Pintu Berderit di Senja Membeku
Kilatan Mata di Ruang Tua terasa pertama kali begitu aku mendorong pintu kayu lapuk itu. Pertama, deritnya memecah senja yang beku, lalu aroma lembap dan debu tua merayap ke hidungku. Sementara kegelapan menelan langit-langit ruangan, lampu senterku bergetar, memantulkan cahaya yang tak menuntun ke mana pun. Namun, meski rasa takut mencekam, aku melangkah masuk, menahan napas saat bayangan berkelebat cepat di sudut pandang.
Bisikan di Balik Bayangan
Selanjutnya, suara bisikan lirih menggema, “Tolong… lepaskan aku…” Walaupun nadanya hampir tenggelam oleh debu yang beterbangan, aku memastikan sorot senter menari di dinding retak. Kemudian, di atas meja kayu reyot, kubaca kalimat tertulis dengan tinta pudar: “Di sinilah jiwa-jiwa terperangkap, menunggu fajar terakhir.” Sementara detak jantung beradu, bulu kuduk berdiri, dan aku sadar bahwa Kilatan Mata di Ruang Tua bukan sekadar kiasan.
Jejak Darah di Lantai Kubur
Kemudian, lintasan bercak merah pekat membentuk jejak kaki kecil—seolah makhluk mungil meneteskan darah sambil merangkak. Meskipun langkahku gemetar, napasku tercekat ketika mengikuti pola itu menuju sudut ruangan. Oleh karena itu, aku menyorot ke bawah, menemukan coretan angka-angka kuno di lantai: “23–5–77.” Lalu sempat terlintas bahwa angka-angka itu mungkin tanggal bencana, namun oleh karena itu aku berusaha menundukkan kepala, menahan desahan dingin di tenggorokan.
Tatapan Kaca Retak
Selanjutnya, aku menoleh ke cermin retak di ujung koridor. Awalnya terpantul bayanganku, namun lambat laun mata di pantulan itu berubah—menjadi sepasang bola hitam tanpa cahaya. Sementara keringat dingin mengalir, aku menatap balik, berharap itu hanya ilusi. Namun, saat Kilatan Mata di Ruang Tua terpancar dalam pantulan, sosok bayangan itu berkedip satu kali, menanamkan rasa ngeri yang tak terperi.
Surat Tua yang Terbuka
Lalu, di meja tua berikutnya, kubuka sebuah surat kuno yang terlipat rapi. Pada huruf-huruf berantakan tertulis peringatan: “Jangan baca setelah tengah malam, atau pintu neraka akan terbuka.” Namun, naluriku memaksa, sehingga aku terus membaca—bahkan saat angin dingin menerpa, membuat lilin pipih hampir padam. Kemudian, paragraf terakhir menyentak: “Fajar hanyalah ilusi bagi mereka yang belum terbebas.”
Ritual Siang Terlarang
Kemudian, lampu sorot jatuh pada lingkaran simbol di lantai—dibentuk oleh abu dupa dan potongan kaca. Meskipun nalar memperingatkan bahaya, aku menjejak masuk. Oleh karena itu, aku membaca mantra perlahan, mengikuti instruksi surat: “Aku memanggil kalian yang terperangkap… tunjukkan diri.” Lalu, bumi bergetar halus, dan satu per satu lilin di sekeliling padam—diiringi dengung rendah seperti rintihan panjang.
Kemunculan Sang Penunggu
Selanjutnya, udara mendadak dingin membeku, dan di tengah kegelapan muncul siluet sosok tinggi kurus. Tatapan kosongnya terpaku ke arahku, lalu mata hitamnya berkedip kilat—persis Kilatan Mata di Ruang Tua yang mengguncang jiwa. Ketika sosok itu mengangkat tangan, suara jeritan menggema, memecah kesunyian. Namun, sebelum aku sempat berlari, jari-jari panjang menyingkap wajahku, menyisakan rasa sakit di tubuh dan pikiran.
Pelarian Penuh Luka
Kemudian, aku terlempar ke pintu, terjatuh dan terseret oleh rapuhnya papan kayu. Walaupun tubuh luka parah, naluri bertahan hidup memaksa aku merangkak keluar. Sementara kaki menapak tanah tanah pekarangan, aku menoleh lagi—tapi ruang tua itu sudah tertutup rapat, seolah tak pernah ada. Hingga akhirnya, napasku terengah, dan aku memastikan darah di lenganku adalah bukti nyata penderitaan.
Bayangan yang Tak Terhapus
Akhirnya, fajar memecah malam, namun luka di jiwa sulit sembuh. Setiap kali aku pejam mata, Kilatan Mata di Ruang Tua muncul kembali: mata hitam tanpa nyawa, bisikan memburu, dan janji neraka yang tertunda. Meskipun aku selamat, aku tahu bahwa ruang tua itu akan terus memanggil—dan aku tak bisa melupakan kengerian paling sunyi.
Berita Terkini : Kunto Arief Wibowo dan Firman Santyabudi: Anak Try Sutrisno yang Mengabdi di Militer