Gorden Terangkat Tanpa Angin Saat Azan Maghrib Terdengar

Gorden Terangkat Tanpa Angin Saat Azan Maghrib Terdengar post thumbnail image

Senja Berkabut

Ketika adzan maghrib berkumandang dari surau di ujung kampung, jantung Rifa berdetak lebih kencang. gorden terangkat tanpa angin adalah hal terakhir yang ia harapkan malam itu. Udara senja menyelimuti ruang tamu rumah tua warisan kakeknya, namun gorden tipis di balik jendela malah bergeliat hebat, seolah disentak tangan tak kasat mata.

Tanda Awal yang Menggigilkan

Rifa baru hendak menunaikan salat maghrib ketika terdengar desing samar—gorden menari di tepi jendela. Ia merentangkan jari ke arah tirai, nyaris menyentuh, tapi tiba-tiba helaian kain itu berloncatan ke samping. Tidak ada angin yang masuk; lubang ventilasi tertutup rapat. “Tunggu…” gumamnya, mematung.

Bisikan di Ambang Adzan

Begitu takbir, suara halus membelah kesunyian: “Rifa…” Suara itu persis senandung mantan pembantu kakeknya yang meninggal lima tahun lalu. Hatinya sesak. Lalu, gorden terangkat tanpa angin kembali mengibaskan ujung kainnya, menyingkap pandangannya ke taman belakang—padahal lampu taman padam.

Bayangan di Balik Tirai

Rifa menahan napas, mematung di balik sajadah. Tirai itu bergerak lagi, kali ini lebih cepat, mengungkap siluet sosok perempuan berkerudung putih, rambut panjang terurai menutupi wajah. Ia melayang sekilas, lalu lenyap. Degup nadi Rifa naik—bayangan itu ada di situ, menahan pandangan yang berusaha mengikutinya.

Jejak Kaki Berbekas Debu

Setelah salam, Rifa mengintip ke taman. Lembaran dedaunan basah tertabur di tanah, terparkir jejak kaki kecil menuju jendela ruang keluarga. Jejak itu menghilang tepat di bawah gorden—seolah sosok itu hilang ke dimensi lain. Hening dipecah getar handphone: notifikasi kamera CCTV. Rifa membuka—rekaman memperlihatkan tirai terkibas, bayangan putih melintas, lalu larut dalam kegelapan.

Kenangan Kelam Warisan Kakek

Dulu, kakeknya pernah bercerita tentang “penunggu” rumah ini: seorang gadis yatim piatu yang dulu tinggal di belakang rumah, meninggal di musim kemarau karena kelaparan dan sakit. Cerita berakhir di sini, namun malam ini gorden terangkat tanpa angin seakan memanggil namanya kembali, menagih janji yang belum terselesaikan.

Suara Pintu yang Tergeser

Rifa bergeser ke ruang tengah. Pintu kayu lawas bergesek perlahan, membuka setengah. Dari celah pintu, terpancar cahaya remang—padahal seluruh lampu sudah dimatikan. Hatinya menjerit, tapi mulutnya terkunci. Sosok putih itu muncul lagi, wajahnya basah oleh air mata yang tak pernah berhenti menetes.

Derrit Engsel Berteriak

Dalam kegelapan, engsel pintu menjerit, menambah kengerian. gorden terangkat tanpa angin terdengar lagi di kamar sebelah—tirai di sana meloncat, menumbuk dinding dengan irama geram. Rifa menggigil, merasakan hawa dingin menikam tulang.

Pertempuran Batin

Rifa menutup mata, membaca ayat-ayat suci yang dihafal sejak kecil. Namun suara perempuan itu makin lantang memanggil: “Rifa…” Detik demi detik terasa seperti abad. Ia merasakan tangan dingin menyentuh pundaknya, membangkitkan kenangan pahit—waktu Rifa memanggil pengurus yayasan, mengirim perempuan itu pergi karena dianggap merepotkan.

Puncak Teror di Maghrib Kedua

Ketika adzan maghrib kedua berkumandang, teriakan merintih membahana. Gorden di ruang tamu terangkat tinggi—seolah membuka portal. Dari celah itu memancar cahaya ungu pekat; siluet gadis itu menari di antara cahaya dan bayangan, melantunkan ratapan dendam. “Kembalikan hidupku…” Ia melompat, menukik ke arah Rifa.

Cahaya Penebus Dosa

Rifa terjengkang, air matanya bercampur peluh. Dengan sisa keberanian, ia menyalakan lilin di tengah ruangan, membentuk lingkaran doa. Suara ayat makin deras, menembus keheningan. Perlahan, bayangan di tirai menggeliat, kemudian mereda. Kain gorden menutup sendiri dengan lembut, menandakan ritual doa berhasil mematahkan ikatan dendam.

Fajar yang Membebaskan

Saat subuh menjelang, udara hangat menyelimuti rumah. Lilin terakhir padam, dan hanya sunyi yang tersisa. Rifa berdiri di depan jendela, menarik gorden—semua tampak biasa. Namun sesaat sebelum fajar penuh, ia melihat bekas tapak kaki di debu jendela—tapi kali ini bukan menuju tirai, melainkan menjauh, seperti sosok itu pergi.

Jejak yang Tak Terhapus

Meski rumah kembali tenang, gorden terangkat tanpa angin akan selalu terngiang di benak Rifa. Setiap kali adzan maghrib berkumandang, getar di pintu, desah di sudut ruangan, mengingatkannya pada gadis putih itu. Rifa tahu, meski dendam telah ditebus, bayangan supranatural tak pernah benar-benar pergi—mereka menunggu kelalaian berikutnya.

Politik : Poros Baru: Ekonomi dan Diplomasi Indonesia–Tiongkok

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Post