Hening di Bawah Gerhana
Batu Rantai, sebuah desa kecil di kaki pegunungan Kalimantan, terkenal dengan deretan hutan pinus yang seolah tak berujung. Saat siang, tempat itu menjadi objek wisata yang menenangkan. Namun saat malam tiba, terutama ketika gerhana bulan datang, tak seorang pun berani mendekat.
Warga menyebut suara yang terdengar dari sana sebagai jeritan hutan — teriakan panjang yang terdengar seperti suara manusia, tapi bergema dari setiap arah. Konon, suara itu muncul setiap kali bulan perlahan tertelan bayangan bumi.
Asal Usul Batu Rantai
Legenda desa menyebutkan bahwa berabad-abad lalu, daerah itu dihuni seorang dukun sakti bernama Ki Rantai. Ia menjaga hutan dan melarang siapa pun menebang pohon pinus tua di tengah kawasan itu. Namun, sekelompok prajurit kolonial datang untuk membuka jalan, mengabaikan peringatan sang dukun.
Dalam amarahnya, Ki Rantai mengikat dirinya dengan rantai besi di batang pinus terbesar, lalu mengutuk semua yang mengganggu hutan. “Selama bulan masih berputar, jeritan hutan akan memanggil mereka yang tamak,” katanya sebelum menghilang ditelan tanah.
Sejak saat itu, setiap gerhana bulan, suara jeritan panjang terdengar dari dalam hutan. Tidak ada yang tahu dari mana asalnya, tapi semua warga sepakat bahwa itu adalah suara arwah Ki Rantai yang masih terperangkap di sana.
Peneliti Muda yang Datang
Suatu tahun, sekelompok peneliti muda dari Pontianak datang untuk meneliti fenomena suara misterius itu. Mereka terdiri dari Tara, Bagus, Rian, dan Hilda.
Mereka tidak percaya pada cerita rakyat. “Mungkin itu cuma suara binatang liar atau pantulan angin,” kata Bagus.
Namun Tara, mahasiswi antropologi yang sensitif terhadap energi spiritual, memperingatkan mereka agar berhati-hati. “Bukan tempatnya yang berbahaya, tapi waktunya,” katanya sambil menatap kalender. Hari itu bertepatan dengan gerhana bulan total.
Masuk ke Dalam Hutan
Menjelang malam, mereka memasang tenda di tepi hutan pinus. Langit tampak indah, dihiasi cahaya merah lembut dari bulan yang mulai tertutup bayangan bumi.
Udara mulai dingin, dan dari kejauhan terdengar suara angin berdesir di antara pepohonan. Rian menyalakan perekam suara, berharap menangkap apa yang disebut warga sebagai jeritan hutan.
“Suasananya keren juga,” ujar Hilda sambil merekam vlog. Tapi beberapa detik kemudian, angin tiba-tiba berhenti. Semua suara lenyap.
Sunyi. Benar-benar sunyi.
Lalu, tanpa peringatan, terdengar satu jeritan panjang dari dalam hutan. Bukan seperti suara binatang, tapi seperti manusia yang berteriak kesakitan. Suaranya naik turun, melengking, lalu menghilang begitu saja.
Bayangan di Antara Pinus
Mereka saling berpandangan, tubuh gemetar. “Itu… bukan suara hewan, kan?” bisik Tara.
Bagus mencoba menenangkan diri. “Mungkin pantulan suara pendaki lain.” Tapi ketika ia menyorotkan senter ke arah hutan, ia melihat sesuatu bergerak di antara batang-batang pinus.
Bayangan tinggi berwarna hitam berdiri tegak di kejauhan, lalu perlahan menoleh. Di dadanya tampak rantai berkilat yang melilit tubuhnya. Dari mulutnya keluar asap putih, dan ketika gerhana mencapai puncaknya, sosok itu berteriak keras hingga seluruh tanah bergetar.
Rian yang memegang kamera panik dan berlari, tapi kakinya tersandung akar pohon. Ketika ia menatap ke depan, sosok itu sudah berdiri di depannya — wajahnya penuh luka, matanya merah menyala, dan rantai di lehernya berdenting pelan.
Jeritan yang Menggila
Sosok itu membuka mulut lebar-lebar, dan dari dalamnya keluar jeritan bergema ke seluruh penjuru hutan. Semua burung beterbangan, dan udara seketika berubah panas. Tara menutup telinganya, tapi suara itu tidak hanya terdengar — ia terasa, seolah merobek udara di sekitarnya.
