Kutukan Penari Lengger yang Mencekam di Panggung Gedung Tua

Kutukan Penari Lengger yang Mencekam di Panggung Gedung Tua post thumbnail image

Bayangan Pertama di Panggung Tua

Pertama-tama, malam itu aula gedung tua yang berdebu tampak sepi. Namun, begitu lampu sorot panggung menyala—meski sempat redup sesaat—tiba-tiba tercium bau dupa lembap yang menusuk hidung. Sesaat kemudian, samar-samar terdengar dentuman gamelan yang terputus-putus, seolah seseorang tengah menyiapkan pertunjukan. Tidak hanya itu, warga kota setempat menyatakan bahwa kutukan penari lengger kerap terbit saat kelopak tirai panggung terbuka menjelang tengah malam.

Asal Usul Gedung dan Legenda Ngeri

Lebih jauh, gedung tua itu dibangun pada era kolonial, pada 1920-an, sebagai balai pertemuan kaum elit. Selain berfungsi sebagai gedung serbaguna, panggungnya konon pernah dipakai pementasan wayang kulit hingga tari tradisional. Namun demikian, suatu malam pementasan lengger besar berujung tragedi: penari utama, Dewi Laraswati, jatuh pingsan setelah terdengar teriakan histeris. Bahkan, sebelum pingsan, ia sempat menangis darah melalui mata sebelah kanan. Sejak itulah, cerita tentang kutukan penari lengger mulai merebak—bahkan tertulis dalam naskah kuno yang disimpan tersembunyi di ruang arsip.

Dentingan Gamelan yang Menghantui

Di sisi lain, dua dekade kemudian, sekelompok mahasiswa kesenian bermaksud meneliti panggung itu. Akan tetapi, begitu malam menjelang, mereka mendengar dentingan gamelan tak teratur. Selanjutnya, alat-alat musik yang sudah lama tak disentuh bergetar sendiri, memicu getaran halus di lantai kayu. Oleh karena itu, mereka memutuskan menunda penelitian, walau rasa penasaran terus mengusik. Terlebih lagi, beberapa catatan saksi mata menyebut bahwa penari dalam bayangan itu melangkah di latar belakang, menari perlahan tanpa suara.

Bisikan dalam Kegelapan

Selanjutnya, seorang penjaga malam—Pak Salim—mengaku melihat sosok putih di tepi panggung. Selain sesekali membuka tangan seolah mengundang, sosok itu menggerakkan selendang panjang layaknya penari lengger dalam tarian gambyong. Namun demikian, setiap kali saksi berusaha mendekat, sosok itu lenyap secepat kilat. Lebih jauh lagi, terdengar bisikan lirih: “Bebaskan aku…” Kata-kata itu bergema berulang, menambah nuansa mistis yang mencekam.

Retribusi Hati yang Terluka

Di lain pihak, berdasarkan penuturan sesepuh kota, Dewi Laraswati jatuh hati pada pengrawit gandrung—mereka jatuh cinta mesra. Meskipun demikian, Dewi menikah dengan saudagar kaya atas desakan keluarga. Kekecewaan mendalam membuatnya memohon bala gaib agar cinta sejatinya tak dinikahi orang lain. Akan tetapi, permohonan itu berubah bencana: pengrawit mati mendadak, sedangkan Dewi larut dalam kesedihan tiada akhir hingga tewas di atas panggung. Oleh karena itu, roh penari lengger diyakini terperangkap dalam lantai kayu, menunggu pembalasan dan kebebasan.

Langkah Kaki di Koridor Sepi

Selanjutnya, sekelompok kru teater kota berniat memugar kembali gedung tua itu. Oleh karena itu, mereka memasang lampu baru dan membersihkan debu bertahun-tahun. Namun, setiap kali salah satu anggota tim berjalan di koridor, terdengar langkah lain mengikuti dari belakang—padahal lorong kosong. Lebih lanjut, ketika mereka berbalik, hanya terlihat jejak tapak kaki wanita mengarah ke panggung. Dengan demikian, ketegangan semakin memuncak, memaksa tim mempertimbangkan pembatalan renovasi.

Ritual Membebaskan Roh

Lebih jauh, demi menghentikan kejadian gaib, kepala dinas kebudayaan mengundang dukun ternama untuk melakukan ritual pembersihan. Selain tabuhan gendang kecil, ia membawa benda pusaka peninggalan Dewi Laraswati: selendang emas yang konon pernah dikenakan dalam pementasan terakhir. Selanjutnya, selendang itu digoyang pelan di tengah panggung sembari melantunkan mantra Minang kuno. Akan tetapi, pada puncak ritual, lampu sorot padam serempak, dan dentingan gamelan terdengar meratap. Oleh karena itu, wujud Dewi muncul sesaat di atas panggung, merangkak sambil menangis darah, seakan memohon ampun dan pembebasan.

Titik Balik Teror

Kemudian, setelah teriakan tajam Dewi menembus kesunyian, lampu kembali menyala. Selendang emas terlepas dari tangan sang dukun, terbang membentuk lingkaran di udara, lalu menutupi wajah patung tua di pojok panggung. Dengan demikian, bayangan Dewi lenyap ke dalam selendang. Lebih lanjut, semua saksi merasakan hembusan angin dingin, dan suhu ruangan anjlok drastis. Sejak saat itu, kutukan penari lengger beralih: tidak lagi menampakkan penari hidup, melainkan manifestasi selendang yang bergerak sendiri ketika malam tiba.

Kembalinya Dentingan di Fajar

Selanjutnya, sebelas hari setelah ritual, penjaga pagi—Mbak Sari—menemukan selendang emas tergeletak di atas alat gamelan. Selain itu, ia mendengar dentingan gamelan perangkat kendang pukul senja, padahal tidak ada yang memainkannya. Lebih jauh lagi, beberapa warga yang lewat mendengar irama tarian lengger dari dalam gedung meski lampu sudah padam. Oleh karena itu, dinas kebudayaan menutup kembali gedung untuk jangka waktu tidak terbatas, guna meneliti fenomena ini secara lebih mendalam.

Kesaksian Terakhir dan Warisan Misteri

Akhirnya, seiring berlalunya waktu, kisah kutukan penari lengger tetap hidup sebagai legenda perkotaan. Setiap generasi akan bercerita tentang bangunan tua dengan panggung yang tak pernah sunyi. Bahkan, anak-anak muda membawa rekaman ponsel mereka, berharap menangkap jejak suara gamelan atau bayangan penari di layar. Namun demikian, sebagian besar rekaman berakhir pecah dan berkedip, seakan roh Dewi Laraswati menolak terekam. Dengan demikian, misteri penari lengger yang terkutuk di panggung gedung tua memegang kendali atas naskah hidup yang tak akan mudah dihapus.

Food & Traveling : Kopi dan Budaya: Perjalanan Menyusuri Warung Nusantara

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Post