Bayang di Cerobong Tua
Langit sore di Klaten tampak muram. Matahari yang setengah tenggelam memantulkan warna jingga kusam di dinding bata pabrik gula yang sudah lama berhenti beroperasi. Dari kejauhan, cerobong besar yang menjulang tampak seperti menara kematian. Warga sekitar menyebutnya Cerobong Tua.
Tak banyak yang berani mendekat setelah matahari turun. Bukan hanya karena bangunan itu rapuh, tapi juga karena kisah yang telah beredar turun-temurun — tentang kepala tua yang muncul dan menyeringai dari puncak cerobong setiap malam Jumat Kliwon.
Pabrik Gula yang Ditinggalkan
Pabrik gula itu dibangun pada masa kolonial Belanda. Dulu, tempat itu menjadi nadi ekonomi desa. Ratusan pekerja keluar-masuk setiap hari. Namun semuanya berubah ketika tragedi tahun 1932 terjadi.
Seorang mandor Belanda bernama Tuan Van Der Heist ditemukan tewas dengan kepala terpisah dari tubuhnya di ruang pembakaran. Anehnya, kepalanya tidak pernah ditemukan. Sejak hari itu, pabrik perlahan ditinggalkan. Mesin-mesin berhenti berputar, dan kabut misteri menutup tempat itu selamanya.
Warga percaya, arwah Tuan Heist tak pernah meninggalkan pabrik. Mereka yakin, kepala tua yang muncul di cerobong adalah kepalanya, mencari tubuh yang hilang.
Para Pemburu Misteri
Delapan puluh tahun kemudian, tiga mahasiswa dari Jogja datang untuk meneliti sejarah industri kolonial. Mereka adalah Rafi, Nina, dan Yoga. Ketiganya mendengar cerita pabrik itu dari seorang penjaga tua bernama Pak Sarto.
“Kalau kalian nekat, jangan naik ke cerobong,” ucap Pak Sarto memperingatkan. “Di atas sana bukan tempat manusia. Di sana, dia menunggu.”
Namun rasa ingin tahu mereka terlalu besar. Setelah matahari terbenam, mereka masuk melewati pagar karat yang berderit. Aroma besi tua dan gula hangus masih tercium samar. Setiap langkah menggema di lantai semen yang retak.
Bayangan di Dalam Pabrik
Nina menyalakan senter. Pantulannya menyorot dinding dengan bercak gelap seperti bekas darah. Rafi memotret sambil mencatat detail arsitektur. Namun Yoga tiba-tiba berhenti. “Kalian denger nggak?” bisiknya.
Suara berat seperti desahan keluar dari arah cerobong. Semakin lama, suara itu berubah menjadi tawa lirih yang membuat bulu kuduk berdiri. “Itu cuma angin,” kata Rafi, tapi suaranya terdengar gugup.
Ketika mereka mendekati tangga menuju cerobong, udara berubah dingin. Senter Nina bergetar dan padam. Dalam kegelapan, mereka mendengar bunyi logam diseret. Kilatan cahaya kecil tampak di ujung lorong, seperti pantulan mata.
Tiba-tiba, aroma daging terbakar menyeruak. Dari kegelapan, bayangan besar melintas cepat di belakang mereka. Rafi menoleh, tapi yang dilihatnya hanya kabut tebal yang berputar.
Naik ke Cerobong
“Kalau kita pulang sekarang, nggak ada bukti,” kata Rafi memaksa. Ia menyalakan kembali senternya dan mulai menaiki tangga besi menuju cerobong.
Tangga itu berderit, berkarat, dan dingin. Setiap langkah membuat suara menggema seperti napas berat seseorang. Nina enggan ikut, tapi Yoga menyusul Rafi setengah hati.
Di pertengahan tangga, Rafi berhenti. Ada sesuatu menetes dari atas. Ia mengangkat wajah, dan setetes cairan hangat jatuh di pipinya. Ia menyentuhnya — merah dan kental. Darah.
