Pertama-tama, Pintu yang Terasa Senyap
Pertama-tama, jejak kaki di atas langit-langit tercium dari bunyi ketukan lembut menyapu papan kayu, walau tak ada satupun lampu teras yang masih menyala. Selain itu, udara di ruang tamu tiba-tiba menyusut dingin, seakan atmosfer malam itu berkonspirasi menebar ketakutan. Bahkan, detak jam náudur di dinding berderap lambat, memaksa detak jantungku menyeimbangkan iramanya. Namun, naluri menolak menyerah; rasa penasaran justru semakin menggunung hingga aku terpaksa merangkak ke bawah tangga, menyambut bisikan tuhaf yang memanggil dari atas.
Kemudian, Suara yang Tak Terlihat
Kemudian, suara itu berubah menjadi derap pelan—seperti langkah kaki seseorang yang menjelajah lantai atas, namun kegelapan menutupi jejaknya. Sementara aku menahan napas, lampu lorong berkedip, menimbulkan sorot temaram yang berpendar di dinding. Selain itu, beberapa kali terdengar desahan halus, bukan berasal dari manusia; melainkan gaung makhluk tak kasat mata. Bahkan, bayangan pepohonan di halaman menari-nari, menciptakan siluet menyeramkan yang seakan ikut merayakan kedatangan misteri.
Selanjutnya, Tangga Menjadi Saksi
Selanjutnya, setiap anak tangga menanggung beban langkah yang tak terlihat, bergemeretak pelan saat aku menaikinya. Meskipun angin berhembus pelan, bau lembab seperti tulang lapuk merembes dari setiap papan kayu. Namun, rasa takut bukanlah halangan; sebaliknya, dorongan ingin tahu memancingku menggapai pegangan dingin. Bahkan, ketika selembar kain lap tepian dinding terkibas sendiri, aku terperanjat, mengetahui bahwa ini bukan sekadar ilusi mata—tetapi panggilan jiwa yang keliru.
Lalu, Ruang Loteng yang Terbuka
Lalu, pintu loteng berderit saat kudorong perlahan, menyingkap kabut tipis yang seakan menunggu kedatanganku. Bahkan, lantai kayu berderit lantang di bawah senter redup yang kugenggam. Selain itu, cahaya menyorot kotak-kotak debu, boneka patah, dan bingkai foto yang retak—menyiratkan sejarah pilu di balik ruangan sunyi itu. Karena jejak kaki di atas langit-langit tersembunyi di atas sana, aku memaksa mata menelusuri retakan papan demi retakan papan, berharap menemukan kebenaran sebelum terjerat bayang-bayang.
Setelah Itu, Bisikan yang Memecah Sunyi
Setelah itu, terdengar bisikan terpecah dari sudut loteng—selarik suara gadis tertawa renyah, lalu merintih lirih. Meskipun kuping tak yakin dari mana arah suara itu, hatiku mencelos; hawa dingin merambat hingga tulang belakang. Bahkan, debu mengepul saat satu kotak kayu terangkat sendiri, terhempas dengan dentuman pelan. Namun tanpa pikir panjang, aku mengejar bisikan itu menuju sudut paling gelap, mengerahkan keberanian sekaligus tekad untuk menghentikan teror.
Seiring Kilatan Senter, Bayangan Berkaki Muncul
Seiring aku menyalakan senter, kilatan cahaya menyingkap sosok montok—sepasang kaki kecil berlumpur menapak di langit-langit papan tua. Tanpa tubuh, tanpa sosok lengkap; hanya kaki mungil berbekas tanah merah. Meskipun nalar berteriak bahwa ini mustahil, mataku menolak berkedip. Selain itu, suara ketukan berbalas dalam jarak tak jauh, seakan makhluk itu mengejek keberadaanku. Bahkan, detik berikutnya, kelelawar terbang menukar keheningan dengan keriuhan gesekan sayap, menambah suasana horor kian memuncak.
Namun, Rahasia Terkuak Saat Boneka Retak
Namun, ketika aku mundur terkejut, tangan menyentuh boneka retak yang tergeletak di lantai. Tiba-tiba, kotak musik di sampingnya berputar sendiri, memainkan melodi sedih yang mengiris. Selain itu, malapetaka mulai terkuak: pemilik rumah dulu menaruh boneka itu di loteng untuk menenangkan arwah anaknya yang terjatuh hingga tewas. Seiring denting nada menggema, jejak kaki tak berwujud itu menapak demi menapak, menyiratkan dendam dan kesedihan yang membara.
Lalu, Pertarungan di Antara Bayangan
Lalu, lantai kayu berguncang, membuatku terperosok ke bawah ambang lemari tua. Di atas, bayangan banteng hitam mengerumuni papan langit-langit, siap menurunkan kutukan. Bahkan, debu beterbangan, menutupi pandangan hingga aku tercekik panik. Namun, demi melindungi nyawa, aku menengadah, memusatkan mata pada satu kaki kecil yang menapak di tengah. Dengan segenap isi hati, aku berteriak memanggil nama gadis itu, mengundang arwahnya menemukan kedamaian.
Akhirnya, Cahaya Pelipur Lara
Akhirnya, kotak musik berhenti, menggantinya dengan keheningan yang menenangkan—satu-to dua-to tiga pelan. Kemudian, kaki mungil di langit-langit memudar, tertuntun ke luar pintu loteng yang tertutup sendiri. Selain itu, kabut lenyap, menyisakan udara hangat yang melenyapkan dingin menusuk. Bahkan, boneka retak menghilang, tergantikan oleh debu tipis tanpa bekas. Aku terengah di ambang pintu loteng, menyadari bahwa jejak kaki di atas langit-langit hanyalah panggilan jiwa yang haus perhatian.
Keheningan yang Menggetarkan
Kemudian, fajar menyingsing, dan rumah tua kembali hening—namun memori teror tetap terpatri dalam pikiran. Meskipun senter akhirnya kupakai untuk menerangi siang, bayangan kukaki mungil masih sering terbayang di sudut mata. Bahkan kini, setiap detik, aku mendengar desah pelan dari loteng seolah berkata, “Jangan lupakan aku…” Karena pada akhirnya, jejak kaki di atas langit-langit bukan sekadar cerita seram, melainkan jeritan hati yang terperangkap di antara dunia dan kematian.
Kesehatan : Strategi Kesehatan untuk Usia 30-an: Apa yang Harus Diperhatikan?