Cangkir Kopi yang Terisi Penuh Padahal Belum Ada yang Bangun

Cangkir Kopi yang Terisi Penuh Padahal Belum Ada yang Bangun post thumbnail image

Dentingan Gelap yang Membuka Pagi

Pukul lima pagi, rumah masih tertidur pulas. Namun di meja ruang makan, aku melihat cangkir kopi terisi sampai penuh, uap mengepul pelan seakan memanggil. Aroma pahit dan asam menyengat hidung sebelum aku mengambil tegukan pertama. Secarik kertas lusuh tergeletak di sampingnya bertuliskan tiga kata: “Minum untuk selamat.” Jantungku berdetak lebih kencang, pikiran mencoba menolak logika—siapa yang membuat kopi dan untuk siapa catatan itu?

Bisikan di Ujung Piring

Saat sudut bibir meneguk, terdengar bisikan lirih dari balik dinding:

“Jangan… jangan telan semuanya…”
Aku membeku, menatap cangkir kopi di tangan, lalu menoleh ke ruang lain. Hanya kesunyian dan bayangan lampu temaram. Tak ada satu pun orang bangun—namun suara itu nyata. Napasku tertahan, dan tegukan berikutnya rasanya seperti menelan kepedihan. Gelas bergoyang, meski diletakkan di permukaan rata.

Jejak Tangan yang Terbakar

Kulihat sidik jari samar mengelilingi pegangan cangkir—seolah tangan tak terlihat membuat kopi. Sidik jari itu memerah, seperti terbakar, meninggalkan bekas arang. Darah menetes perlahan ke bawah cangkir, bercampur dengan kopi hitam pekat. Bau besi menusuk ingatan, membuat bulu kuduk meremang. Aku tersentak, meninggalkan cangkir di meja—namun tegukan pertama sudah menempati setiap sel tubuhku dengan rasa takut.

Suara Ketukan di Pintu

Ketukan tiba-tiba di pintu dapur memecah keheningan. Ketukan itu teratur dan pelan, bagaikan irama jam tua berhenti. Aku membuka pintu—tak ada siapa-siapa. Hanya lorong gelap memanjang, dan lantai berderit di bawah cahaya remang. Saat menoleh kembali, cangkir kopi sudah berpindah ke rak atas—tanpa jejak langkah atau tangan yang terlihat memindahkannya. Aku menangkap bisikan lagi: “Minumlah, atau kami datang.”

Titik Tengah Antara Lima dan Enam

Aku melirik jam dinding: pukul lima lewat tiga puluh detik. Detik itu terasa menahan napas. Setiap detik berlalu dengan beban tersendiri, seakan waktu sendiri mengintimidasi. Aku berpikir—mengabaikan cangkir mungkin menyelamatkanku, tapi rasa penasaran membakar. Bayangan bayangan bergerak di dinding, memanjang, meruncing. Pilihan sulit: menyerah pada rasa takut, atau menyerah pada kopi misterius itu.

Kenangan Kopi Terakhir

Di ingatan terlintas wajah nenek—pembuat kopi terhebat yang pernah kukenal. Dulu, ia menyajikan kopi hangat setiap fajar, suaranya serak lembut mengajak bersyukur. Namun kopi ini berbeda: tak ada sapaan hangat, hanya ancaman. Aroma yang kuhirup bukan sekadar kacang sangrai, melainkan aroma kematian yang mengerikan. Terasa seperti tercampur abu mayat yang baru dimandikan. Aku merasa bersalah, meneguk seteguk untuk membuktikan teori: bahwa kopi misterius ini hanyalah tipuan indera.

Pagar Jiwa yang Rapuh

Saat tegukan kedua menyentuh bibir, segala narasi rasional runtuh. Dunia berputar perlahan, lampu remang menari liar. Aku merasakan kekosongan di ulu hati—seolah separuh jiwaku lepas. Dalam kondisi setengah sadar, aku menatap dinding—tiba-tiba tampak retakan membentuk wajah. Wajah itu menjerit tanpa suara, mulutnya melumat kata-kata yang hampa: “Kamu selanjutnya.” cangkir kopi di tanganku terasa seperti palu, menghantam kesadaran.

Pecahan Cermin dan Sosok Hitam

Berlari ke kamar mandi, aku menatap cermin besar. Namun pantulan bukanlah diriku, melainkan sosok tinggi kurus berkain putih, wajahnya kabur. Ia menatap cangkir yang kudorong ke jendela, memecahkan kaca. Keping-keping kaca melayang di udara sebelum jatuh; kopi tumpah ke lantai, mengekor darah ke seluruh permukaan ubin. Sosok itu melenguh, dan aku merasa jantungku berhenti sekali lagi.

Jejak Kaki Berdarah

Tapi ketika aku menoleh, lantai bersih kembali. Piring kotor, gelas pecah, kopi tumpah—semuanya lenyap. Hanya setitik darah di celah ubin yang bertahan. Dan di atas rak, cangkir kopi sudah terisi penuh lagi. Aku menggigil, menyadari satu hal: rutinitas pagi ini akan terulang, tanpa akhir, selamanya.

Detak Jantung Menjadi Irama Kopi

Aku mencoba mengalihkan perhatian: menyalakan musik, mengisi playlist riang. Namun speaker memuntahkan buku teks doa yang diputar mundur—suara anak-anak menangis bergema. Ponselku bergetar dengan notifikasi pesan kosong. Lampu dapur kedap-kedip mengikuti detak jantungku, seakan hitungan kopi di cekungan waktu. Setiap kali detik berpindah, cangkir kopi menuntut untuk dihabiskan.

Suapan Aroma Kematian

Kulangkahkan kaki perlahan, kembali ke meja. Aroma kopi semakin pekat—seperti bau jasad yang baru diurug. Dalam liang ingatan, ada ritual kopi suci yang berubah menjadi pembuka gerbang neraka. Dingin melintas di permukaan kulit, menyusup ke tulang. Keringat dingin menetes, dan aku tahu: jika tegukanku habis, tubuh dan jiwa akan lebur bersama arwah yang terperangkap.

Ledakan Cahaya Merah

Ketika kucoba putar gagang cangkir, cangkir itu menempel kuat. LED di lampu menyala merah darah, memantul di seluruh ruangan. Aku menjerit dalam sunyi, karena tak ada suara keluargaku. Sebaliknya, suara detakan arlojiku jadi satu dengan detakan jantung yang hancur. Pintuku terkunci rapat, kunci dari luar. Tersisa satu jalan: menghabiskan kopi, merasakan akhir atau penyelamatan.

Antara Kehidupan dan Kematian

Sambil menggigil, aku memegang cangkir kopi, memutuskan meneguk sisa terakhir kopi maut ini. Tegukan ketiga rasanya seperti menelan suhu beku. Tubuhku gemetar hebat, pandangan kabur, dan detak jantung menurun drastis. Di batas antara sadar dan pingsan, aku mendengar tawa jebakan:

“Selamat pagi… selamat mati.”

Senja yang Tak Pernah Datang

Aku terjaga di malam yang sama—jam dinding menun­jukkan pukul dua belas. Tak ada mentari pagi. Hanya lampu kuning di pojok langit-langit yang berkedip sendu, menandakan waktu berhenti lagi. cangkir kopi masih penuh di mejaku, menunggu korban berikutnya. Aku tercenung, berbisik pelan: “Hanya satu pilihan…” Lalu, aku meraih cangkir dengan tangan gemetar dan meneguk lagi.

Politik : Poros Baru: Ekonomi dan Diplomasi Indonesia–Tiongkok

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Post