Kuntilanak Merasuki Gadis di Tepi Danau Toba yang Sunyi

Kuntilanak Merasuki Gadis di Tepi Danau Toba yang Sunyi post thumbnail image

Sunyi di Tepi Danau

Angin malam berhembus pelan di tepi Danau Toba. Kabut turun perlahan, menutupi air yang tenang seperti kaca. Hanya suara jangkrik dan deburan ombak kecil yang terdengar di kejauhan. Di antara pepohonan pinus, berdirilah sebuah pondok tua milik keluarga Sari, gadis berusia dua puluh tahun yang baru pulang dari Medan untuk liburan semester.

Sari duduk di beranda pondok sambil menatap permukaan danau. Ada sesuatu yang aneh pada malam itu — terlalu tenang, terlalu hening. Bahkan suara angin seolah tertahan. Ia merasa seperti sedang diawasi dari balik kabut.

“Cuma imajinasi,” bisiknya. Tapi rasa dingin menjalar dari ujung jari ke tengkuknya.

Seekor burung gagak tiba-tiba melintas rendah, menimbulkan riak di permukaan air. Saat Sari hendak masuk ke dalam rumah, suara lirih seperti tangisan perempuan terdengar dari arah danau. Tangisan panjang, serak, dan menusuk.

“Siapa di luar?” panggilnya ragu. Tidak ada jawaban, hanya suara angin yang semakin berat.


Bayangan di Air

Keesokan paginya, Sari menceritakan kejadian itu kepada bibinya, Bu Sinta, yang tinggal bersamanya di pondok. Wanita tua itu langsung terdiam dan menatap ke arah danau dengan wajah cemas.

“Kau tak seharusnya keluar malam di tepi danau,” katanya lirih.
“Kenapa?”
“Danau ini dijaga arwah perempuan yang mati tenggelam bertahun-tahun lalu. Dulu orang menyebutnya kuntilanak.”

Sari tertawa kecil. “Ah, Bibi, itu kan cuma cerita kampung.”
“Tapi banyak yang hilang sejak itu, Nak.”

Malamnya, Sari tidak bisa tidur. Ia memutuskan menulis diari di depan jendela sambil menatap air danau yang berkilau di bawah sinar bulan. Lalu matanya menangkap bayangan seseorang di permukaan air.

Seorang perempuan berambut panjang, mengenakan kain putih lusuh, berdiri di atas batu di tengah danau. Rambutnya menutupi wajah. Dari jauh, bahunya berguncang seolah menangis.

Sari memicingkan mata.
Bayangan itu menoleh perlahan.
Dan tanpa suara, tersenyum.


Malam Kerasukan

Pukul dua dini hari. Bu Sinta terbangun karena mendengar langkah kaki di halaman. Ia keluar kamar dan melihat Sari berdiri di luar rumah, menatap danau. Rambutnya terurai, matanya kosong.

“Sari! Kau ngapain di luar?” teriaknya.

Gadis itu tidak menjawab. Ia melangkah ke tepi air, lalu perlahan masuk ke dalam danau seolah sedang berjalan di atasnya. Bu Sinta menjerit dan menarik tubuh Sari dengan paksa. Begitu tersadar, Sari menangis keras, tubuhnya gemetar.

“Ada yang memanggil aku, Bi,” isaknya. “Dia bilang namanya Riana… dia ingin aku ikut.”

Sejak malam itu, Sari berubah. Ia jarang bicara, sering melamun, dan kadang tertawa sendiri di depan jendela. Setiap malam, aroma amis dan lembab seperti air danau memenuhi kamarnya.


Cerita yang Terkubur

Bu Sinta akhirnya menemui tetua desa, Pak Jalmadi, untuk meminta penjelasan. Lelaki tua itu menatapnya lama, lalu menghela napas berat.

“Nama Riana itu bukan asing,” katanya. “Dulu, dia gadis muda dari desa seberang. Cantik dan pandai menari. Tapi ia mati mengenaskan.”

Menurut cerita, Riana dibunuh oleh kekasihnya sendiri di tepi danau karena cemburu buta. Tubuhnya dibuang ke dalam air dan tidak pernah ditemukan. Sejak itu, banyak orang mendengar tangis perempuan di malam sunyi.

“Dia menjadi kuntilanak penjaga danau. Kalau seseorang melihatnya menangis, berarti roh itu sedang mencari tubuh baru untuk menampakkan diri.”

Bu Sinta terdiam. Tubuhnya gemetar membayangkan Sari yang sudah melihat bayangan itu. “Apa yang harus saya lakukan, Pak?”

“Jangan biarkan dia sendirian di malam hari,” kata tetua itu pelan. “Dan jangan biarkan dia menatap air.”


