Bayangan di Istana Siak
Bisikan malam—itulah yang sering disebut warga Siak ketika membicarakan bagian paling misterius dari Istana Siak Sri Indrapura, peninggalan megah Kesultanan Melayu di Riau.
Bagi turis, istana itu indah; namun bagi penjaga malam, tempat itu adalah kuburan yang berdiri di atas sejarah berdarah.
Ketika Rizal, seorang mahasiswa sejarah dari Pekanbaru, datang untuk meneliti arsip lama tentang Sultan terakhir, ia tak percaya dengan kisah mistis itu. Ia menganggap semua cerita rakyat hanyalah bumbu warisan lokal.
Namun semua berubah ketika malam pertama penjagaannya tiba—saat ia mendengar bisikan malam dari ruang bawah tanah yang selama ini dikunci rapat.
Awal Kejadian: Pintu yang Tak Pernah Dibuka
Ruang bawah tanah Istana Siak sudah ditutup sejak tahun 1960-an. Menurut pengurus museum, ruangan itu dulunya digunakan untuk menyimpan dokumen rahasia dan barang berharga kesultanan. Namun setelah renovasi, banyak pekerja melaporkan mendengar suara aneh dari bawah lantai marmer: langkah pelan, gesekan rantai, dan bisikan samar di malam hari.
Rizal tertarik menelusuri ruangan itu setelah melihat denah tua di arsip. Malam itu, ia bersama penjaga tua bernama Pak Nurdin mencoba membuka gembok besi yang berkarat.
Begitu pintu terbuka, hawa dingin menyeruak dari dalam—dingin yang bukan berasal dari udara, tapi seperti napas panjang dari masa lampau.
Di dalam, lampu senter mereka menyorot ruangan batu dengan dinding lembab, dan di sudutnya berdiri kursi kayu besar dengan rantai besi terikat di lengannya.
Pak Nurdin berbisik lirih, “Itu tempat menghukum pengkhianat zaman Sultan Syarif Kasim… dulu darah sering menetes di lantai itu.”
Malam Pertama: Bisikan yang Memanggil Nama
Malam itu Rizal tinggal sendirian di area museum untuk menyelesaikan catatan penelitiannya. Angin berhembus pelan dari arah sungai Siak, dan suara jangkrik menandai kesunyian malam.
Tepat pukul 23.45, Rizal mendengar suara halus seperti seseorang berbisik di dekat tangga bawah tanah.
“…Rizal…”
Ia menoleh cepat, tapi tidak ada siapa-siapa. Ia mencoba fokus kembali pada tulisannya. Namun suara itu datang lagi, kali ini lebih jelas.
“Rizal… turunlah ke bawah…”
Ia menatap ke arah pintu bawah tanah yang terbuka sedikit. Angin seakan menghisapnya untuk mendekat.
Dengan senter di tangan, ia menuruni tangga perlahan. Suara bisikan semakin keras—seperti banyak orang berbicara bersamaan, tapi dengan nada mendesah.
Saat cahaya senter menyorot ke dasar tangga, Rizal terpaku. Di kursi kayu itu, terlihat bayangan seseorang duduk, menunduk, dengan tangan terikat rantai.
Dan dari arah kursi itu, terdengar suara pelan yang seolah memohon:
“Buka rantainya… biar aku tenang…”
Cerita dari Penjaga Tua
Keesokan harinya, Rizal menceritakan kejadian itu pada Pak Nurdin. Wajah pria tua itu pucat, tapi tak terkejut.
“Kau sudah dengar suaranya, Nak… berarti mereka tahu kau bisa mendengar mereka.”
Pak Nurdin lalu menceritakan rahasia lama istana itu.
Pada masa kolonial Belanda, Sultan Syarif Kasim sempat menahan beberapa mata-mata Belanda di ruang bawah tanah itu. Namun ketika perang mereda, ditemukan fakta mengejutkan: para tahanan itu mati dengan luka mengerikan meski rantai mereka tidak terlepas.
Sejak saat itu, banyak penjaga yang mengaku mendengar suara orang berbisik atau menangis dari bawah tanah.
“Setiap orang yang mendengar bisikan malam, pasti akan dipanggil kembali oleh ruang itu,” kata Pak Nurdin.
“Dan tidak semua bisa pulang.”
Malam Kedua: Jejak Darah di Batu
Meski ketakutan, rasa penasaran Rizal semakin kuat. Ia memutuskan meneliti ruangan itu lebih jauh malam berikutnya.
Ia membawa kamera, recorder, dan alat pendeteksi elektromagnetik milik fakultas.
