, menambah perih pada ketegangan. Meski begitu, niat untuk melangkah maju mengalahkan rasa takut yang menggulung. Selanjutnya, suara gemeretak rel tua seolah menuntun kaki untuk terus melangkah, meskipun setiap gerakan terasa berat seperti diseret oleh kekuatan tak terlihat.

Jejak yang Memanggil

Tak lama kemudian, tepian lorong semakin gelap, namun di permukaan tanah beku, jejak kaki yang tampak segar terhampar. Kemudian, bayangan samar lain muncul—lebih dekat dan lebih jelas—membuat nyali hampir runtuh. Meskipun hati menjerit untuk berbalik, tekad untuk mengungkap misteri semakin kuat. Oleh karena itu, tangan menggenggam lentera tighter, cahaya kuning kusam menari di dinding batu. Akhirnya, setiap hembusan napas membeku, seolah salju halus menempel di ujung bibir, menandai bahwa sesuatu yang tak wajar sedang mengintai.

Suara di Balik Tirai Kabut

Selanjutnya, kabut tipis merayap turun, menutupi lantai lorong. Bahkan kabut itu tampak hidup, bergulung seperti ular berbisik. Lalu, terdengar sesuatu—gerak gesek kain tua yang terentang di pintu besi. Kemudian, perlahan pintu itu menganga, membuka ke ruang tersembunyi di balik dinding. Meskipun akal sehat menolak, rasa penasaran memaksa langkah untuk mendekat. Namun kabut semakin pekat, dan suara tawa jauh terdengar—ketawa yang dingin, memuakkan, seakan tengah menertawakan keberanian yang mulai pupus.

Kehadiran Tak Terlihat

Kemudian, ruang tersembunyi itu memperlihatkan sosok samar yang berdiri di ujung lorong. Bahkan sosok itu tampak lebih tinggi dari manusia biasa, dengan mata yang memerah dalam kegelapan. Seketika, seluruh tubuh menggigil hebat, bukan sekadar karena suhu beku, melainkan karena naluri paling primal yang menyuruh lari. Meskipun rasanya mustahil, kaki justru terhenti, terpaku oleh aura mengerikan yang memancar. Setelah itu, bayangan itu melangkah maju—langkahnya tanpa suara, namun getaran di lantai terasa nyata, menciptakan ketertutupan segala jalan pulang.

Detak Jantung Terhenti

Akhirnya, lentera terjatuh, cahaya berkedip lalu padam. Seketika lorong lenyap dalam gelap total. Namun meski gelap, ada kilatan merah di ujung sana—mata sosok itu yang seakan menembus kegelapan. Oleh karena itu, jantung terasa berhenti, waktu melambat hingga hanya terisi oleh dengung pendengaran sendiri. Sementara itu, tangan mencari gagang pintu, berusaha merasakan tekstur besi dingin, sekaligus berharap ada celah pelarian. Namun ternyata pintu telah terkunci mati dari dalam, menyisakan hukuman tak terelakkan.

Bisikan Terakhir

Kemudian, terdengar bisikan lirih, memecah sunyi: “Langkah terakhir…”. Meskipun suara itu lembut, artinya jelas—aku tidak akan keluar dari sini hidup-hidup. Bahkan sebelum sadar sepenuhnya, tubuh seolah ditarik mundur menuju kegelapan yang lebih pekat. Selanjutnya, seluruh indera menjerit menolak kenyataan, sementara kesadaran perlahan memudar. Namun demikian, pikiran tetap berusaha menggapai secercah harapan, walau hanya seujung keyakinan.

Titik Balik yang Mematikan

Kemudian, tiba-tiba pintu besi terbanting terbuka, menciptakan kilatan cahaya yang menusuk kegelapan. Terlebih lagi, bayangan merah menghilang secepat kilat, meninggalkan lorong kembali hening. Namun sayang, kelegaan itu hanya seketika. Sebab pada kerlip cahaya terakhir, terlihat satu sosok—figur tanpa wajah—menatap langsung ke arah kamera batin, seakan meradang menunggu giliran berikutnya. Seketika, pancaran dingin menjalar hingga sumsum, memaksa diri berlari tanpa menoleh.

Pelarian Tanpa Akhir

Meskipun lintasan lorong sudah terbayang jelas, kaki terasa pincang dan berat. Oleh karena itu, langkah terakhir di lorong beku berubah menjadi lompatan putus asa. Namun kegelapan menutup kembali setiap jalan keluar, memaksa kembali masuk ke lorong yang sama. Seketika, kesadaran menolak, namun tubuh takluk. Bahkan suara napas pun hilang, menyisakan kosong yang mencekam.

Jejak yang Terus Bergema

Akhirnya, lampu sorot petugas stasiun menyapu lorong—namun tak menemukan apa pun kecuali jejak kaki membeku yang memudar seiring es mencair. Padahal, tak ada seorang pun ditemukan di dalam sana. Namun setiap kali malam turun, bisikan dan langkah terakhir di lorong beku tetap bergema, menunggu korban berikutnya yang memegangi lentera dengan harapan mengembalikan akal sehat.

Teknologi : Teknologi Blockchain: Tidak Hanya untuk Cryptocurrency

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Post