kakek tanpa mata menghantui rumah tua itu sejak Jumat pertama setiap bulan; dan sejak itu, tak seorang pun berani menatap jendela ruang tamu setelah tengah malam. Namun, semakin sering orang mendengar ketukan, semakin menebal aura dingin yang menyelimuti seluruh bangunan.
Malam Jumat Pertama
Pada Malam Jumat pertama setelah kepindahan kami, hujan rintik turun perlahan dan angin menggigilkan pepohonan di luar rumah. Ketika itu, kakek tanpa mata sudah muncul dalam lamunanku, meskipun baru sebatas kabut samar di sudut pikiran. Namun, tepat pukul dua belas, aku terbangun oleh suara… ketukan. Terdengar jelas, pelan namun berdenyut seperti denyut nadi. Bahkan meski pintu kamar terkunci rapat, suara itu bergema di seluruh dinding.
Sementara aku menggigil ketakutan, ritme ketukan makin cepat. Lantas, aku turun ke ruang tamu, menyalakan lampu, dan menatap jendela—namun tak ada siapa-siapa. Meskipun demikian, ketukan berhenti seketika, seolah sosok itu menunggu. Lebih jauh, udara jadi beku dan bau tanah lembap menyeruak, membuat bulu kuduk meremang.
Bisikan di Balik Kaca
Pada malam-malam berikutnya, ketukan selalu datang lagi. Kemudian, setiap kali aku mendekat, kudengar bisikan serak: “Buka… buka…” Suaranya menembus tulang, membuat jantungku seakan terhenti. Padahal, aku tahu tak mungkin ada manusia berdiri di luar; selain hujan deras, gelap gulita menelan seluruh pekarangan.
Setelah itu, terkadang kilasan sosok berkerut muncul di kaca, tepian tubuhnya berselimut kain compang-camping. Mata kosongnya memancarkan kehampaan, lantas tangan keriput mengetuk jendela seperti meminta tolong—atau menebar kutukan. Meski ketakutan, aku merasa terdorong untuk membuka gorden, padahal hati kecil memperingatkan: jangan!
Asap Mengapung di Dingin
Lalu, suatu malam, muncul kabut putih menari di depan kaca; padahal, udara di luar seharusnya beku. Asap itu mengalir perlahan, membentuk siluet Sosok Tanpa Mata. Lebih mengerikan lagi, kabut itu membisikkan namaku berulang kali. Bahkan bantal di kamar terasa basah oleh embun es, meski kipas angin menyala.
Kemudian aku menyadari: bukan hanya ketukan, melainkan panggilan. Panggilan arwah yang belum tenang. Sementara itu, pintu depan bergetar, sendi kayu meraung seakan berteriak. Meski lampu teras sudah kusiram minyak tanah agar tetap terang, bayangan gelap menembus hingga ambang pintu.
Panggilan Tak Terlihat
Meski aku bersembunyi di loteng, suara ketukan dan bisikan tak kunjung henti. Bahkan, malam itu aku bermimpi dikejar sosok berkepala botak, mata kosong, dan tangan keriput yang meraih leherku. Namun, saat kubuka mata, aku masih di tempat tidur—tapi ketukan jendela semakin beringas.
Ketika kulangkahkan kaki turun, kulihat jendela retak halus seperti ada sesuatu yang mencoba menembus. Lebih jauh, ampas rokok di asbak bergerak perlahan, seolah ada energi tak kasat mata yang menyentuh. Setelah berhitung sampai sepuluh—meski rasanya mustahil—aku memberanikan diri menyingkap tirai.
Konfrontasi Terakhir
Tepat di balik kaca, terlihat sosok kakek tanpa mata. Kulihat kulitnya keriput, luka menganga di tempat matanya semestinya berada, dan mulutnya mengerang lirih. Bahkan, tupai di halaman pun bisu menakuti, tak berani bersuara.
Lantas aku teringat mantra yang pernah kubaca di buku tua: “Arwah yang terkatung, kembalilah pada terang…” Dengan suara gemetar, aku mengucapkan mantra sambil menepuk-nepuk lantai sejauh mungkin dari jendela. Seketika ketukan berhenti, kabut lenyap, dan suara bisikan mereda.
Warisan Ketakutan
Akhirnya, pagi datang dengan rembulan yang pudar, dan ketukan tak pernah kembali—setidaknya selama beberapa bulan. Namun, ketika aku menengok kalender, terasa detak jantungku kembali tidak beraturan: Malam Jumat berikutnya akan tiba. Meski takut, aku tahu tugasku belum selesai. Arwah itu masih menantiku, menagih janji agar pulang ke alam baka. Dan hingga tulisan ini kutorehkan, setiap Malam Jumat jantungku masih berdetak tak menentu, menunggu ketukan… menunggu kedatangannya kembali.
Inspirasi & Motivasi : Menjaga Perilaku untuk Menjadi Pribadi yang Disegani