Kedatangan yang Bisu
Tamu tak diundang muncul tanpa peringatan. Langit malam menusuk dengan dingin menusuk tulang di Hotel Merah Senja. Ketika aku tiba di lobi pada pukul 23.47, resepsionis tampak pucat pasi.
“Permisi, saya sudah pesan kamar 304,” kataku dengan suara bergetar.
Resepsionis menoleh perlahan, matanya kosong.
“Maaf, Pak. Kamar 304 tidak tersedia malam ini,” jawabnya singkat.
Transisi pertama merayap: dari kesigapan resepsionis yang dingin, beralih pada gemeretak deru pintu otomatis, lalu bisikan samar dari koridor panjang. Tamu tak diundang sudah menanti di balik pintu kayu tebal.
Bisikan di Balik Pintu Kayu
Begitu aku sampai di depan kamar 304, pintu terbuka setengah, menyisakan celah cahaya temaram. Nafasku terhenti.
Aku merasakan hawa dingin meluap dari dalam kamar. Di atas karpet lusuh, terlihat tapak kaki hitam—tapi tak ada jejak di lantai.
“Siapa di sana?” tanyaku parau.
Tak ada jawaban, tapi bisikan mengalun di telinga:
“Tuan… jangan pergi…”
Detik itu, pintu otomatis tertutup, berdenting keras. Transisi kedua membawa detak jantungku memecut, diiringi derit engsel dan desir angin yang masuk melalui celah jendela retak.
Jejak Darah di Selimut
Aku menyalakan senter dari saku jaket, menyorot selimut putih di atas ranjang. Ada noda merah yang menyebar, seperti tinta merah yang pecah. Nafasku tercekat.
Setiap kali aku menyentuh selimut, rasa dingin menyebar ke seluruh badan. Bayangan hitam merayap di sudut ruangan—sesosok berdiri tegak, tak berwajah.
Transisi ketiga menggulung suasana: dari senter menyorot noda darah, berpindah pada kilatan cahaya lampu lorong yang tiba-tiba meredup, lalu terdengar lagu piano lama yang terputus-putus.
Teriakan yang Tertahan
Tiba-tiba lampu kamar padam total. Gelapnya pekat, hanya senter di tanganku yang jadi penuntun. Di sudut ruangan terdengar suara teriakan—bayangan melesat ke arahku.
Aku terjerembap, senter terlepas, cahayanya menari liar di lantai. Suara langkah kaki mendekat, semakin cepat, semakin berat.
Transisi emosional: ketakutan berubah jadi panik, lalu menukik jadi keputusasaan saat kusadari aku terjebak sendirian.
Mantra Pintu yang Tak Pernah Terkunci
Kurasakan pintu terkunci dari luar. Kupaksa membukanya, tetapi engselnya melawan. Bisikan terdengar lagi:
“Tamu tak diundang tidak boleh pergi…”
Aku menendang pintu dengan sekuat tenaga, namun kekuatan tak terlihat menahan semua usahaku. Keringat dingin membasahi kening, napas tersengal.
Transisi kepekaan: dari bisikan halus berganti gemuruh badai batin, hingga bau anyir darah yang kian menancap di indera penciuman.
Kenangan Pahit di Lantai Marmer
Dalam kegelapan, ingatan masa lalu menyeruak: cintaku dulu berakhir tragis, di kamar ini. Dulu aku dan Mia tertawa bersama, menulis rencana masa depan. Malam itu, pintu kamar mengunciku begitu aku keluar untuk meracik kopi. Ketika kembali, ia sudah terkapar.
Sekarang, kamar 304 kembali mengulang siklus kelam itu—mengundang tamu tak diundang yang membawa kisah tragis.
Puncak Penghabisan Akal
Lampu neon di koridor berkedip-kedip. Pintu kamar mendadak terbuka sendiri. Dalam kilatan cahaya, kulihat sosok mirip Mia—berdiri menatapku, bibirnya bergerak tanpa suara.
Transisi klimaks: senyum Mia berubah menjadi tawa mengerikan, lalu ia menghilang, meninggalkan jejak tetesan darah membentuk panah ke arah lorong.
Aku mengikuti panah itu, napasku tertahan. Di lorong, terdengar suara piano lagi—melodi sendu yang memanggil namaku. Setiap langkah menimbulkan gema, menciptakan labirin bunyi yang menggila.
Pelarian di Tengah Malam
Aku menyalakan ponsel—senter menyala—tapi layar tiba-tiba mati. Dalam kegelapan, aku meraba dinding, menelusuri setiap permukaan, hingga menemukan pintu tangga darurat.
Namun tangga itu berakhir di plafon mesjid hotel. Langkahku turun, hati menggila. Tamu tak diundang menunggu di dasar tangga, sosoknya mematung, menatapku dengan mata hitam legam.
Transisi kelegaan semu: aku menjerit, berlari menembus pintu darurat, menuruni anak tangga, hingga mencapai lobi. Sekali lagi, lampu menyala penuh.
Akhir yang Selalu Baru
Ketika aku tiba di resepsionis, ia menatapku dingin.
“Tamu tidak boleh meninggalkan kamar 304,” katanya pelan.
Jantungku berdetak keras. Aku tersadar: aku kembali berada di depan pintu 304. Teleponku masih mati, ponsel tak ada sinyal. Keringat dan darah berbaur di telapak tangan.
Focus keyphrase “tamu tak diundang” terngiang terus. Malam belum berakhir.
Dan pintu kamar… tertutup sendiri, menunggu korban berikutnya.
Food & Traveling : Liburan Seru Anak ke Pulau Bintan: Panduan Lengkap