Keheningan Malam
Namun, keheningan yang luas justru menimbulkan kegelisahan. Seiring waktu berjalan lambat, dentuman mencekam kubah masjid pun mulai terasa menjalar di setiap sudut hati. Awalnya, suara itu bagai lengkingan halus yang datang dan pergi tanpa jejak, membuat sebagian kaum remaja yang berjaga di halaman masjid saling bertukar pandang penuh curiga. Sementara itu, lampu gantung di serambi bergetar pelan, seakan tak kuasa menahan getaran tak kasat mata yang merambat pelan dari atas.
Kemudian, bayangan panjang menari-nari di dinding, mengundang rasa waswas. Tiap kali angin bergerak, lantunan ayat yang semula merdu mendadak retak, seolah terpotong oleh deru tak jelas. Awalnya, semua mengira ini sekadar permainan angin malam dan gema tak sempurna, namun siapa sangka, ini baru permulaan.
Dentuman Pertama
Tiba-tiba saja, dentuman keras mengguncang kubah hingga menderu. Para penjaga terkejut, nyaris terjatuh dari menara kayu. Gema yang terpecah bak palu raksasa memukul hati, membuat seluruh jengkal tanah seolah bergetar. Dalam sekejap, santri yang tengah istirahat di ruang kelas belakang tertawa kecil—namun tak lama berubah menjadi tangisan histeris ketika suara itu datang kembali, kali ini lebih dekat, lebih brutal.
“Apakah itu… suara meriam?” tanya seorang lansia dengan nada serak, padahal segala letusan di wilayah ini telah lama dilarang. Namun jawaban tak kunjung datang, hanya bisu yang menjawab, membuat bulu kuduk meremang.
Jejak di Kubah
Seiring dentuman berulang, petunjuk mulai muncul. Tetesan air menetes dari celah kubah—padahal tak ada hujan. Namun, ketika diperiksa, air itu tak dingin basah, melainkan hangat asin layaknya keringat yang mengering terlalu lama. Saat lampu sorot diarahkan, tampak retakan halus membelah ubin keramik, memancarkan cahaya temaram yang seperti bara api.
Namun, sebelum sempat diambil sampel, suara gema lain menerobos keheningan. Kali ini bukan hanya satu, melainkan rangkaian denyar yang bertalu-talu, membawa bisikan samar “Keluar… Keluar…” yang menusuk tulang. Semua yang mendengarnya menunduk, menahan napas agar tak bersuara, seakan nyawa tergantung pada kebisuan itu.
Bisikan di Kedalaman
Sementara itu, sekelompok pemuda memutuskan turun ke ruang bawah masjid—bekas ruang penyimpanan kitab kuno. Dengan senter yang berpendar pucat, mereka menuruni tangga retak. Namun, langkah kaki baru separuh jalan, dan tiba-tiba suara dentuman mencekam kubah masjid membahana hingga ke sumsum tulang. Bersamaan, dinding bergetar, pasir remuk berhamburan dari langit-langit.
“O… apa ini?” gumam salah satu, suaranya tercekat karena udara penuh debu. Lampu sorotnya menyorot sebuah nisan batu tua yang sebelumnya tak pernah ada di peta denah masjid. Tertulis nama tanpa diketahui asal usul, dikelilingi kaligrafi retak yang mengerikan. Di bawahnya, terbuka mulut sumur gelap, dari dalamnya terdengar erangan lirih—seperti tangisan ribuan jiwa yang terombang-ambing di antara waktu.
Puncak Kengerian
Kemudian, kilatan cahaya merah melesat menembus ubin kubah, membuat langit-langit seolah meleleh. Semua penjaga masjid berhamburan, berteriak ketakutan. Dentuman bergema satu demi satu, memecah jendela kaca patri, menimpakan pecahan gelas pada lantai bercampur darah—bukan darah manusia, melainkan cairan kental berwarna hitam pekat.
Sejurus kemudian, dari sumur tua itu muncul sosok berkabut dengan mata nanar, mulut ternganga, mengeluarkan raungan panjang. Sosok itu bergerak melayang, menembus dinding tipis, menebar hawa dingin yang membekukan. Dalam hitungan detik, suara azan yang semula khidmat berubah menjadi teriakan mengerikan, memaksa siapa pun menutup telinga.
Patah Hati dan Lari Terbirit
Sementara itu, di luar halaman masjid, saksi-saksi yang kebetulan lewat—pedagang kaki lima, tukang ojek, dan tetangga dekat—terpaku kaku. Mereka melihat kilatan cahaya dari dalam masjid, lalu mendengar ledakan-suara-dentuman yang mengguncang bumi. Tanpa ragu, mereka lari terbirit, meninggalkan motor, dagangan, dan semua harta benda demi satu kata: selamat.
7. Setelah Segalanya
Namun, ketika pagi menjelang, semua tampak normal kembali. Kubah masjid tak lagi retak, lampu sorot padam, dan bisikan sirna. Namun, di ruang bawah, nisan batu tua itu tetap ada—melongo menunggu korban selanjutnya. Dentuman mencekam kubah masjid sunyi malam itu mungkin lenyap, tetapi jejak kengerian takkan pernah hilang.
Sejarah dan Politik : Sejarah Pemilu di Indonesia: Dari Orde Lama ke Era Digital