Denyut jantung di bawah lantai bergetar kencang, menembus keheningan rumah tua yang mulai berderit, seakan menyampaikan bisikan ngeri dari kedalaman. Ketika Dira pertama kali mendengar detak itu malam kemarin, ia mengira angin yang merembes ke kayu lapuk. Namun, setelah lampu mati dan keheningan mencekam, suara itu kembali—lebih nyata, lebih menakutkan. Di saat itulah, rasa dingin merayap menembus tulang rusuknya, memaksanya memeriksa lantai ruang tamu, padahal mulutnya tercekat oleh ketakutan. Sementara detik berlalu, denyut itu kian cepat, seolah menunggu keberaniannya untuk terus mendekat.
Asal Usul Rumah Terbengkalai
Pertama-tama, rumah itu dibangun pada abad ke-19 oleh seorang dokter bedah yang terkenal kejam. Selanjutnya, ia menghilang tanpa jejak setelah melakukan eksperimen di ruang bawah tanah, meninggalkan pintu terkunci rapat. Kemudian, sejumlah penghuni dilaporkan menghilang satu per satu, hingga akhirnya rumah dibiarkan kosong, menyisakan desas-desus tentang mayat-mayat yang dikubur di bawah lantai kayu. Meskipun cerita itu terdengar tak masuk akal, penghuni terdekat mengakui mendengar detak seperti denyut—padahal tidak ada detak jam di rumah itu. Kini, Dira mewarisi kunci tua, sekaligus tanggung jawab untuk menguak penghapus misteri di balik denyut jantung di bawah lantai.
Langkah Pertama Menuju Kegelapan
Setelah memasuki ruang tamu yang remang, Dira menyalakan lilin kerapuhan. Kemudian, asap lilin menari-nari di udara, menampakkan partikel debu seperti rintik hujan kecil. Meski demikian, lantai kayu memancarkan suara ketukan pelan—denyut jantung di bawah lantai. Selanjutnya, ia meratakan napas, lalu merunduk untuk mendengarkan lebih dekat. Pada saat itulah, lantai bergoyang ringan, seakan denyut itu menembus setiap papan. Sementara hati Dira berdebar, ia menarik napas panjang dan mencari palu serta pahat tua di gudang belakang.
Membuka Penyekat Rahasia
Kemudian, Dira meletakkan papan kayu longgar yang menutupi lubang kecil di tengah karpet lusuh. Selanjutnya, ia memukulkan palu ke paku karat, hingga pahat menembus kayu lapuk. Namun, saat paku terakhir tertanggal, pintu rahasia terkuak perlahan, mengungkap tangga sempit berdebu yang menurun ke bawah. Setelah itu, hawa dingin langsung menyerang, membuat lilin di atas tangga meredup. Meskipun rasanya ngeri, Dira menyalakan senter dan melangkah turun, setiap anak tangga berderit oleh beratnya tubuhnya sendiri. Meski begitu, denyut jantung di bawah lantai semakin keras—seperti seseorang menekankan telapak tangan di kayu.
Ruang Bawah Tanah Berlumuran Darah
Tak berapa lama, Dira tiba di ruang bawah tanah yang luas, di mana lapisan debu menutupi ubin retak. Selain itu, pintu besi tua berkarat tergeletak di sudut, sedangkan sebuah meja operasi terpampang di seberang bilik. Ketika sinar senter menyapu ruangan, tampak noda merah tua menetes dari dinding—bekas darah kering yang menetes lambat. Sementara itu, denyut jantung di bawah lantai kini bergema dalam lubang besar di tengah—bayangan lingkaran sempurna di lantai beton. Tanpa menunggu lama, Dira menunduk dan menempelkan telinga ke permukaan dingin, merasakan getaran hidup yang berdenyut pelan-pelan.
