Gerbang ke Neraka
Pertama, aku melangkah ragu ke dalam Hutan Berdarah, di mana pepohonan tua merintih didera angin dingin, dan Jeritan Malam menyergap dari balik kabut tebal. Karena rasa penasaran yang memuncak, sebelum aku sadar, setiap sapuan bebetung berduri membekas di kulit, seolah hutan itu sendiri menolak kehadiranku. Selain itu, aura mencekam merambat hingga ke tulang, memaksa napas memburu di dada. Akhirnya, aku menatap ke atas, menyaksikan bulan purnama berdarah menggantung pekat, menyalakan luka tua yang tak pernah sembuh.
Awal Teror: Bisikan dari Kegelapan
Selanjutnya, langkahku terhuyung antara akar-akar besar yang menjalar seperti ular, sementara suara desir dedaunan berganti bisikan pelan: “Tinggalkan… pulang…”. Kemudian, aku beringsut mundur, namun bayangan di balik batang pohon melenggang pelan, menebarkan hawa dingin hingga bulu kuduk berdiri. Bahkan, semakin aku berlari, hutan seperti menelan lorong jalan setapak, melebarkan jarak sehingga aku terjebak.
Suara di Kedalaman Hutan
Karena malam tanpa bintang, terangnya bulan purnama menambah sorotan dramatik pada pepohonan berlumuran getah merah. Selain itu, setiap regetan ranting menjadi dentang kematian, bergema tak berujung. Lalu, di kejauhan, terdengar dua jeritan nyaring—seperti lolongan duka dan amarah bercampur—menendang seluruh keberanianku yang tersisa. Namun, tanpa pilihan, aku mendekati sumber suara, menahan rasa ngeri yang semakin pekat.
Jejak Darah: Tanda yang Mengkhianati
Kemudian, aku menemukan jejak darah segar yang membekas di dedaunan basah. Karena hati berdegup kencang, aku menoleh ke belakang, berharap menemukan teman atau petunjuk, namun hanya kabut tebal yang mengaburkan pandangan. Setelah itu, aroma besi yang pahit menyeruak, menorehkan imaji tragedi berdarah dari masa lalu. Bahkan, aku teringat legenda setempat tentang kanibal kuno yang mengorbankan korban setiap bulan darah.
Bayangan di Antara Pohon
Selanjutnya, saat napasku telah sesak, sosok tinggi muncul sepintas antaran pepohonan—tubuhnya kurus, wajahnya tertutup kain usang, dan matanya merah membara. Meski aku terpaku, bayangan itu menapak pelan menuju padaku, menebarkan aura kebencian. Selain itu, napasnya terdengar menggeram, menandai bahwa ia tak akan berhenti hingga darah terakhirku jatuh. Karena itulah, aku meronta, memecah keheningan malam dengan teriakan putus asa.
Puncak Ketegangan: Hadapi Takdirmu
Namun, langkahku terhenti oleh akar raksasa yang menjulur, menjebak kakiku dalam jerat alam. Pada saat bersamaan, bayangan itu sudah terlalu dekat; napasnya bercampur kabut dingin menampar pipiku. Lalu, aku menoleh dan menutup mata—merenungkan nasib—sebelum akhirnya membukanya, hanya untuk tersugesti oleh wujud setengah manusia, setengah bayangan, menjulurkan tangan rentanya.
Kolaborasi Bayangan dan Jeritan
Karena keputusasaan mencapai puncak, aku berdoa dalam hati, berharap keajaiban. Sementara itu, bayangan itu berkelakar dengan suara sumbang, menimpali setiap langkahku dengan tawa getir. Selain itu, menara kayu roboh di sebelahku, menandai awal kehancuran. Bahkan, setetes getah merah menetes dari cabang dan menancap di kulitku—menyebarkan rasa hangat mencekam.
Teror Menyatu dengan Alam
Setelah itu, hujan deras tiba-tiba mengguyur, menaburkan tetes air bercampur getah. Karena itu, suara denting air dan getah menimpa telinga, menjadikan setiap detik semakin kacau. Namun demikian, kabut tetap tak terhapus, seolah ditunggui oleh arwah yang tak pernah tenang. Kemudian, aku tersadar bahwa hutan ini hidup, dan makhluk ini adalah jiwanya.
Pelarian yang Mustahil
Namun, jalanku kian kehabisan tenaga; akar dan belukar menolak setiap usahaku untuk melarikan diri. Sementara itu, jeritan malam semakin nyaring, membentuk simfoni teror yang membuat otak berpuncing. Seolah disadari, tiap nafas yang terbuang menjadi penghormatan bagi roh hutan yang haus darah. Lalu, dengan sisa keberanian, aku menyerbu ke depan, menembus kegelapan dengan naluri bertahan hidup.
Akhir yang Mencekam
Akhirnya, aku tiba di sebuah punggungan batu besar, di mana cahaya purnama menyorot tajam. Namun seketika, bayangan berteriak dalam bentuk filamen kabut, menyelimuti tubuhku dan meremukkan harapan. Karena itu, aku terjengkang, mendengar dentuman gaung dalam dada. Selain itu, tanah bergetar hebat—seakan panggung terakhir untuk pertunjukan maut.
Bayangan Tak Pernah Hilang
Daripada mati perlahan, tiba-tiba kegelapan lenyap, digantikan suara desir angin pagi yang lembut. Meski selamat, aku menemukan bekas luka memanjang di lenganku—getah merah yang membeku sebagai saksi. Bahkan, hingga kini, aku masih mendengar Jeritan Malam setiap kali terjaga, mengingatkanku bahwa Hutan Berdarah akan selalu memanggil jiwa-jiwa yang berani memasuki pelukannya.
Gaya Hidup : 5 Cara Mengatur Stres dalam Gaya Hidup yang Sibuk dan Padat