Prolog: Bayangan di Lorong
Pada malam itu, Ember Darah di Sudut Sekolah berbisik melalui desahan angin yang merambat di antara koridor kosong. Awalnya, aku hanya ingin memastikan kunci gudang olahraga terpasang dengan rapat, namun suara tetesan cairan merah menjerit pelan di telingaku, seakan memanggil namaku. Selain itu, lampu taman yang biasanya hangat kini berkedip putus-putus, menambah kesan dingin yang mencekam.
Kedatangan Penjaga Malam
Pertama-tama, aku mengenakan jaket tebal karena udara basah menusuk tulang. Kemudian, aku menyalakan senter dan menapaki lantai keramik yang berderet panjang. Selain itu, gema langkah kakiku beradu ritme dengan detak jantung, semakin membutakan akal sehat. Lalu, tiba-tiba aku mendengar detakan yang tak beraturan—bukan suara pintu, melainkan ketukan halus di sudut kelas tiga.
Bisikan dari Sudut Gelap
Setelah itu, senterku menyorot sebuah ember tua di sudut sekolah—ember yang kabarnya kosong sejak renovasi tahun lalu. Namun demikian, kali ini ember itu terisi cairan merah pekat, menetes pelan ke lantai. Kemudian suara bisikan lirih muncul, “Bantu aku…” Suara itu parau dan penuh keputusasaan. Sementara itu, lantai keramik di sekitarnya berubah gelap, seakan menyerap cahaya senter.
Jejak Langkah Tanpa Jejak
Selanjutnya, aku mencoba mendekat, tetapi semakin dekat bola mata ini tertutup kabut tipis. Bahkan ketika aku mundur, jejak tapak kaki merah terpatri di lantai, menuntun ke ruang perpustakaan. Namun demikian, rak buku menjulang tinggi menimbulkan bayangan tebal di dinding. Selain itu, aroma logam dan tanah basah menggumpal di betisku, menandai darah tua yang tak pernah kering.
Penyelidikan di Ruang Perpustakaan
Kemudian, aku beranjak ke perpustakaan. Karena dalam kegelapan, tumpukan buku tampak seperti sosok berdiri. Namun demikian, aku berhasil menemukan arsip lama tentang seorang murid hilang pada dekade lalu. Sementara itu, aku membaca namanya—Ardi—dan catatan singkat tertulis: “Ditemukan terakhir di sudut sekolah.” Bahkan hati kecilku menciut saat aku menggenggam kertas kuning itu.
Pintu Kelas yang Terkunci
Kemudian, aku keluar menuju koridor. Selanjutnya, aku mendapati pintu salah satu kelas terkunci rapat dari dalam. Selain itu, suara desir kain meminta tolong terdengar samar dari celah pintu. Karena rasa penasaran, aku meraih gagang besi, tapi pintu itu menolak dibuka. Lalu tiba-tiba terdengar benturan keras di balik pintu—seolah sesuatu menendang kuat—dan suara napas berat menghantam telingaku.
Teror di Lorong Buntu
Kemudian pula, aku berbalik dan berlari ke lorong buntu. Bahkan ketika aku menoleh, cahaya senter menampakkan deretan jendela tinggi yang memantulkan bayangan tanpa tubuh. Selanjutnya, jendela pertama terlepas sedikit, menimbulkan suara desis angin dan aroma anyir darah. Namun demikian, aku mendengar langkah berlari mengejarku; detak jantung terasa semakin nyaring.
Wujud Pemilik Ember
Setelah itu, aku kembali ke ember berdarah. Saat kulihat lebih seksama, ember itu berhenti menetes dan berubah menjadi tatapan mata kosong—dua lingkaran pekat yang mengapung di dalam cairan merah. Karena ketakutan, aku memegang ember itu dengan sarung tangan dan mengangkatnya. Tiba-tiba tubuhku terhuyung, seakan dia menarikku ke dalam cairan kentalnya.
Ritual Pelepasan Dosa
Kemudian, aku teringat akan buku ritual tidur—buku kecil yang kutemukan di gudang. Dalam buku itu tertulis kalimat-kalimat kuno untuk memanggil roh agar tenang. Setelah membuka halaman sobek, aku membaca mantera pengampunan sambil memercikkan air suci ke ember. Selain itu, aku melafalkan doa sambil menaburkan garam di sekeliling ember.
Puncak Ketegangan: Jeritan Malam
Namun pada saat itulah, Ember Darah di Sudut Sekolah menjerit pilu—jeritan yang memekakkan hati. Buku ritual terlepas dari genggamanku, dan halaman-halamannya beterbangan di udara dingin. Selanjutnya, darah di ember berputar di dalam ember sebelum memancar keluar, melukis garis-garis menakutkan di dinding. Bahkan lantai keramik retak, menganga menjadi rongga gelap.
Epilog: Sekolah yang Terkutuk
Akhirnya, setelah aku menyelesaikan doa terakhir, cairan merah mengental dan menutup rapat ember—seperti dibekukan dalam waktu. Kemudian, sunyi kembali merajai sudut sekolah, namun aroma darah dan kenangan tragis tak pernah lenyap. Karena itu, Ember Darah di Sudut Sekolah akan terus menunggu penjaga malam berikutnya, yang mungkin takkan pernah kembali.
Inspirasi : Alasan Kenapa Self-Love Adalah Kunci Bahagia