Penampakan di Kegelapan
Kemudian, ia mengulurkan tangan dan memungut sebuah kunci berlapis karat yang tergeletak di tepi lubang. Selanjutnya, suara seretan rantai terdengar di sudut ruangan—sesuatu bergerak di balik bayangan. Setelah itu, kilatan cahaya senter menyingkap sosok kurus terlungkup dengan lengan terentang, rantai mengikat pergelangan tangannya ke dinding. Tubuhnya pucat, kulitnya merekah, sedangkan mulutnya terbuka lebar dalam jeritan bisu. Meski napas Dira mampet, denyut jantung di bawah lantai berubah menjadi riuh—seakan detak yang sama bersahutan dari segala arah.
Kilasan Masa Lalu
Mendadak, suara bergema: “Bebaskan aku…” Suara itu nyaris tidak manusiawi, penuh ratapan dan amarah. Lalu, kilatan lampu padam, meninggalkan Dira dalam gelap gulita, hanya suara denyut jantung di bawah lantai yang terasa menyesakkan dada. Namun, saat lilin menyala kembali, sosok terikat itu lenyap, digantikan bayangan hitam pekat yang menari di tepian senter. Meskipun ia terkejut, Dira menemukan catatan sobek di mendung dinding—tulisan dokter bedah: “Hidup harus dijaga, walau harus meracik nyawa di bawah lantai.” Dengan segera, ingatan tentang eksperimen manusia diambil dari Thomas Sinclair, dokter bedah legendaris, menjadi nyata.
Konfrontasi dengan Mayat Hidup
Tiba-tiba, tubuh di dinding terangkat perlahan, bangkit dari rengkuhan maut. Denyut jantung di bawah lantai memuncak seperti simfoni kematian. Selanjutnya, bola mata kosong menatap Dira—tanpa kelopak, hanya bola gelap yang pekat. Dalam sekejap, sosok itu melucu, lalu menyerang dengan tangan berlubang. Sementara Dira melompat ke belakang, rantai terlepas dari dinding, menghantam batu dingin. Meski ia tersandung, senter masih menyala, menyorot lantai—denyut itu berubah menjadi gelombang cahaya merah, memancar ke segala arah.
Teror Terpenting
Selanjutnya, ruangan berputar, suara detak berganti menjadi tawa serak yang membahana. Dira menutupi telinga, berusaha menenangkan diri—tetapi denyut jantung di bawah lantai menelan semua kesadaran. Kemudian, ia mengangkat kunci karat dan melemparkannya ke arah bayangan itu. Dentuman besi menimbulkan percikan api kecil yang menyalakan botol eter di meja operasi. Segera, ruangan dipenuhi kabut aromatik, dan bayangan itu meringkuk, meraung kesakitan. Sementara Dira menahan napas, ia menarik tuas pada meja operasi, membuka sebuah panel rahasia—menyibak pipa-pipa tua penuh cairan hijau pekat.
Pelarian Berlumuran Darah
Dalam sekejap, ruangan bergoyang hebat, dan genteng di atas retak, menurunkan batu serta serpihan kayu. Denyut jantung di bawah lantai kini terasa menghentikan waktu—semua detik menunggu ledakan akhir. Meski demikian, Dira berlari menuruni tangga sempit, roda gigi mesin pompa kuno berderit di belakangnya. Sesaat, denyar lampu darurat menyala, menerangi sisa darah di dinding—bekas perjuangan mayat hidup. Ia keluar melalui pintu besi, mendapati malam sudah mereda, hanya remang lampu jalan menerangi pekarangan.
Akhirnya, Dira berdiri di depan rumah tua itu, tubuhnya gemetar serta berlumuran debu dan darah. Namun denyut jantung di bawah lantai masih terngiang di telinganya—suara yang tidak akan pernah padam. Ia menatap kunci karat di genggamannya, dan berbisik, “Tidak akan kubiarkan nyawa lain terkubur di sini.” Sementara sirine ambulan meraung jauh, bayang-bayang rumah itu seakan tersenyum dingin, menyimpan janji kengerian berikutnya.
Sejarah : Pemikiran Karl Marx dalam Konteks Sejarah Pergerakan Sosialis Global