Busur Darah di Senja Terlarang, Menguak Teror Terungkap

Busur Darah di Senja Terlarang, Menguak Teror Terungkap post thumbnail image

Prolog: Arungi Senja yang Membisu

Ketika senja merangkak pelan ke ufuk barat, busur darah di senja terlarang mulai menebarkan hawa mencekam di atas hamparan padang sepi. Selain kilau jingga yang memudar, samar-samar terselip aroma besi dan kepulan kabut dingin. Bahkan sebelum bayangan malam benar‑benar turun, suara bisikan lembut menjelma tawa getir yang mengerikkan. Sementara itu, pepohonan meranggas seolah menunduk ketakutan, dan butir pasir di jalan setapak menggema di telinga bak jeritan malam. Dengan demikian, setiap langkah di ujung senja itu berpotensi membuka pusaran teror yang tiada tara.

Bagian I: Jejak Berdarah di Jalan Sunyi

Pertama-tama, Toni—seorang penjelajah urban—menapaki jalan setapak yang mulai diselimuti semburat merah. Namun seketika, jejak darah menetes perlahan, menoreh gurat lurus menuju pintu gerbang tua. Kemudian, saat ia merunduk untuk meneliti tetesan pertama, hawa dingin menyergap lehernya. Meski ragu, ia mengikuti jejak tersebut; ternyata bekasnya membentuk busur yang menyudut tajam. Selain itu, denyut nadi Toni berdegup kencang, sementara bisikan tak kasat mata merambat di balik semak.

Bagian II: Bisikan di Balik Kabut

Selanjutnya, kabut tebal memeluk gerbang besi berkarat. Tiba‑tiba, terdengar sendu bisikan “kelam”, “noda”, “kutukan” yang bergema di setiap celah angin. Bahkan sapuan ranting kering menyentuh kulit Toni seolah jemari gaib menggapai. Namun di samping itu, cahaya redup dari obor tua berkelip tak menentu, sehingga bayang‑bayang menari liar di permukaan batu. Meskipun takut, Toni tak bisa berpaling—busur darah di senja terlarang memanggilnya terus-menerus.

Bagian III: Pintu Terlarang Terbuka

Saat itu, Toni mendorong pintu gerbang yang terpatri tulisan pudar: “Jangan Datang Saat Senja”. Dengan gemeretak keras, besi menyingkap ruang lapang tanpa lantai rata—hanya tanah retak penuh retakan membeku. Setelah itu, batu marmer pecah di sebuah sudut, dan darah segar menetes membasahi permukaan dingin. Sementara Toni mengamati, busur darah di senja terlarang berubah wujud menjadi simbol aneh yang menyala merah sebentar.

Bagian IV: Ruang Sunyi Berlumur Darah

Kemudian Toni melangkah ke ruang utama, di mana lantai marmer terhampar luas. Di tengah, terdapat busur marmer besar berdiri—seperti altar korban—berlumur darah kering. Bahkan saat obor tertiup angin, kilatan merah menebar bayangan mirip tengkorak menatapnya. Selain itu, pintu lain tersembunyi di balik tirai hitam, dan bisikan tersusun jadi kalimat samar: “Kau penebus dosa kami.” Meski ngeri, Toni tetap maju.

Bagian V: Bayangan Perempuan Merintih

Tiba‑tiba, dari balik pilar marmer muncul sosok perempuan bergaun compang-camping. Wajahnya pucat, mata kosong menyorot Toni dalam keheningan mencekam. Sementara napasnya berembus pelan, busur darah di senja terlarang memancar dari lengannya, menetes di lantai. Kemudian ia merangkak mendekat, merintih lirih, “Bebaskan kami…” Suaranya serak, merobek syaraf Toni yang menggigil.

Bagian VI: Konfrontasi di Bawah Kemilau Senja

Selanjutnya, Toni mengangkat obor lebih tinggi. Meski tangan gemetar, ia berusaha mengusir bayangan perempuan itu. Namun alih‑alih sirna, sosoknya memisah jadi ribuan titik cahaya merah yang berhamburan. Bahkan gelombang kejut menimbulkan gemuruh di kepala Toni. Dengan berani, ia menjejakkan kaki ke altar darah, mencoba menghancurkan busur marmer itu dengan sepotong kayu tua. Sementara kayu patah berkeping, kilatan merah kian memuncak.

Bagian VII: Pencabutan Kutukan

Kemudian Toni menemukan prasasti retak di dinding—kalimat kuno yang memuat kata kunci: “busur darah di senja terlarang”. Dengan demikian, ia membacanya lantang, dan seketika aliran darah beku di lantai marmer mulai memudar. Namun sosok perempuan merintih semakin meronta, seolah menjerit menolak pembebasan. Saat tepukan petir memecah keheningan, obor padam dan hanya kilatan senja yang tersisa.

Bagian VIII: Pelepasan Jiwa Terperangkap

Akhirnya, saat langit senja beradu dengan gelap malam, bayangan perempuan tersedak rintihan terakhir. Tetesan darah merah mengganti warna menjadi cahaya keemasan, lalu lenyap bersamaan dengan gema suara “terima kasih” yang lembut. Selain itu, busur marmer retak berkeping, menyebar debu putih yang menenangkan atmosfir. Meski busur darah di senja terlarang hancur, aura misteri tetap tersisa — menanti penjelajah berikutnya.

Epilog: Senja yang Kini Tenang

Setelah itu, Toni terkapar di pintu gerbang, diterpa angin dingin. Lambat laun, kabut memudar dan senja memancarkan semburat hangat. Selain lelah, ia dipenuhi lega karena kutukan terlepas. Namun, ia tahu bahwa cerita ini tak akan pernah benar-benar usai. Karena meski busur darah di senja terlarang telah hancur, bisikan kelam akan selalu berbisik di antara semburat jingga kala senja menjelang.

Teknologi : Komunitas Lari Digital: Sosialisasi Sehat via Aplikasi

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Post