Saat malam itu tiba, kolam renang sekolah memantulkan wajah tak dikenal begitu jelas di permukaan air yang sunyi. Pertama-tama, aku melangkah perlahan ke area terbuka, mendapati papan pengumuman berdebam oleh angin semilir. Selanjutnya, lampu sorot berkelip tak menentu, membuat bayangan pepohonan menari-nari menakutkan. Bahkan ketika kudekat ke pinggir kolam, air beriak lembut seakan mengundangku untuk menatap lebih jauh.
Bisikan di Sebalik Gelombang
Transisi suasana langsung berubah ketika terdengar bisikan lirih, “Bawa aku pulang…” Seketika, udara beku menusuk paru-paru, memaksa tubuhku gemetar. Meskipun kupikir aku hanya mendengar ilusi, air kolam beriak keras tanpa angin sama sekali. Karena itu, aku menoleh ke balik pagar besi, berharap menemukan sosok vanishing, tetapi yang kutemui hanyalah bayangan gelap di kejauhan.
Cahaya Sorot yang Malap
Kemudian, sorot lampu keamanan padam total, meninggalkanku dalam kegelapan nyaris mutlak. Namun, kilatan petir menyingkap permukaan kolam sekali lagi—kolam renang sekolah memantulkan wajah pucat dengan mata kosong menatap lurus. Bahkan setelah kilatan usai, bekas rupa itu tetap terpatri di retina, menimbulkan mual dan ketakutan.
Langkah yang Membeku
Karena panik, aku melangkah mundur, namun kaki terasa terjebak di tanah berpasir. Sementara detak jantung menderu, embusan napas keluar dalam kepanikan. Padahal, kupikir aku sendirian; tetapi suara langkah lain mendekat pelan, berirama tak beraturan. Lebih jauh, lantai keramik retak di bawah kakiku seolah menahan beban dunia lain.
Bayangan Tanpa Tubuh
Seketika, di permukaan air, sosok tanpa tubuh menyembul setengah badan—hanya kepala dan lengan memanjang mengarungi air. Kepala itu bergoyang pelan, seakan memanggil atau menari dalam keputusasaan. Meskipun napasku tertahan, aku terpaku, tak mampu berpaling. Bahkan kipas langit-langit rusak berderik pelan, menambah keheningan mencekam.
Teror Malam yang Memuncak
Selanjutnya, hujan rintik mulai turun, menetes di permukaan kolam bagai darah yang menetes ke lantai basah. Meskipun tubuhku menolak basah, aku tetap di sana, mematung di bawah gerimis. Transisi waktu terasa lambat; setiap detik bergulir bagai abad. Kemudian, teriakan menghujam telinga—sekali, dua kali—tetapi datangnya bukan dari makhluk hidup melainkan gema sunyi.
Pelarian yang Pupus
Akhirnya aku memutuskan berlari ke gedung ganti, berharap bertemu petugas keamanan. Namun, lorong itu memanjang tak berujung; pintu geser tak kunjung muncul. Bahkan lorong perubahan warna—dari cat biru menjadi abu-abu pekat—mengacaukan orientasi. Sementara aku berlari, kolam renang sekolah memantulkan wajah tadi muncul kembali di jendela kaca, menatapku dengan senyum getir.
Hujan Darah di Teras
Saat kulihat ke langit, hujan tiba-tiba berubah menjadi titik-titik merah gelap, menyerupai darah. Gelas jendela retak memercikkan serpihan ke lantai, dan aroma besi tajam menyeruak. Akan tetapi, aku masih berusaha menahan diri untuk tidak panik. Pasalnya, sosok kepala mengambang kini turun dari langit seperti badai mematikan.
Detik Terakhir Kesadaran
Secara tiba-tiba, aku tersungkur di teras depan ruang ganti. Sebelum pingsan, aku sempat melihat makhluk tinggi berkerudung berdiri di sudut, wajahnya tertutup bayangan. Dengan transisi yang mengerikan, kerudung tergerak oleh angin, mengungkap mata merah menyala. Sementara aku menutup mata, kolam renang sekolah memantulkan wajah kembali memenuhi otakku, menciptakan kepanikan mutlak.
Kebangkitan Fajar Mencekam
Ketika fajar menyingsing, aku terbangun dengan tubuh lemah di pinggir kolam. Namun, kolam renang kini bersih sempurna tanpa satu pun jejak—kecuali noda kaki dan cincin darah di tepi. Semilir angin pagi membawa bisikan mengerikan: “Kau akan kembali…” Padahal, aku berlari sejauh mungkin, meninggalkan sekolah sunyi yang kini terasa lebih hidup daripada mayat.
Gaya Hidup : Yacht Race & Ekstrem Sport: Adrenalin Sultan Dunia