Ketika malam tiba, suasana istana terasa berbeda—udara lebih berat, dan aroma logam menyengat tercium dari bawah.
Begitu ia menyalakan alat perekam, suara samar langsung terekam: desahan panjang diikuti dengan tawa kecil.
Di dinding batu, ia menemukan goresan tulisan huruf Arab-Melayu yang sudah pudar:
“Ampuni kami, wahai Sultan, kami tidak berkhianat…”
Namun yang membuat darahnya membeku adalah bekas noda gelap di lantai yang seolah baru—seperti darah yang belum lama mengering.
Tiba-tiba alat pendeteksi elektromagnetik berbunyi keras. Dan dari arah belakang, terdengar langkah pelan mendekat.
Rizal menoleh. Di tangga atas, tampak sosok pria berpakaian serba hitam berdiri, tanpa wajah, hanya bayangan yang bergerak sendiri.
Sosok itu perlahan turun tangga sambil berbisik:
“Kau… penulis… tulislah kisah kami…”
Rizal menjatuhkan kameranya dan berlari keluar dari ruang bawah tanah, meninggalkan pintu terbuka. Namun sebelum sempat menutupnya, ia mendengar bisikan terakhir yang membuat tubuhnya gemetar:
“Kalau kau tak menulisnya… kami akan menulis di kulitmu…”
Hari Ketiga: Suara di Rekaman
Pagi berikutnya, Rizal memeriksa hasil rekaman suara dari malam sebelumnya.
Di menit ke-14, terdengar dengan jelas suara napas berat diikuti desahan pelan.
Namun di menit ke-16, rekaman berubah kacau, dan suara perempuan terdengar sangat jelas di dekat mikrofon:
“Kau belum menepati janjimu, Rizal…”
Ia memutar rekaman itu berulang kali, tapi suara itu tetap sama.
Rizal mencoba menenangkan diri dengan logika, menganggapnya hanya gangguan audio. Namun malam harinya, saat ia mandi di penginapan, ia melihat sesuatu yang membuatnya hampir pingsan—di kulit lengannya terukir goresan kata “TULIS” dengan darah tipis.
Malam Terakhir: Panggilan dari Dalam Tanah
Rizal memutuskan kembali ke istana, kali ini dengan niat menutup ruang bawah tanah itu selamanya. Ia membawa air doa dan garam kasar, sesuai saran Pak Nurdin.
Namun begitu tiba di istana, ia mendapati semua lampu padam. Hanya cahaya bulan menyorot ke arah tangga bawah tanah yang kini terbuka lebar.
Suara bisikan malam terdengar lagi, tapi kali ini lebih keras, seperti ratusan orang berbicara bersamaan dari kedalaman tanah.
“Kau tak bisa menutup kami…”
“Kau bagian dari kami sekarang…”
Rizal menyalakan senter dan melihat sosok-sosok kabur muncul satu per satu dari kegelapan. Tubuh mereka setengah transparan, berpakaian lusuh, dengan wajah penuh luka.
Salah satu di antara mereka—wanita berkerudung putih dengan mata hitam pekat—mendekat dan menatapnya tajam.
“Tulislah kebenaran, atau bisikan kami tak akan berhenti.”
Tiba-tiba, tanah di bawah kakinya bergetar, dan dari dinding keluar tangan-tangan hitam yang mencoba meraihnya. Rizal berteriak sambil menyiramkan air doa, tapi suara tawa menggema di seluruh ruangan.
Api dari lentera tiba-tiba padam, dan ruang bawah tanah gelap total.
Suara terakhir yang terekam di perekam suaranya malam itu hanyalah satu kalimat lirih:
“Sekarang… giliranmu yang dijaga dari bawah.”
Ruang yang Kembali Tertutup
Keesokan paginya, penjaga menemukan perekam suara dan buku catatan Rizal di tangga bawah tanah.
Di halaman terakhir buku, tertulis dengan tulisan yang tidak seperti tulisan tangan manusia:
“Kami bukan legenda. Kami adalah suara sejarah yang terkubur.”
Tubuh Rizal tidak pernah ditemukan. Ruang bawah tanah kini disegel kembali, dan pemerintah menutup aksesnya dengan beton tebal.
Namun para penjaga masih sering mendengar suara lirih setiap tengah malam—bisikan yang datang dari balik lantai marmer.
“Rizal… kami belum selesai…”
Warga menyebutnya kembali sebagai bisikan malam dari ruang bawah tanah Istana Siak—suara-suara arwah yang tak ingin dilupakan.
Food & Traveling : Menyusuri Jalur Wisata Laut Bersama Nelayan Lokal