Panggilan dari Dasar Danau

Malam berikutnya, hujan turun deras. Petir menyambar puncak bukit di kejauhan. Sari duduk di ranjang, matanya terbuka lebar. Suara tangisan itu terdengar lagi, kali ini lebih dekat.

“Riana…” bisiknya tanpa sadar.

Ia berjalan ke jendela, melihat kabut menutupi seluruh permukaan air. Di balik kabut itu, ada tangan putih yang melambai pelan, mengajaknya datang.

Tiba-tiba lampu padam.
Kegelapan total.

Bu Sinta terbangun karena suara langkah kaki dan percikan air di luar. Ia berlari ke pintu, tapi ketika membukanya, Sari sudah tidak ada. Yang tersisa hanya jejak kaki basah menuju danau.

Dengan obor di tangan, Bu Sinta memanggil-manggil nama keponakannya. Suaranya tenggelam dalam suara hujan dan gemuruh petir. Dan di tengah kabut, ia melihat sesuatu berdiri di atas batu karang — dua sosok.

Satu gadis muda.
Dan satu perempuan berambut panjang dengan gaun putih basah, berdiri di belakangnya.


Ritual Pemanggilan

Keesokan paginya, warga desa mencari Sari di sepanjang tepian danau. Hasilnya nihil. Beberapa nelayan bersumpah melihat bayangan dua wanita berjalan di atas air saat fajar.

Pak Jalmadi menyarankan melakukan ritual pemanggilan roh, agar arwah Riana melepaskan tubuh Sari. Malamnya, mereka menyiapkan sesajen — bunga kamboja, dupa, dan kendi air dari tujuh sumber mata air.

Ritual dilakukan di pinggir danau. Bu Sinta duduk di tengah lingkaran dupa sambil membawa foto Sari. Angin mulai berhembus kencang. Air danau bergolak seperti direbus.

Dari kabut, terdengar suara perempuan tertawa lirih.
Kemudian berubah menjadi jeritan panjang yang melengking.

Sosok putih muncul perlahan dari air — rambut panjang menutupi wajah, kuku-kuku panjang, dan gaun yang meneteskan air merah.

“Dia milikku,” bisiknya dengan suara serak.
“Dia bukan pengganti tubuhmu, Riana,” jawab Pak Jalmadi mantap. “Kembalilah ke tempatmu.”

Tapi roh itu hanya tertawa. Tiba-tiba semua dupa padam bersamaan, dan angin menerbangkan sesajen ke air.

Dalam sekejap, Bu Sinta menjerit — dari air muncul tangan pucat menarik kakinya. Para warga berusaha menariknya, tapi sesuatu di dalam danau menarik lebih kuat.


Kembalinya Sari

Subuh tiba. Danau kembali tenang, seolah tidak terjadi apa-apa. Warga menemukan Sari terbaring di tepi danau, basah kuyup, tapi masih hidup. Namun Bu Sinta menghilang. Tidak ada jejak tubuhnya di mana pun.

Ketika sadar, Sari tidak ingat apa pun. Tapi sesuatu dalam dirinya berubah. Tatapannya kosong, suaranya lebih datar, dan ia sering berhenti di depan cermin sambil tersenyum sendiri.

Suatu sore, tetangga melihat Sari duduk di batu karang tempat dulu arwah Riana muncul. Ia menatap air dengan tenang, lalu tersenyum aneh dan berbisik,
“Tenang, aku sudah di sini sekarang…”

Malam itu, seorang nelayan yang memancing di dekat situ mendengar suara gamelan samar dan tawa perempuan menggema dari tengah danau. Ketika dilihat, bayangan dua wanita tampak berjalan di atas air, bergandengan tangan.


Danau yang Tak Pernah Sepi

Beberapa tahun berlalu. Pondok tua keluarga Sari kini ditinggalkan. Namun warga desa percaya, setiap kali kabut turun di Danau Toba, terdengar suara tawa perempuan bercampur tangis yang menggema di udara.

Mereka bilang, kuntilanak itu tidak lagi sendiri. Ia telah menemukan tubuh baru — seorang gadis muda yang tidak tahu batas antara dunia manusia dan dunia arwah.

Dan sampai hari ini, air Danau Toba tetap tampak tenang… tapi jika diperhatikan baik-baik, kadang muncul riak kecil, seperti seseorang sedang menari di bawah permukaannya.


Legenda kuntilanak di Danau Toba menjadi simbol peringatan bagi siapa pun yang menyepelekan kekuatan alam dan arwah yang terlupakan. Di balik keindahan danau yang terkenal, tersimpan kisah tragis tentang cinta, dendam, dan penyesalan.

Mereka yang mendengar tangisan di tepi danau pada malam sunyi, disarankan untuk tidak menoleh — karena mungkin bukan manusia yang memanggil.

Flora & Fauna : Burung Surga Papua Kian Terancam Perdagangan Ilegal

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Post