Kedatangan yang Tak Terduga
Sejak turun temurun, keluarga kami menyimpan cerita tentang cermin tua di lorong rumah nenek. Oleh karena itu, ketika aku akhirnya mewarisi rumah tua itu, rasa penasaran segera mengalahkan ketakutan. Begitu melangkah ke dalam, suasana seketika terasa berbeda: dingin lembap merayap di kulit, sementara derit papan kayu tua menandakan setiap jejak kakiku. Di balik pintu kayu bergagang antik, terpampang cermin besar berbingkai ukiran barok yang kusam. Namun demikian, kilau samar di permukaannya seolah berbisik, mengundangku untuk lebih dekat.
Penemuan di Lorong Sunyi
Setelah itu, aku mulai menjelajahi lorong sempit di lantai dua. Di sanalah cermin tua di lorong berdiri, tepat di antara pintu kamar tamu dan ruang membaca. Meski lampu gantung remang-remang menerangi, bayanganku tampak terdistorsi: kepalaku lebih panjang, mata jauh lebih dalam. Tidak hanya itu, kerlip cahaya aneh menari di sudut kaca—seakan ada yang berusaha menembus ruang realitasku dari balik refleksi. Lebih lanjut, setiap kali aku memandangnya, terdengar detak yang lembut, serupa ketukan jantung yang tertahan.
Bisu yang Menggerakkan
Kemudian, malam pertama aku singgah di rumah warisan itu, suara ketukan membuatku terjaga. Sekilas, aku menyangka angin yang menerpa jendela. Namun, semakin aku menepi, ketukan berpindah pelan menuju lorong. Pernah kupikir itu hanya ilusi pendengaran, tetapi cermin tua di lorong mulai tampak berembun—padahal suhu ruangan stabil. Aku mendekat, dan uap halus terlukis di kaca membentuk wajah kabur seorang perempuan tua. Begitu aku menahan napas, wajah itu tersenyum tipis, lalu lenyap bersama hembusan dingin yang menusuk hingga tulang.
Bisikan dari Cermin
Selanjutnya, entah dari mana datang bisikan lirih: “Bebaskan aku…” Aku terhenti, merasakan bulu kuduk meremang. Bisikan itu kian nyaring, diikuti bayangan samar yang berjalan di belakang pantulanku. Meskipun jantung melompat cepat, aku terpancing mendekat. Di balik kaca, sosok nenekku muncul—bukan seperti yang kuingat semasa kecil, melainkan sosok pucat bergaun hitam dengan mata kosong. Ia mengulurkan tangan tipis, seakan memohon, seiring suara ketukan semakin berirama, menggetarkan lantai lorong.
Kenangan yang Terperangkap
Oleh karena itu, aku mencari petunjuk tentang sejarah cermin tua di lorong. Rupanya, nenekku dulu merawat seorang kerabat yang meninggal tragis di rumah itu. Konon, jiwa kerabat tersebut terperangkap dalam cermin, karena ritual kuno gagal memisahkan roh dari benda pusaka. Seiring waktu, cermin itu menampung kesedihan dan kemarahan arwah—terutama di malam bulan purnama. Semakin aku membaca catatan harian nenek di meja ruang belajar, semakin jelas bahwa malam ini adalah malam purnama, dan cermin itu semakin ingin bebas.
Pecahnya Keheningan
Kemudian, keheningan lorong pecah saat aku mendengar suara gesekan kain panjang mengikuti langkahku. Tanpa disadari, aku berada tepat di hadapan cermin tua di lorong. Di permukaannya, retakan halus mulai merambat seolah garis hidup yang terputus. Seketika, bayangan di balik kaca meronta, memukauku dalam kengerian. Lantai bergoyang perlahan, sementara wangi bunga melati nenek yang dulu menemani malam berubah menjadi aroma belerang. Aku tersentak, hampir kehilangan kesadaran saat bayangan itu mengetuk kaca dari dalam.
Pertarungan Jiwa
Meskipun tenggat waktu semakin dekat, aku tahu satu-satunya cara untuk mengakhiri teror adalah memecahkan cermin—namun aku takut menodai peninggalan nenek. Dengan demikian, kutarik napas dalam-dalam, lalu mengangkat martil tua yang teronggok di sudut ruang penyimpanan. Dengan gemetar, aku menumpuk kain penyangga di bawah cermin, lalu memukul tepi bingkai. Suara dentuman keras memecah kesunyian, retak demi retak melintang. Cahaya kaca yang pecah menerobos, mengusir kilau bayangan itu.
Warisan Nenek yang Membebani
Setelah potongan kaca berserakan, lorong kembali senyap—namun ketenangan itu terasa tidak wajar. Meskipun teror awalnya mereda, hembusan dingin masih terasa di ujung nadi. Aku menatap potongan bingkai tua, teringat tulisan nenek: “Hati-hati dengan warisan jiwa.” Barulah kusadari, bukan hanya cermin yang mesti dihancurkan, melainkan ikatan batin yang mengikat arwah ke dunia. Aku menyiapkan ritual pembebasan seperti yang tertulis di catatan: menabur garam, menyalakan dupa, dan membacakan mantra kuno warisan keluarga.
Akhir yang Mencekam
Akhirnya, saat embusan doa terhenti, aku merasakan angin hangat melintas. Hembusan terakhir membentuk bisikan lembut: “Terima kasih…” Lalu semua hilang. Namun, saat kuputar badan, bayangan samar di ujung lorong masih menatapku—hanya satu kedipan mata sebelum lenyap. Meskipun cermin telah hancur dan ritual selesai, perasaan di awang-awang mengatakan bahwa cermin tua di lorong tidak sepenuhnya pergi; ia menunggu kesempatan berikutnya untuk menuntut jiwa.
Sosial Budaya : Gaya Hidup Anak Muda Jaksel Sosialita Modern