Pada malam yang pekat, jalan buntu yang membawa pulang itu mulai memperlihatkan wujud aslinya. Pertama-tama, sepasang kaki melangkah perlahan di aspal retak, sementara lampu jalan menyorot bayangan panjang. Selain itu, angin dingin mengiris tulang, seakan membawa bisikan samar yang memanggil namamu—namun tak seorang pun di ujung lorong itu.
Sekilas Soal Rumah Reruntuhan
Lebih jauh lagi, di ujung jalan, berdiri bangunan tua yang sudah roboh; dindingnya terbelah lebar, atap longsor, dan jendela tanpa kaca menatap kosong ke lorong hampa. Sementara itu, rumput liar menyelimuti pekarangan, seolah menelan sisa-sisa kehidupan yang pernah ada di sana. Oleh karena itu, rasa penasaran kian membuncah, walau naluri memperingatkan untuk berbalik.
Langkah yang Tak Terkira
Kemudian, kaki tak terkendali terus maju. Meski demikian, setiap langkah terasa memantul, bukan dari tanah, melainkan dari dinding retak yang seolah hidup. Selain itu, suara debur reruntuhan terdengar semakin dekat, padahal angin senyap tak menggerakkan serpihan batu sedikit pun. Oleh karena itu, ketegangan merambat dari ujung kepala hingga ujung kaki.
Bisikan dari Dinding Reruntuhan
Selanjutnya, saat mendekati pintu utama yang hilang, terdengar bisikan lirih, “Pulangkan aku…,” memecah kesunyian malam. Selain itu, satu per satu huruf bercahaya muncul di permukaan bata yang numpang roboh, menuliskan nama seseorang yang jauh dari hidupmu. Lebih jauh lagi, napasmu tertahan ketika menyadari bahwa bisikan itu bukan sekadar gema.
Bayangan Tanpa Wujud
Di sisi lain, sudut bangunan menampakkan kilatan bayangan bergerak cepat. Sementara cahaya senter berkedip, sosok tanpa wujud itu menghilang. Namun, tatapannya tertinggal—dua titik mata merah yang berdenyut, memancarkan kebencian purba. Meskipun demikian, sebelum kau sempat lari, sosok itu sudah merasuki apel otak, menanam ketakutan yang sulit dijelaskan.
Jejak Kaki di Debu Basah
Lebih jauh lagi, setelah hujan gerimis turun, debu di lantai bangunan berubah menjadi lumpur, menampakkan jejak kaki telanjang yang menuju ruang tengah. Oleh karena itu, kau mengikuti jejak itu, berharap menemukan jawaban. Namun, semakin dalam, lorong-lorong sempit terbuka—bukan ke ruangan yang sama, melainkan lorong baru yang tak pernah ada sebelumnya.
Lorong Labirin yang Menyesatkan
Selanjutnya, jalan buntu yang membawa pulang justru menjelma labirin. Setiap belokan memunculkan lorong lain, sedangkan di dinding tergantung potret usang keluarga tak dikenal. Sementara itu, potret-potret itu tiba-tiba berkedip, dan senyum di bibir mereka melebar menyeramkan. Oleh karena itu, jantung berdebar kencang, menandakan bahaya yang tak bisa dihindari.
Pintu Terkunci yang Membuka Diri
Namun demikian, saat menyerah dan berbalik, kau melihat pintu kayu tua di ujung lorong. Anehnya, pintu itu terbuka perlahan, menimbulkan deritan panjang. Selain itu, lampu gantung lapuk bergoyang meski tiada angin. Oleh karena itu, naluri memaksa masuk, meski akal menjerit agar lari.
Ruang Tengah Berlumuran Darah
Di dalamnya, lantai berlumur noda coklat pekat—bukan hanya darah, melainkan cairan pekat seperti nanah masa lalu. Sementara itu, terdengar suara rintihan nyaris manusiawi memantul di dinding. Lebih jauh lagi, di sudut ruangan, terdapat sosok terikat pada kursi kayu, wajahnya tertutup kain sobek. Sosok itu mengangkat kepalanya perlahan, menatapmu tanpa bicara, membuat kulit merinding tak tertahan.
Kepanikan yang Membakar Adrenalin
Selanjutnya, pintu di belakangmu menutup dengan sendirinya—mengunci rapat tanpa kunci. Oleh karena itu, kepanikan menyeruak. Langkah tergesa membentur meja kayu. Selain itu, papan lantai retak di bawah kakimu, menimbulkan suara gemeretak memekakkan telinga. Sementara sosok terikat mengerang, suara itu menyatu dengan bisikan di dinding, menciptakan simfoni teror yang mencekam.
Sorotan Senter yang Memudar
Kemudian, baterai senter tersisa berkedip habis. Sesaat kegelapan total menyelimuti semuanya. Akibatnya, kau merasakan napas hiruk-pikuk sosok tanpa wujud di dekat tengkuk. Meskipun demikian, tepat sebelum kau merasa disentuh, lampu jalan di luar berkedip kembali, memasok setitik cahaya ke celah pintu.
Pintu Terbuka Menuju Kekosongan
Dengan susah payah, pintu berhasil didorong. Namun, yang tampak hanya lorong kosong yang sama seperti semula, tanpa bebatuan, tanpa sisa darah, dan tanpa jejak jejak kaki—seolah semuanya hanya mimpi buruk. Selain itu, reruntuhan bangunan pun lenyap, berganti ladang ilalang tinggi menari diterpa angin.
Kembalinya ke Dunia Nyata
Akhirnya, kau menemukan dirimu berdiri di pinggir jalan sepi, jauh dari pemukiman, dengan pakaian robek dan tubuh lelah. Sementara itu, lampu kendaraan melintas di kejauhan, menuntunmu pulang. Namun, dalam kantongmu, terjuntai selembar kertas lusuh bertuliskan satu kalimat: “Terima kasih telah membawa pulang aku.”
Epilog: Jejak yang Tak Terhapus
Pada keesokan harinya, tak ada satu pun orang yang mengetahui tentang jalan buntu yang membawa pulang itu. Lebih jauh lagi, tak ada reruntuhan, tak ada labirin, dan tak ada sosok tanpa wujud—hanya kenangan kelam yang membekas di benak. Meskipun demikian, setiap malam, kau mendengar bisikan lirih memanggil namamu, menandakan bahwa rumah roboh itu kini berada di dalam dirimu.
Berita Nasional : Poros Baru: Ekonomi dan Diplomasi Indonesia–Tiongkok