Langkah Berat Menyusuri Jalan Batu Keraton Banten

Langkah Berat Menyusuri Jalan Batu Keraton Banten post thumbnail image

Bayangan di Antara Reruntuhan

Keraton Banten Lama selalu tampak agung meski hanya tersisa puing dan batu. Saat matahari tenggelam, temboknya memantulkan warna tembaga, dan udara berubah lembab seolah mengingat sesuatu yang belum selesai.

Di antara jalan batu yang menuntun ke bekas istana, penduduk sering mendengar langkah berat yang datang dari arah alun-alun tua. Langkah itu tidak tergesa, namun pasti, seperti prajurit yang berbaris tanpa tujuan.

Warga sudah terbiasa dengan suara itu. Tapi malam itu, ketika Dika—mahasiswa sejarah dari Serang—datang untuk meneliti peninggalan keraton, suara itu terdengar lebih dekat dari biasanya.


Malam Pertama di Banten Lama

Dika tiba sore hari. Ia membawa kamera, buku catatan, dan alat perekam suara. Ia menginap di rumah jaga situs, ditemani Pak Rahmat, penjaga tua yang sudah puluhan tahun merawat area itu.

Sambil menyalakan lampu minyak, Pak Rahmat berkata,
“Kalau malam, jangan berjalan di jalan batu itu. Banyak yang merasa kakinya berat seperti tertarik ke tanah.”

Dika tersenyum. “Langkah berat karena lelah mungkin, Pak.”

Namun saat malam turun, angin dari arah reruntuhan membawa suara langkah. Berat dan teratur. Duk… duk… duk… Seperti seseorang memakai baju besi.


Langkah dari Arah Gerbang

Dika menyalakan perekam suara, berdiri di tengah jalan batu. Ia ingin membuktikan mitos itu. Udara mulai dingin, dan lampu minyak di tangan bergetar tertiup angin.

Suara langkah semakin jelas, mendekat perlahan. Tapi saat ia menyorot senter ke arah gerbang, tak ada siapa-siapa.

Batu-batu di bawah kakinya terasa bergetar halus. Ia mencoba berjalan, tapi setiap kali kaki kirinya melangkah, batu itu seperti menarik balik berat tubuhnya. Seolah ada tangan tak terlihat yang menahan.

“Siapa di sana?” serunya.

Hanya gema suaranya sendiri yang menjawab, lalu hening.


Cerita dari Penjaga Lama

Keesokan paginya, Dika bertanya pada Pak Rahmat. Lelaki tua itu menghela napas.
“Yang kau dengar semalam bukan manusia,” katanya.
“Dulu di sini banyak prajurit gugur waktu keraton diserbu VOC. Mereka dikubur tergesa, tanpa upacara. Mungkin mereka belum sempat pergi.”

Dika mencatat semua dengan antusias. Tapi dalam hati, ia merasakan sesuatu yang lain — bukan hanya kisah, tapi semacam peringatan.


Di Bawah Pohon Kelor

Menjelang sore, Dika berjalan ke arah barat keraton, di mana batu-batu besar berserakan. Di sana tumbuh pohon kelor besar yang daunnya selalu basah meski tak hujan.

Ia menaruh alat perekam di bawah pohon itu, berharap menangkap suara langkah malam nanti. Tapi ketika ia kembali setelah senja, alat itu jatuh ke tanah dan layar perekam menunjukkan getaran konstan — seperti detak jantung berat.

Lalu terdengar suara dalam rekaman itu:

“Jalan ini untuk kami… bukan untukmu.”


Langkah yang Mengiringi

Malam kedua, Dika nekat berjalan lagi di jalan batu. Ia menyalakan perekam di sakunya, menyusuri sisi kiri yang menuju sisa tembok benteng.

Kali ini, suara langkah tak hanya satu. Ada banyak — serempak, berat, dan ritmis.
Duk… duk… duk…

Udara di sekitarnya berubah dingin, napasnya mengembun. Ia berhenti dan menatap tanah. Bayangan panjang menyeberang di depannya, meski tak ada cahaya yang cukup untuk menciptakannya.

Langkah itu berhenti di belakangnya. Ia menoleh — dan melihat siluet tinggi berseragam prajurit lama, wajahnya tidak terlihat, tapi dadanya berlubang seperti terkena tombak.


Prajurit yang Hilang

Sosok itu berdiri diam, lalu perlahan menunduk. Dari dadanya keluar suara berat seperti seseorang berusaha bicara dengan paru-paru yang penuh air.

“Tanah ini… belum tenang…”

Lalu sosok itu menghilang bersama angin. Tapi bau besi karat dan darah lama masih menggantung di udara.

Dika berlari menuju rumah jaga, tapi setiap langkahnya terasa berat, seolah batu di bawahnya menahan. Langkah berat itu kini miliknya sendiri.


Sejarah yang Terlupakan

Hari berikutnya, ia memutuskan menggali arsip di kantor kecamatan. Ia menemukan catatan tahun 1682 tentang penyerangan Belanda ke Banten.

Catatan itu menyebut adanya pasukan kecil yang melindungi jalur utama menuju keraton. Mereka semua gugur tanpa kubur layak, dikubur bersama batu jalan yang mereka pertahankan.

“Jadi mereka dikubur di bawah jalan itu,” gumam Dika. “Pantas saja setiap langkah terasa berat.”


Senja Berdarah di Tembok Lama

Sore itu, Dika kembali ke lokasi untuk mengambil foto terakhir. Langit berubah oranye keunguan, dan sinar matahari terakhir jatuh di atas batu-batu licin.

Ia menyalakan kamera dan mengambil gambar jalan dari ujung ke ujung. Tapi di layar hasil foto, ada barisan sosok samar — seperti pasukan bayangan berdiri diam di antara batu.

Saat ia menatap ke arah yang sama, tak ada siapa-siapa. Tapi dari belakangnya, suara langkah kembali terdengar, lebih keras dari sebelumnya.


Peringatan dari Tanah

Dika jatuh tersungkur. Tanah di bawahnya lembek seperti baru digali. Ia menatap celah antara batu — ada sesuatu di sana: ujung pedang berkarat dan sisa kain merah lusuh.

Suara langkah berhenti tepat di depannya. Ia mengangkat wajah dan melihat bayangan tinggi dengan wajah hitam berlubang mata kosong.

“Tinggalkan nama kami… di kertasmu…”

Suara itu menggema sampai Dika kehilangan kesadaran.


Hilangnya Dika

Keesokan harinya, warga menemukan peralatan Dika di tengah jalan batu, tapi orangnya tak ada. Perekam suaranya masih menyala, dan di menit terakhir terdengar napas berat disertai langkah serempak menjauh.

Pak Rahmat hanya menggeleng saat melihatnya.
“Langkah mereka belum selesai,” katanya pelan.

Sejak hari itu, jalan batu di depan Keraton Banten terasa lebih sepi. Tapi jika seseorang nekat lewat setelah tengah malam, mereka akan mendengar langkah berat mengikuti dari belakang — berat, serempak, dan tak pernah berhenti.


Arwah Penjaga Keraton

Konon, malam tertentu, terutama menjelang Maulid, suara tabuh dan gamelan samar terdengar dari reruntuhan. Beberapa orang mengaku melihat cahaya obor berjalan beriring menuju alun-alun lama, seperti arak-arakan prajurit kembali bertugas.

Dan di antara gema langkah itu, kadang terdengar satu suara berbisik di telinga:

“Jangan menulis tentang kami, kecuali dengan doa.”

Sejarah & Budaya : Sejarah Emansipasi Wanita dari Masa Kolonial ke Kini

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Post