Pada malam pertama, Dini terkejut ketika pengurus asrama memperingatkannya dengan tegas: kamar asrama nomor 213 “tak pernah boleh disewakan kembali”. Padahal, semua kamar lain boleh dipindah gilir. Selain itu, kepala asrama menambahkan, siapa pun yang melanggar larangan itu tak akan pernah nampak lagi. Sejak itu, rasa penasaran Dini mengusik—sementara hatinya mengumpulkan keberanian untuk menjejak pintu kayu tua di lorong paling ujung. Namun demikian, ia terpaksa menunggu hingga penghuni lama keluar, karena kunci nomor 213 hanya dipakai sekali.
PENYELIDIKAN AWAL
Selanjutnya, Dini mulai menggali kabar dari teman sekamar yang lebih lama tinggal. Mereka menceritakan, pada tahun 1998, seorang mahasiswa baru menangis histeris di kamar 213 lalu menghilang. Selain itu, terdengar tertawa anak-anak kecil di malam hari, padahal tak ada sekolah dasar di dekat asrama. Sementara itu, beredar catatan tua di perpustakaan kecil yang mencantumkan nama-nama penghuni kamar tersebut—semua akhirnya lari terbirit-birit sebelum menyelesaikan kontrak. Oleh karena itu, lorong menuju kamar 213 menjadi sepi senyap, bahkan pada siang hari, meski asrama padat penghuni.
TRANSISI MENUJU KEGELAPAN
Kemudian, pada minggu kedua, Dini memberanikan diri menginap semalam di kamar 213. Sekalipun senter dan lampu meja menyala, bayangan di sudut ruangan tampak bergerak pelan tiap kali ia menoleh. Selain itu, partisi kayu tua mengeluarkan suara benturan—seakan ada yang mengetuk perlahan dari sisi dalam. Padahal, tak ada siapa-siapa di lorong. Meskipun takut, Dini mencatat setiap suara dan getaran, berharap suatu penemuan ilmiah bisa menjelaskan fenomena itu. Akan tetapi, kegelapan malam menelan catatannya ketika lampu tak terduga padam.
BISIKAN DI BALIK DINDING
Kemudian, pelan-pelan terdengar bisikan parau memanggil namanya, “Din… Din….” Suara itu bergema melalui celah bata, membuat darahnya beku. Selain itu, aroma rambut basah seperti keringat dingin tercium tajam, menelisik ke setiap ujung rambutnya. Saat Dini menempelkan telinga ke dinding, bisikan berubah menjadi alunan tangis bayi dan tawa ringkih. Padahal, pintu kamar telah terkunci rapat dari dalam—tetapi suara itu datang dari arah sebaliknya: ruang kosong di balik dinding.
PENAMPAKAN DAN KEPUTUSAN
Selanjutnya, tepat tengah malam, pintu kamar bergerak perlahan meski terkunci. Pada celah, sekelebat sosok anak kecil berwajah pucat menatapnya. Sementara itu, mata bayangan itu berwarna hitam pekat, tanpa bola mata. Selain itu, lengan kecilnya meraih gagang pintu, menggores kayu dengan kuku panjang. Karena itu, Dini menjerit, lalu menutup pintu dengan sekuat tenaga. Namun demikian, saat lampu akhirnya menyala kembali, kamar tampak kosong—kecuali jejak kuku di gagang pintu dan selembar kertas lusuh di lantai bertuliskan:
“Jangan datang lagi.”
KLIMAKS TEROR
Akhirnya, Dini memanggil penjaga asrama saat lampu padam lagi dengan suara gemuruh. Akan tetapi, ketika penjaga membuka pintu, ia terdiam: kamar 213 kosong, tanpa lampu atau stopkontak; hanya cahaya rembulan tembus melalui jendela retak. Tiba-tiba, dari balik tirai, sosok bocah muncul seraya tersenyum menyeringai, lalu berbisik: “Kini aku punya teman.” Lalu, ia hilang begitu saja, meninggalkan dingin yang merambat ke seluruh tubuh.
Keesokan paginya, kunci kamar 213 hilang entah ke mana. Pengurus asrama kembali memperingatkan bahwa kamar itu tak pernah boleh disewakan kembali, bukan karena rusak, melainkan karena terikat kutukan. Meski kontrak Dini habis, ia tak pernah lagi tidur di asrama; suara bisikan dan tawa anak itu terus menghantui mimpinya. Dengan demikian, siapa pun yang memasuki kamar terlarang itu akan terseret ke kegelapan arwah yang haus teman—selamanya.
Food & Traveling : Menikmati 4 Hari Wisata & Kuliner Khas di Bangka