Kala Sang Penunggu Menyapa Fajar di Lorong Sepi Malam Buta

Kala Sang Penunggu Menyapa Fajar di Lorong Sepi Malam Buta post thumbnail image

Lorong yang Terlupakan

Kala Sang Penunggu Menyapa Fajar terasa begitu nyata ketika aku melangkah memasuki lorong panjang yang remang, dipenuhi pintu‑pintu besi yang berderit. Pertama, aroma lembap merayap ke hidungku, lalu suara ketukan pelan di satu pintu membuat napasku tercekat. Sementara detak jantungku beradu dengan gema langkah kaki sendiri, aku merasakan keheningan mencekam yang seolah menyembunyikan ribuan rahasia kelam. Kemudian, sebatang lentera tua berayun pelan, menyorot ke arah pintu terkunci—tempat di mana jejak darah masih samar menempel di permukaan kayu tua.

Bisikan yang Menyentak

Selanjutnya, saat aku mendekat, bisikan lirih menghantam telingaku: “Buka pintuku… bebaskan aku…” Kata demi kata terucap dengan nada putus asa, seolah seseorang terluka berlarut di balik kayu tebal. Namun, tanganku menolak menyerah pada rasa takut, sehingga perlahan aku menyentuh gagang yang dingin. Hanya ketika gigiku beradu kencang, aku meneguk ludah dan menekan tuas—lalu pintu itu perlahan terayun, memperlihatkan kegelapan mencekam tanpa satu pun cahaya.

Ruang Penuh Jejak Darah

Kemudian aku menyaksikan lantai beruban merah: bercak darah segar dan kering bergantian, membentuk pola langkah kecil. Oleh karena itu, aku menelusuri tapak itu, berharap dapat mengetahui asalnya, namun setiap langkah tampak semakin menuntunku jauh ke dalam kegelapan. Sementara udara makin dingin, pendaran lentera menyorot dinding yang dipenuhi coretan—nama‐nama yang menjanjikan kisah penderitaan. Di sana tertulis, “Dia yang terjaga, harus menanggung kutukan tanpa akhir.”

Tatapan yang Hilang

Lalu, di sudut ruangan, sebuah cermin retak memantulkan sosokku—namun mataku kosong, tak berjiwa. Seketika, bayangan samar melintas di belakangku, membuatku terlonjak. Kemudian suara gemerisik kain tua terdengar, seolah benda asing menari di udara. Meskipun tubuhku menggigil, aku menoleh: tak ada siapa pun, hanya tirai kelabu yang bergeser perlahan, menyingkap ruangan berikutnya yang bahkan lebih gelap.

Jejak Tangan di Kaca

Selanjutnya, lampu‑lampu di plafon berkelip mati‑nyala. Saat gelap menelan, aku meraba dinding kaca yang lembap—di permukaannya terukir tapak tangan menahan tangis. Seiring aku membersihkan embun dengan telapak tangan, laporan hati berdegup: seolah tangan itu memohon pertolongan. Meskipun naluriku memaksaku mundur, aku terus maju, dituntun suara napas terengah‑engah yang bergema di tiap sudut.

Catatan Terkuak di Meja Reyot

Kemudian, aku tiba di sebuah meja reyot, di atasnya tergeletak buku harian lusuh dan tinta bercampur darah. Dengan gemetar, aku membuka tiap halaman dan menemukan entri terakhir: “Fajar akan membawa kebebasan—asal kau berani membayar harganya.” Lalu, sebuah peta lorong lengkap dengan tanda X merah mengarahkan ke ruang terakhir. Tanpa ragu lagi, aku menggenggam buku itu, lalu menuruti petunjuk meski bayangan ketakutan mengintai di kepala.

Ritual di Bawah Cahaya Remang

Selanjutnya, di ujung lorong, sebuah pintu besi berat menahan aku. Namun dengan kunci tua yang kutemukan di catatan, perlahan kuterusak gemboknya. Saat pintu terkuak, sinar fajar yang pucat menembus celah, menerangi altar batu di tengah ruangan. Di sana aku meletakkan buku harian, kemudian membacakan mantra pembuka, mengikuti petunjuk catatan: “Kala Sang Penunggu Menyapa Fajar, bebaskanlah… bebaskanlah…” Sesaat setelah kata terakhir terucap, dengung halus menggema, dan bayangan kelam meringkuk di dinding.

Jeritan Pembebasan

Lalu, angin kencang menerbangkan kain putih di altar, menyibak sosok kabur berlumuran darah. Teror memuncak saat jeritan panjang memecah keheningan—suara jiwa terperangkap yang akhirnya dilepaskan. Meski aku merasakan getaran takut luar biasa, aku juga menyaksikan tirai bayangan perlahan menghilang, dijemput cahaya fajar pertama.

Keheningan yang Membisu

Akhirnya, ruang itu kembali senyap tanpa jejak—hanya aroma besi dan debu yang tersisa. Kala Sang Penunggu Menyapa Fajar telah berlalu, namun bekas teror masih membekas di jiwa. Sambil melangkah keluar lorong, aku menoleh sekali terakhir: pintu tertutup rapat, seakan menantang untuk kembali… namun aku tak akan pernah kembali ke sana.

Berita Terkini : Penyelamatan Berakhir Tragis: Jenazah Pengemudi Truk yang Tertelan Sinkhole di Jepang Ditemukan Setelah 3 Bulan

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Post