“Lari!” teriak Bagus. Mereka berlari tanpa arah, tapi hutan terasa berputar. Setiap kali mereka mencoba keluar, jalan selalu kembali ke tempat yang sama: pohon pinus besar dengan rantai besi yang membelit batangnya.
Tara menatap pohon itu dan berbisik, “Dia… masih di sini.”
Ritual di Tengah Gerhana
Tara ingat pesan seorang tetua desa sebelum mereka berangkat: “Kalau kau mendengar jeritan itu, jangan menantang. Dengarkan, lalu kembalikan suaranya.”
Ia lalu mengambil kalung manik-manik pemberian sang tetua dan mulai melantunkan doa yang ia hafal. Suara jeritan perlahan melemah, tapi rantai di pohon bergetar keras. Cahaya bulan yang kemerahan menembus celah awan, menerangi sesuatu yang terkubur di bawah pohon — tengkorak manusia dengan sisa rantai menempel di lehernya.
Hilda menjerit. “Itu Ki Rantai!”
Seketika, angin bertiup kencang. Bayangan besar muncul di belakang mereka. Sosok itu kini tampak lebih jelas — wajahnya bukan hanya milik satu orang, tapi berubah-ubah menjadi wajah-wajah manusia yang menjerit.
Dendam yang Tak Padam
Sosok Ki Rantai melangkah mendekat, rantainya menyeret tanah, menimbulkan percikan api kecil. “Kalian… datang… lagi…” suaranya berat dan serak. “Manusia… tidak pernah berhenti menjarah…”
Bagus berusaha berbicara, “Kami hanya meneliti, tidak berniat merusak!” Tapi makhluk itu menatapnya tajam, lalu menatap kamera Rian yang masih merekam.
“Suara kalian akan menjadi bagianku.”
Jeritan menggema lagi, lebih keras dari sebelumnya. Semua alat elektronik rusak. Layar kamera retak, dan dari speaker kecil terdengar gema suara yang bukan rekaman — tapi jeritan hutan yang sama, kini memenuhi udara di sekitar mereka.
Fajar dan Kehilangan
Ketika cahaya pertama matahari muncul, hutan kembali tenang. Warga menemukan Hilda dan Tara terbaring di tepi jalan desa, tubuh mereka penuh lumpur dan rantai bekas besi. Rian dan Bagus tidak pernah ditemukan.
Polisi hanya menemukan kamera patah dan potongan rantai tua di tengah hutan. Saat rekaman diperiksa, terdengar suara terakhir Bagus berbisik:
“Kalau dengar jeritan… jangan jawab balik…”
Lalu layar hitam. Namun dari speaker, samar-samar terdengar napas berat seseorang, diikuti tawa rendah yang perlahan berubah menjadi… jeritan.
Hutan yang Tidak Pernah Diam
Sejak kejadian itu, pemerintah memasang larangan untuk memasuki hutan pinus Batu Rantai setiap kali terjadi gerhana. Namun, sebagian warga mengaku masih mendengar jeritan hutan dari arah gunung.
Terkadang, jeritan itu disertai bunyi rantai yang diseret dan bisikan memanggil nama orang secara acak. Anehnya, beberapa nama yang disebut ternyata adalah pendaki yang hilang beberapa tahun lalu.
Setiap kali gerhana kembali terjadi, hutan pinus Batu Rantai menjadi hidup — bukan dengan suara angin, tapi dengan suara arwah yang masih menjerit mencari kebebasan.
Amarah Alam
Malam itu, Tara duduk di beranda rumahnya, menatap berita di televisi tentang gerhana bulan yang akan datang. Di luar, angin berhembus lembut melewati pepohonan. Tapi di antara desirnya, ia mendengar suara yang familiar — samar, jauh, dan menyayat hati.
“Kau sudah mendengarku… tapi kau belum menjawab…”
Rantai kalung di lehernya bergetar sendiri. Ia menatap ke arah barat, ke arah hutan pinus Batu Rantai yang diselimuti kabut merah. Dari sana, terdengar lagi jeritan hutan, kali ini lebih dekat.
Dan ketika bulan perlahan tertutup bayangan bumi, bayangan besar dengan rantai di tubuhnya tampak berdiri di tepi hutan, menatap rumah Tara dengan mata kosong yang bersinar kemerahan.
Kesehatan : Perubahan Iklim Ancam Populasi Penyu di Pantai Selatan