Kedatangan Cermin Baru
Pertama-tama, cermin baru itu tiba di rumah tua kami tanpa peringatan. Selain itu, petugas pengiriman hanya meletakkannya di ruang tamu, kemudian berlalu tanpa menyalami. Padahal, cermin berbingkai kayu ukir itu tampak bercahaya samar saat lampu senja meredup. Sejak saat itulah, keganjilan mulai muncul.
Bayangan Tak Sesuai Refleksi
Lebih jauh lagi, pada malam pertama, ketika aku menatap wajahku untuk merapikan rambut, kulihat di balik pantulan yang familiar sebuah sosok berbeda—bayangan bayi tanpa bentuk yang menatap balik dengan mata kosong. Meskipun kaca masih utuh, tubuhku terasa membeku. Bahkan saat aku mengalihkan pandangan dan menoleh ke ruangan, tak ada siapa pun di sana. Namun, cermin baru terus menampilkan keanehan itu.
Bisikan Purba di Tengah Sunyi
Selanjutnya, bisikan lembut terdengar mendesah dari dalam kaca, mengulang nama yang tak pernah kudengar. Tidak hanya sekali, melainkan berulang setiap tengah malam. Suara itu terdengar lirih, memanggil: “Kembalikan aku… aku haus…” Namun, di dunia nyata, ruang tamu tetap hampa, sepi, dan dingin. Seketika, napasku tercekat, menyadari bahwa cermin baru tidak sekadar memantulkan rupa, tetapi jiwa yang tertahan.
Penelusuran Asal Usul
Oleh karena itu, keesokan paginya, aku menggali sejarah rumah dan cermin tersebut. Ternyata, cermin itu dulunya milik keluarga bangsawan yang kehilangan bayi kembar dalam rahim—anak yang tak sempat lahir. Selain itu, konon keluarga itu menempuh ritual mistis untuk menahan roh anak mereka agar tak pergi ke alam baka. Padahal, mereka tidak memahami konsekuensi menahan entitas murni di cermin. Kini, ceritanya semakin nyata karena cermin baru itu memanggil dari zaman purba.
Malam Kegelapan dan Refleksi Buram
Lebih lanjut, pada malam kedua, petir terlalu deras hingga lampu mati total. Dengan hanya ditemani senter, aku berusaha menenangkan diri. Namun, sorot senter membelok ke cermin, lalu menyorot sosok lain—bayangan ibunda berjubah kelam yang selalu menatap nanar ke arah penonton. Wajah itu tampak pucat, bibirnya bergetar, dan tatapannya menusuk jantung. Sementara aku menahan napas, suara detak jantung sendiri bergaung di ruang hampa.
Kepala Menunduk, Bayangan Melengkung
Kemudian, di malam ketiga, aku mendengar suara langkah pelan di lorong. Aku beranjak maju, tetapi alih-alih pintu terbuka, cermin baru menampilkan pantulan lorong yang berubah—seolah memanjang ke dimensi lain. Di ujung lorong itu, sosok bayangan yang menunduk lalu melengkungkan badannya dengan cara yang tak wajar. Lebih jauh lagi, ia merangkak perlahan menuju kaca, seolah menyesakkan harapan untuk lari.
Jejak Tangan di Permukaan Kaca
Selanjutnya, saat aku mendekat dengan sarung tangan, tercium aroma logam dan tanah basah. Jari-jariku menempel pada permukaan dingin, lalu terdiam melihat bekas telapak kecil tercetak—jejak tangan yang tak mungkin berasal dari manusia hidup. Dengan cepat, tangan itu menghilang, tetapi suaranya terekam dalam kepalaku: “Aku terjebak… bebas aku…” Pada saat itulah aku menyadari bahwa cermin baru telah menjadi penjara bagi sosok sebelum lahir itu.
Kengerian yang Mencapai Puncak
Di samping itu, malam keempat menjadi malam terburuk. Cahaya lilin yang kupasang berkedip putus–nyala, menyisakan kegelapan total. Aku tergopoh-gopoh menyalakan lampu, tetapi sebuah tangan pucat merayap keluar dari permukaan kaca, menahan lenganku. Sementara aku menjerit, suara tawa tipis bergema di ruangan. Kemudian, semuanya hening, kecuali detak waktu yang terasa memekakkan telinga.
Pencarian Jalan Keluar
Dengan rasa putus asa, aku memutuskan menghancurkan cermin baru itu. Namun, setiap pukulan palu memantul keras, lalu kembali ke meja tanpa retak sedikit pun. Bahkan, getaran itu membuat daun jendela bergoyang meski angin berhenti. Sementara itu, bayangan bayi yang menantang kaca semakin mendekat, tersenyum getir—seolah mencibir rencana kebebasanku.
Ritual Pembebasan yang Terlarang
Tidak lama kemudian, aku menemukan manuskrip kuno di rak buku tua—petunjuk ritual pembebasan roh. Pertama, aku harus menyiapkan lilin hitam, air suci, dan mantra purnama. Selain itu, harus membaca doa penutup yang tertera dalam bahasa lama. Walaupun takut, aku sadar bahwa ini satu-satunya harapan agar cermin baru tidak menjerat lagi jiwa tak berdosa.
Malam Ritual Penuh Bahaya
Selanjutnya, ritual dimulai pada puncak malam purnama. Aku menata lilin di sekeliling cermin, lalu mengucapkan mantra dengan suara gemetar. Tak lama, angin dingin menerpa, memadamkan satu per satu lilin. Namun, aku tak berhenti membaca. Suara tangisan bayi bergema, menciptakan simfoni kesedihan dan amarah. Tiba-tiba, bingkai cermin retak halus, menebarkan kilau merah seperti retakan darah.
Pembebasan dan Ancaman Terakhir
Kemudian, ketika aku melantunkan ayat penutup, retakan di kaca membesar dengan suara letupan. Bayangan itu meloncat keluar, menangis bahagia sebelum lenyap dalam pusaran cahaya putih. Namun, justru di detik itu, cermin terhuyung, hampir menjepitku. Dengan sigap, aku melangkah mundur dan mematahkan satu sisi bingkai—mengakhiri wujud fisik cermin baru itu.
Kesunyian yang Menggantung
Akhirnya, saat fajar menyingsing, rumah kembali sunyi. Kepingan kaca berserakan, namun tidak satu pantulan pun menunjukkan sosok purba. Meskipun begitu, di ujung ruang tamu, masih tertinggal bekas retakan kayu berbentuk salib terbalik—sisa goresan roh yang terbebas.
Epilog: Jejak dalam Ingatan
Meskipun cermin baru itu telah hancur, aku tahu bahwa tidak semua jejak dapat lenyap. Bahkan ketika dunia nyata terlihat normal, kadang aku menangkap kilasan bayangan bayi tanpa bentuk di sudut kamar tidur. Ia tersenyum pelan, seolah berterima kasih sekaligus mengingatkan: ada dimensi lain yang selalu menanti siapa saja yang berani menatap lebih dalam.
Kesehatan : Medis Masa Depan: Inovasi Kesehatan yang Tersembunyi