Kedatangan di Gerimis Beku
Labirin di tengah hujan es muncul tiba-tiba saat Lina dan Damar terpisah dari rombongan pendaki. Bahkan sementara hujan es menggigit kulit, bayangan dinding kapur membentang seperti gerbang neraka beku. Selanjutnya, langkah mereka tergesa ketika lampu senter gemetar menyorot koridor tanpa titik balik. Kemudian, setiap tetesan es menimbulkan gemericik berdenting di helm, menambah suasana mencekam. Oleh karena itu, Lina meraih tangan Damar, meski keduanya terperangah atas lorong tanpa ujung itu. Sementara itu, desiran angin beku berbisik melalui celah retak, menjeritkan nama mereka sekali demi sekali—seolah labirin itu hidup dan mengundang mereka.
Jejak Kaki yang Membeku
Lebih jauh ke dalam labirin, jejak sepatu Lina terbatasi oleh lapisan es tipis, lalu hilang di tikungan gelap. Bahkan Damar berusaha mengikuti—tetapi tiap sudut tampak sama. Setelah itu, bayangan dinding berlumut es memantulkan kilatan lampu senter seperti mata menatap. Sementara langkah mereka berderap cepat, tiada satu pun pintu yang tertutup maupun terbuka. Meski napas membeku di paru, mereka terus menapaki koridor tanpa arah. Oleh karena itu, setiap detik menghadirkan kecemasan baru: apakah mereka mengejar jalan keluar, atau justru semakin terdorong ke dalam pusaran iblis dingin?
Bisikan dari Dinding Es
Kemudian, saat Damar menempelkan telapak tangan dingin pada dinding, terdengar bisikan samar: “Jangan… tinggalkan aku…” Bahkan getaran suara merambat melalui lapisan es, menusuk tulang belulang. Selanjutnya, Lina menoleh, namun hanya lorong kosong yang tersaji. Setelah itu, pintu kecil di samping retak seolah terbuka meski tanpa engsel. Sementara itu, kilatan lampu menyingkap relief aneh—silhouet sosok manusia berjerit terperangkap di balik lapisan es. Oleh karena itu, Lina menunduk menahan muntah, lalu meraih senter Damar lebih erat.
Lorong yang Bergerak
Lebih lanjut, setiap kali mereka berpaling, lorong tampak bergeser—dinding es berpindah tempat hingga susunan koridor berubah sendiri. Bahkan uap nafas mereka menciptakan kabut tipis, lalu membeku di udara. Selanjutnya, suara langkah lain bergema, meski tanpa sosok yang tampak. Setelah itu, jarak antar jejak kaki semakin memanjang, sedangkan dinding perlahan menutup celah. Sementara itu, napas Lina tersengal, dengung di kepala mereka memuncak. Oleh karena itu, Damar memutuskan berlari, mencoba menemukan cahaya di ujung lain—meski siapakah yang menerangi lorong beku ini?
Ruang Tengah Berlumuran Es
Setelah membelok tajam, mereka tiba di ruang melingkar dengan langit-langit menjulang. Bahkan kristal es menggantung seperti organ tubuh, memantulkan kilau menusuk mata. Selanjutnya, di tengah ruangan, terdapat kolam beku—airnya keruh, bergaris darah membeku. Setelah itu, bisikan berganti menjadi nyanyian lirih: “Ambil… aku…” Sementara itu, bayangan samar bergeser di tepi kolam, menunggu sentuhan. Oleh karena itu, Lina memegang pergelangan Damar, memaksanya mundur. Walaupun ngeri, mereka tahu: di bawah permukaan es itu, sesuatu mendesak untuk keluar.
Penemuan Tulisan Kuno
Kemudian, di dinding samping, terdapat ukiran kuno dalam bahasa yang tercerabut—huruf-huruf memancarkan aura dingin. Bahkan Damar berusaha membacanya: “Korbankan yang tercinta, atau terperangkap selamanya.” Selanjutnya, Lina merasakan ludah menelan kering, jantung berdetak lebih cepat. Setelah itu, pintu lorong mulai menutup otomatis, retakan retak melebar. Sementara itu, kristal di langit-langit bergetar, lalu berjatuhan tanpa suara—es yang tajam menusuk lantai. Oleh karena itu, mereka menyadari: labirin ini bernafas, dan menuntut nyawa manusia.
Korban Pertama
Tidak lama kemudian, teriakan teredam terdengar dari koridor sempit. Bahkan suara ranting retak menyusup di telinga, lalu diikuti jeritan Lina yang memanggil Damar. Selanjutnya, sosok Damar tampak terjerat di balik pancaran es, tubuhnya kaku memerah—darahnya membeku seketika. Setelah itu, Lina menghentakkan senter, namun bayangan Damar menghilang, tergantikan patung es yang menitikkan darah. Sementara itu, air mata Lina membeku di pipi, membentuk kristal. Oleh karena itu, kepanikan memuncak; ia berlari tanpa arah, putus asa mencari celah keluar.
Lorong Pamungkas
Kemudian, jalur terakhir menurun ke lorong gelap tanpa cahaya. Bahkan suhu semakin menusuk, membuat setiap tarikan napas terasa membeku di tenggorokan. Selanjutnya, suara bisikan bergema mengelilinginya: “Kembalikan… aku…” Namun tak ada bayangan yang bisa ia tuju. Setelah itu, langkah Lina perlahan terhenti saat ia menemukan pilar tunggal—di atasnya terukir wajah lelaki yang mirip Damar, menjerit dalam es. Sementara itu, nada bisikan berubah menjadi tawa menggila. Oleh karena itu, Lina menggapai pilar itu dengan tangan gemetar—meski takut, ia tahu ini satu-satunya harapan.
Pengorbanan Akhir
Lebih jauh, ukiran mata pilar memancarkan cairan merah pekat—darah manusia yang menetes seperti air mata. Bahkan bisikan berganti menjadi suara keras: “Ambil hatinya… lalu bebaslah.” Selanjutnya, Lina menggenggam batu tajam yang tergeletak di lantai beku, lalu meremasnya di rilp pilar. Setelah itu, pilar berderak, membelah es dan meneteskan aurora merah menyala. Sementara itu, jeritan pecah memecah keheningan. Oleh karena itu, Lina menancapkan batu ke pilar dan merasakan getaran hebat—dinding labirin bergetar, retak, lalu runtuh.
Pelarian ke Dunia Nyata
Akhirnya, cahaya senja menembus reruntuhan es—langit berpijar jingga. Bahkan hujan es berubah menjadi hujan gerimis biasa. Selanjutnya, Lina terjatuh di padang terbuka, tubuhnya gemetar. Setelah itu, ia menoleh: labirin beku itu lenyap, tersisa kegelapan di atas bukit. Sementara itu, udara kembali hangat mengajak bernapas lega. Walaupun selamat, Lina memegang dadanya—dengan rasa bersalah atas pengorbanan Damar. Oleh karena itu, ia berjalan pulang, mengetahui satu hal: di balik derasnya hujan es, ada labirin yang menunggu korban berikutnya.
Makanan : 5 Tempat Makan Hidden Gem di Chiang Mai yang Penuh Cita Rasa