Noda Asap di Senja
Catatan Terakhir Sang Penjaga Api terhampar di meja kerja berdebu, tepat saat malam menelan sisa sinar matahari. Pertama–tama, aku membaca baris pertama: “Api akan padam ketika jiwa tak lagi mempercayai nyala.” Kemudian, asap hitam mengepul keluar dari menara tua, menandai awal perjalanan yang akan mengubah hidupku selamanya.
Tugas di Menara Gelap
Pada mulanya, aku diangkat menjadi penjaga menara demi memastikan suluh raksasa tetap menyala setiap malam. Namun demikian, sejak malam pertama aku menjejaki anak tangga berderit itu, kilasan bayangan menari di dinding batu, seakan menyambutku. Sementara itu, embusan angin dingin merayap menembus jendela pecah, membawa aroma hangus yang menusuk indera.
Api Meredup Tanpa Peringatan
Selanjutnya, saat aku memeriksa panggangan api—meski telah menambahkan kayu kering berlapis—nyala merah menjauh seolah enggan menari. Bahkan ketika aku mengetuk palu di tungku baja, bara yang semestinya menyala kembali malah memudar. Kemudian terdengar suara rintihan pelan, “Bangunkan aku…” Membuat urat nadiku berdegup tak menentu.
Jejak Asap Hitam
Kemudian aku menyusuri lorong sempit di balik tungku, di mana jejak asap pekat meninggalkan noda hitam di setiap batu bata. Selain itu, coretan kuno terpahat di dinding: simbol lingkar api yang retak. Setelah itu, tatapan mata bayangan samar mengikutiku; setiap kali senter bergoyang, sosok itu lenyap dalam sekejap, meninggalkanku meraba–raba kegelapan.
Murmuran di Dinding
Setelah itu, terdengar bisikan terdistorsi—suara wanita meratap di lorong. Karena penasaran, aku menempelkan telinga ke permukaan batu; bisikan itu jelas memanggil namaku. Namun demikian, kala kubuka mata, jejak tangan dingin terlukis di dinding, menandakan keberadaan makhluk tak kasat mata. Kemudian kutahu, bisikan itu berasal dari Catatan Terakhir Sang Penjaga Api yang terkutuk.
Cahaya yang Mengundang Maut
Kemudian pula, aku menyalakan lampu kuningan di ruang bawah menara. Bahkan sinarnya yang hangat digantikan kilau biru pucat di ujung lorong. Meski demikian, aku terdorong maju oleh rasa penasaran yang semakin memuncak. Sementara itu, dentuman palu kayu di lantai atas seolah menandakan jeritan orang terjebak, membuat rasaku terombang–ambing antara takut dan terpikat.
Titik Balik yang Menyayat
Namun pada saat itulah, aku menemukan naskah tambahan—lembaran robek yang menuliskan ritual memadamkan kutukan. Setelah menyalin setiap huruf berlumuran jelaga, aku mempersiapkan air suci dan abu kayu khusus. Lalu, kutaburkan ke bara terakhir, sambil membisikkan mantra pemanggil arwah: “Bangkitlah dan bebaskan aku dari belenggu nyala abadi.”
Pengorbanan Api
Selanjutnya, saat kata terakhir terucap, bara menyala merah membara lalu meledak menjadi serpihan cahaya. Bahkan jantung menara berguncang, dan lantai bergetar hebat. Namun demikian, nyala api melonjak ke langit melalui cerobong, membentuk sosok kabut berwajah pilu. Setelah itu, kabut itu berdesir menembus celah–celah jendela, membawa ruh penjaga lama pulang.
Warisan Terakhir
Akhirnya, padamnya bara menandai selesai kutukan, namun sisa–sisa asap memenuhi udara. Karena itu, aku menulis baris terakhir dalam Catatan Terakhir Sang Penjaga Api: “Biarkan nyala abadi menerangi hati, bukan menyiksa jiwa.” Meskipun malam kembali sunyi, suara desir bara dan bisikan lembut tetap menghantui setiap penjaga berikutnya.
Berita Terkini : Pasar Gelap Senjata Api di Indonesia: Risiko Keamanan yang Meningkat