Temuan di Loteng Terlarang
Pada malam pertama aku menemukan Buku Harian Pemanggil Arwah, suara detak jantungku berpacu begitu cepat. Pertama, aku menurunkan lampu petromaks dan membuka sampul kulit retak—lalu bau amis dan kayu lapuk menyeruak ke hidung. Sementara halaman pertama dipenuhi coretan tinta merah, aku terguncang menyadari kalimat pembuka: “Siapa pun yang membaca, bersiaplah bersua dengan mereka yang telah tiada.” Kemudian, angin dingin menerpa jendela loteng seolah menyambut kedatangan makhluk tak kasat mata.
Bisikan Halus dari Halaman Kedua
Setelah itu, aku membalik ke halaman kedua dan mendengar bisikan halus: “Aku di sini…” Walaupun suaranya nyaris tak terdengar, gema itu merambat di sepanjang papan lantai. Namun aku tetap tenang—meski naluri berteriak agar segera menutup buku itu. Oleh sebab itu, aku mengaktifkan senter, menyorot tiap baris sambil membaca mantra panggilan jiwa. Hingga tiba di catatan: “Tutup mata, ucapkan namaku, dan aku akan datang.”
Jurnal Darah di Halaman Ketiga
Kemudian, tinta merah di halaman ketiga berubah pekat—seperti darah segar membeku. Sementara aku menyentuh permukaannya, jari-jariku terasa panas terbakar. Lalu, secarik kertas terlepas dan jatuh ke lantai bergema—menunjukkan jejak kaki kecil berlumuran noda. Meskipun napasku memburu, aku memungut catatan itu, menemukan nama “Mariana” tergores miring. Kemudian lampu petromaks meredup, membuat bayangan tirai menari liar.
Bayangan Melintas di Cermin
Selanjutnya, aku keluar dari loteng dengan buku tergenggam. Namun di lorong sempit, cermin tua memantulkan sosok samar—seorang gadis kecil berpakaian lusuh, menatapku dengan mata hitam pekat. Saat aku mengedip, bayangan itu terangkat tangan kecilnya, lalu menghilang begitu cepat. Tetapi tatapan dingin itu tertinggal di benakku—membuat seluruh otot tubuhku menegang.
Ujian Iman dalam Jurnal Halaman Keempat
Kemudian, aku membuka halaman keempat—tercantum ritual pembebasan jiwa yang menuntut pengorbanan. Terdapat daftar bahan: lilin hitam, garam laut, dan selembar kain putih yang harus ditorehkan darah. Sementara aku menahan mual, aku memandangi catatan terakhir: “Hanya darah yang paling tulus dapat memanggilnya sepenuhnya.” Oleh karena itu, aku menyiapkan perlengkapan meski tangan gemetar, takut akan konsekuensinya.
Malam Ritual Terlarang
Lalu, pada tengah malam, aku berkumpul di halaman belakang rumah—lingkaran lilin hitam telah teratur di atas tanah becek. Setelah membaca mantra dari halaman kelima, udara berputar kencang; daun berguguran membentuk pusaran di kaki. Hingga tiba saat aku menusukkan pisau kecil ke pergelangan, meneteskan darah segar ke kain putih. Sementara aku menjerit menahan sakit, mantra terus terucap: “Mariana… kembalilah…”
Kehadiran Sang Penunggu
Tak lama kemudian, teriakan garau memecah keheningan—suara Mariana terperangkap dalam jeritan panjang. Dari balik kabut tipis, sosoknya muncul perlahan: wajah pucat, rambut basah menutupi bibir terkatup rapat. Namun matanya tetap kosong, menatap ke dalam jiwaku. Meskipun tubuhku gemetar hebat, aku tetap menyelesaikan ritual sampai kalimat terakhir terucap: “Pergilah ke cahaya, jangan kembali.”
Kelegaan yang Kelabu
Akhirnya, bayangan itu memudar dalam semburat sinar kelabu, dan suara jeritan berhenti mendadak. Lilin padam seketika, meninggalkan keheningan menyesakkan. Namun meski Mariana telah pergi, bekas noda darah di kain dan buku harian masih menempel tebal. Oleh karena itu, aku menutup buku itu dan menguburnya jauh di bawah fondasi rumah—namun aku tahu, suara bisikan ini takkan pernah benar-benar hilang.
Warisan Teror yang Abadi
Beberapa hari kemudian, aku sering mendengar ketukan pelan di loteng—seakan seseorang ingin membaca kembali Buku Harian Pemanggil Arwah. Setiap kali aku mendekat, lampu berkedip, dan aku merasakan napas dingin bersambut. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk meninggalkan rumah ini selamanya, meski ingatan akan ritual dan jeritan Mariana tetap menemaniku dalam setiap mimpi kelam.
Berita Terkini : Prabowo Tanggapi Kekurangan Toilet di Beberapa Sekolah