Konon katanya, jalanan desa yang tidak pernah sama hanya muncul bagi mereka yang datang tanpa pamit dan pulang tanpa doa. Cerita ini bermula ketika aku—seorang mahasiswa perantauan—dikirim untuk melakukan penelitian ke sebuah desa terpencil bernama Pagersari. Terletak di lereng bukit berhutan lebat, desa itu tampak biasa saat siang hari, tapi berubah menjadi labirin menggila setiap malam.
Perjalanan Pertama Menuju Desa
Aku tiba di Pagersari pada sore hari, setelah perjalanan panjang melewati jalan berliku dan gelap. Meski letaknya jauh dari pusat kota, suasananya terasa damai. Namun sejak awal, ada yang aneh. Setiap penduduk desa yang kutanya soal jalan utama selalu menjawab berbeda. Bahkan, ketika aku coba menelusuri jalan yang sama untuk kembali ke penginapan, rutenya berubah drastis. Rumah-rumah yang tadi kulalui tiba-tiba tidak ada, dan gang kecil yang tadinya buntu kini bercabang menjadi dua.
Lebih mengerikan, suasana berubah drastis begitu matahari terbenam. Kabut turun cepat, menutup seluruh pandangan. Selain itu, suara jangkrik mendadak hilang, digantikan bunyi derap langkah entah dari mana. Setiap langkahku terasa seperti menenggelamkan kaki ke tanah asing.
Jalan yang Selalu Berbeda
Malam kedua, aku memutuskan mencoba rute berbeda hanya untuk memastikan semuanya tidak sekadar ilusi. Akan tetapi, meskipun aku mencatat setiap belokan dan tanda jalan, ketika kembali, tidak ada satu pun yang sama. Tugu kecil di perempatan menghilang, pohon besar yang kupakai sebagai penanda berganti dengan lapangan kosong, dan bahkan papan nama desa berubah ejaannya.
Saat itu pula aku menyadari: jalanan desa yang tidak pernah sama bukan hanya legenda. Aku berjalan dalam lingkaran tempat dan waktu yang terus berubah. Lebih jauh, desiran angin yang membawa bisikan pelan mulai terdengar jelas: “Jangan kembali…”
Bertemu Penjaga Jalan
Suatu malam ketika kabut semakin tebal, aku bertemu seorang lelaki tua duduk di atas batu, menatap kosong ke arah hutan. Ia mengenakan pakaian lusuh dan topi caping, namun suaranya jelas dan tajam. Ia berkata, “Kalau kau terus berjalan tanpa tahu ke mana pulang, desa ini akan menelanmu.”
Menurutnya, Pagersari bukan desa biasa. Jalan-jalan di sini hidup dan bisa merasa. Mereka menyukai orang tersesat. Setiap langkah yang tidak disertai niat pulang akan dianggap sebagai izin masuk… selamanya. Aku bertanya bagaimana bisa keluar, tapi lelaki tua itu hanya menunjuk ke arah pohon beringin besar dan menghilang begitu saja—seperti kabut.
Kembali ke Awal yang Tak Sama
Dengan penuh ketakutan namun nekat, aku menuju pohon beringin itu. Anehnya, semakin dekat aku berjalan, semakin jauh jaraknya terlihat. Langit pun menghitam mendadak, dan suara tertawa pelan terdengar bersahut-sahutan di antara pepohonan. Saat aku mencoba kembali, jalan yang barusan kulalui sudah tidak ada.
Sekarang aku berada di jalan batu sempit yang dikelilingi rumah-rumah tanpa jendela. Lebih jauh, rumah-rumah itu sepi namun terbuka pintunya, mengundang seakan-akan tahu aku sudah kelelahan. Tapi aku tahu, sesuatu yang buruk menunggu di balik pintu-pintu itu. Bahkan tanah mulai berdenyut, dan udara menjadi padat seperti mendorong tubuhku agar masuk ke dalam salah satu rumah.
Dimensi yang Terlipat
Keesokan paginya—jika memang itu pagi—langit berwarna merah pucat, dan pepohonan berdiri membelakangi jalan. Arah mata angin tak lagi relevan; bahkan jam tanganku berhenti berdetik. Tak ada sinyal, dan peta di ponsel hanya menunjukkan satu titik—titik yang tidak pernah bergerak meskipun aku berjalan jauh.
Aku menemukan sebuah rumah tua, dindingnya penuh tulisan melingkar seperti mantra. Di dalamnya, sebuah cermin besar menampilkan jalanan desa yang tidak pernah sama: setiap pantulan di cermin menunjukkan rute berbeda. Aku pun sadar, aku terjebak dalam semacam dimensi yang melipat ruang—dunia yang diciptakan oleh jalan-jalan hidup.
Jalan Pulang yang Tak Benar-Benar Ada
Akhirnya, aku putuskan untuk menghentikan pencarian jalan keluar. Sebaliknya, aku mencari titik yang mungkin menjadi “tengah” dari desa ini—pusat kekacauan. Tepat di bawah sebuah pendopo tua, aku menemukan semacam lorong sempit yang berujung pada sumur tua. Di atas sumur itu, tergantung lonceng besi kecil yang berbunyi sendiri setiap kali aku menyentuh tanah.
Lalu, suara dari dalam sumur memanggil: “Kembalilah saat niatmu murni…” Tanpa tahu maksudnya, aku duduk dan mulai mengingat tujuan awalku datang: penelitian, ilmu, bukan sekadar rasa ingin tahu. Saat niat itu kugenggam dalam hati, jalan di belakangku membuka perlahan, memperlihatkan jalur tanah merah yang mengarah ke perbatasan desa.
Jalanan yang Tak Pernah Melupakan
Aku berhasil keluar dari Pagersari, atau setidaknya… begitulah menurutku. Namun, setiap malam sejak itu, saat aku memejamkan mata, aku selalu bermimpi berjalan di antara jalanan yang terus berubah, dihiasi kabut dan rumah-rumah kosong.
Dan lebih menakutkan lagi, setiap kali aku kembali ke kampus dan menengok peta daerah Pagersari… nama desanya tidak pernah tercatat di mana pun. Tak ada rute, tak ada koordinat, seolah desa itu hanya eksis dalam mimpi buruk. Tapi aku tahu, jalanan desa yang tidak pernah sama masih ada. Menunggu orang berikutnya yang datang tanpa pamit, dan pulang tanpa doa.
Food & Traveling : Nikmati Wisata Alam dan Kuliner yang Menarik di Tegal Bahari