Dentingan Pertama yang Menghantui
Ketika aku melangkah ke ruang tamu keluarga itu, jam dinding tua di atas perapian tiba-tiba berhenti. Jarum detik membeku tepat pada pukul tiga belas. Suara dentingan samar seolah terlambat merespons, lalu terhenti selamanya. Hening itu mencekam, membuat darahku membeku bersama jarum jam. Aku tak tahu bahwa detik-detik berhenti itu akan menandai permulaan mimpi buruk yang tak berujung.
Bisikan Arwah di Balik Kaca Pecah
Kemudian, seorang kerabat yang hadir mulai berbisik dengan suara serak,
“Jam itu… hanya mati saat roh tertukar.”
Wajahnya pucat pasi, matanya kosong. Aku memerhatikan kaca jam yang retak halus, memantulkan bayangan berlapis. Setiap retakan memperlihatkan lapisan kegelapan, seakan ada sesuatu yang mengintip dari balik kayu lapuk. Transisi keheningan berubah menjadi dengung halus—bisikan arwah yang memanggil namaku.
Sejarah Kelam Sang Jam
Lalu aku menyelidiki lebih jauh—jam dinding tua itu ditemukan di loteng rumah peninggalan seorang dukun pembunuh berantai abad lalu. Diceritakan, setiap kali korban terakhirnya menyerah pada kematian, jam itu berhenti tepat detik terakhir nafas mereka. Kutukan itu merembes: roh korban terperangkap di dalam mekanisme, menunggu tumbal baru untuk dibebaskan.
Bayangan yang Mengintai
Setelah itu, malam semakin larut. Cahaya lampu kuning temaram menari di dinding, menciptakan bayangan panjang menakutkan. Dari sana, kulihat sosok melangkah perlahan—seperti manusia, namun tanpa wajah. Tubuhnya rapuh, membusuk, dan setiap tarikan napasnya disertai suara sendi retak. Sosok itu menatap jam, bibirnya bergerak tanpa suara. Jantungku berdetak kencang—aku tahu, jam dinding tua itu memanggilnya.
Getaran di Tanah Kayu
Seketika lantai bergetar halus, temaram lampu bergoyang. Dengung mesin jam terdengar lebih berat, tidak wajar. Detik berlalu, namun jarumnya tetap diam. Aku merasakan hawa dingin merayap di tulang punggung. Ruangan seakan menyusut, menekan tubuhku. Transisi dari ragu ke panik terjadi seketika—aku harus menjauh, tapi kakinya terasa berat, terperangkap di korset ketakutan.
Dentuman Jam Maut
Tepat pukul tiga belas, terdengar satu dentuman keras—berbeda dari gong biasa. Suara itu bergema, menembus setiap tulang. Di momen itulah, lampu padam, menyisakan kegelapan pekat. Bisikan berubah menjadi lolongan menjerit, dan aku mendengar suara walikota desa yang meninggal minggu lalu, menjerit kesakitan. Semua menjerit:
“Jam dinding tua… buka pintu kematian!”
Langkah Terlarang
Dalam kegelapan, aku meraba dinding, mencari saklar lampu, namun aku menemukan pintu rahasia yang tak pernah kulihat. Pintu itu terbuka perlahan, mengungkap lorong sempit berlapis tanah. Bau kapur barus dan darah kering menyeruak—seperti pintu masuk ke dunia lain. Pada titik itu, aku sadar: jam dinding tua bukan hanya penanda waktu, melainkan gerbang antara hidup dan mati.
Lorong Kematian
Di lorong kuno itu, lampu kaleng tua memancarkan cahaya kuning suram. Dindingnya dipenuhi coretan mantra dan nama korban. Setiap langkah menimbulkan gema panjang, dan di belakangku, terdengar gesekan seperti kuku mencakar batu. Nafasku tercekat, dan aku berdoa: semoga bisa kembali sebelum jarum jam bergerak—tapi aku lupa bahwa jarum itu tak pernah bergerak lagi.
Wajah Tanpa Mata
Ketika kugeser sebuah lampion, kukecoh bekas gambaran cermin kecil. Cahaya redup memantulkan sosokku, namun saat aku mendekat, wajah itu lenyap, digantikan sosok tanpa mata, mulut terkulum senyum penuh rabun. Aku terperanjat, mundur terburu, dan lampion jatuh memecah, memercikkan cahaya-padam-cahaya yang memalu mata. Suara napas berat memburu di belakang—aku tahu, roh dukun pembunuh itu mengikuti.
Detik yang Tak Pernah Lewat
Aku menoleh ke arah jam dinding tua yang masih tergeletak di lorong sempit—jarum detik masih menancap di angka tiga belas. Gedebuk pintu di ujung lorong menutup sendiri, menandakan tak ada jalan pulang. Keheningan menekan, kemudian terdengar detak—bukan dari jam, melainkan dari dalam dadaku yang memuncak. Aku terperangkap di antara detik yang tak pernah lewat dan detik terakhir hidupku.
Korban Terbaru
Keringat dingin membasahi seluruh tubuh. Tanpa sadar aku berteriak,
“Lepaskan aku!”
Namun tak ada yang merespon, kecuali tawa parau arwah-arwah yang terperangkap. Sorotan matanya menyalur ke tubuhku, seperti ingin masuk ke tulang sumsum. Aku mendengar suara dentuman jam lagi—jadi dua, jadi tiga—seolah setiap dentuman menandai satu jiwa baru yang dikorbankan. Dan aku… aku tahu aku korban berikutnya.
Garis Batas Hidup dan Mati
Dalam kondisi panik, aku menutup mata dan melompat ke sisi lain lorong, berharap menemukan jalan lain. Namun kutukan itu tak mengizinkanku bebas. Cahaya lampu kaleng berkedip terbalik, memantulkan bayangan hitam yang bergerak tak menentu. Aku menjerit dan merasakan tangan dingin meremas bahu, menarikku ke depan jam. Seketika cahaya hilang, dan aku terhisap dalam kehampaan putih.
Bisikan Terakhir sebelum Kematian
Sebelum kehilangan kesadaran, aku mendengar satu kalimat halus:
“Setiap kematian, jarum berhenti. Setiap jiwa, pintu terbuka.”
Lalu jam itu berdenting sekali, menandai akhir perjalanan hidupku. Detik terakhir menguap, dan aku… aku berhenti.
Abad Berikutnya
Beberapa hari kemudian, keluarga itu menemukan ruang tamu dalam keadaan kosong. Jam dinding tua tergeletak di lantai, jarumnya masih menancap di angka tiga belas. Tak ada jejak tubuhku, hanya sisa lipatan kain hitam di sudut. Kini, rumah itu sunyi sekali. Dan siapa pun yang melintas di depan jendela akan melihat jam itu berdetak sendu, menanti kematian berikutnya.
Politik : Poros Baru: Ekonomi dan Diplomasi Indonesia–Tiongkok