Mereka mendongak bersamaan. Dari mulut cerobong, samar-samar tampak kepala tua dengan rambut putih panjang tergantung terbalik. Wajahnya gosong, tapi senyumnya lebar menampakkan gigi menguning. Kedua matanya terbuka dan menatap lurus ke bawah.
“Turun! Sekarang!” teriak Nina dari bawah. Tapi tangga tiba-tiba bergetar hebat, seperti ada sesuatu yang menarik dari atas.
Wajah di Antara Asap
Yoga kehilangan keseimbangan dan jatuh berguling ke bawah, menabrak tumpukan besi tua. Rafi berpegangan erat, tapi udara di sekitarnya mendadak panas. Dari dalam cerobong, asap hitam keluar, berputar seperti pusaran. Di dalamnya, terlihat bayangan tubuh tanpa kepala melangkah perlahan.
Suara berat bergema di seluruh pabrik.
“Tubuhku… di mana kepalaku…?”
Asap itu kemudian berubah menjadi wajah raksasa, dan dari mulutnya muncul kepala gosong yang tadi mereka lihat. Kepala tua itu menyeringai, mengeluarkan suara berderak seperti tulang yang patah.
Rafi menjerit, lalu berlari turun secepat mungkin. Namun sebelum kakinya menyentuh lantai, sesuatu menggenggam bahunya. Udara menjadi dingin seperti es. Ia menoleh… wajah itu tepat di belakangnya, tersenyum tanpa suara.
Pengakuan Penjaga Pabrik
Pagi harinya, warga menemukan Nina pingsan di depan gerbang pabrik. Ia gemetar, wajahnya pucat, dan terus berbisik, “Dia tertawa dari cerobong…”
Polisi datang dan menemukan tangga besi rusak parah. Namun Rafi dan Yoga menghilang tanpa jejak. Hanya kamera Rafi yang tertinggal, dengan satu foto terakhir: bayangan kepala tua menyeringai di antara asap hitam, matanya menatap langsung ke lensa.
Pak Sarto akhirnya angkat bicara. Ia mengaku dulu pernah bekerja di pabrik itu sebagai penjaga malam. Menurutnya, arwah Tuan Heist menampakkan diri setiap kali ada orang yang mencoba masuk ke cerobong.
“Dia dikubur di dalam sana,” katanya lirih. “Cerobong itu bukan cuma untuk asap. Dulu, setelah kecelakaan, tubuhnya dibakar di situ tanpa kepala.”
Malam di Pabrik yang Hidup
Beberapa bulan kemudian, pabrik gula itu resmi dipagari. Tapi para warga yang tinggal di sekitar masih mendengar suara mesin tua yang berputar sendiri setiap malam Jumat. Kadang, cahaya oranye muncul dari dalam cerobong, disertai tawa lirih yang memantul ke langit.
Orang-orang bilang, kepala tua itu masih menjaga pabriknya. Ia tak mau diganggu, tapi juga tak mau dilupakan. Jika ada yang berani memotret cerobong saat malam, wajah itu akan muncul samar di foto — tersenyum dengan gigi gosong, seolah tahu bahwa seseorang sedang memperhatikannya.
Epilog: Cerobong yang Tak Pernah Mati
Hingga kini, pabrik gula Klaten tetap berdiri, walau sunyi. Cerobongnya menjulang seperti menara hitam di antara ladang tebu yang menua. Tak ada yang berani lewat setelah gelap. Beberapa pengendara yang nekat melintas mengaku melihat bayangan putih berdiri di puncak cerobong, memegang sesuatu di tangannya — kepala tua dengan mata yang masih bergerak.
Ketika angin bertiup dari arah barat, warga sering mendengar suara tawa parau dari atas pabrik. Tawa yang panjang, serak, dan penuh amarah. Lalu, dari ujung cerobong, keluar asap pekat yang membentuk wajah senyum raksasa, menghilang perlahan ke langit malam.
Bagi orang Klaten, pabrik itu bukan lagi bangunan tua, tapi makam bagi sesuatu yang tidak seharusnya dibangunkan kembali.
Teknologi & Digital : Bahasa Pemrograman Baru Bermunculan di Tahun 2025