Bayangan Pengantin Mati di Aula Nikah Pontianak

Bayangan Pengantin Mati di Aula Nikah Pontianak post thumbnail image

Cinta yang Tidak Selesai

Pontianak dikenal dengan kisah-kisah mistis yang tak lekang waktu. Namun, satu legenda yang paling sering dibicarakan hingga kini adalah tentang bayangan pengantin yang muncul di Aula Nikah Sari Bahagia, gedung pernikahan tua di pusat kota yang kini sudah jarang dipakai.

Dulu, aula ini adalah tempat favorit pasangan muda melangsungkan pernikahan. Tapi sejak tragedi tahun 1998, gedung itu tak pernah benar-benar digunakan lagi. Konon, setiap kali hujan turun di malam hari, terdengar suara langkah kaki di lantai dansa, diikuti tawa pelan seorang perempuan.


Pernikahan yang Tak Pernah Usai

Pada 21 Juni 1998, seorang gadis bernama Rani dan kekasihnya Andra menggelar pernikahan megah di aula itu. Semua berjalan sempurna hingga menjelang malam. Namun menjelang acara resepsi, listrik padam. Dalam gelap, terdengar jeritan dari ruang rias pengantin perempuan.

Ketika lampu menyala kembali, Rani ditemukan tergantung di depan cermin dengan gaun pengantinnya masih utuh. Wajahnya menatap lurus ke kaca, dan di permukaan cermin tertulis kalimat samar dengan lipstik merah:

“Aku tidak ingin menikah sendirian.”

Sejak hari itu, tidak ada satu pun pernikahan di aula tersebut yang berjalan lancar. Pengantin perempuan selalu mengalami kejadian aneh — mulai dari gaun yang robek tanpa sebab, hingga lilin dekorasi yang padam sendiri.


Tim Dokumenter dari Kampus

Dua puluh lima tahun kemudian, tiga mahasiswa jurnalistik dari Pontianak datang untuk membuat liputan dokumenter tentang urban legend. Mereka adalah Fahri, Citra, dan Dimas.

“Ini cuma cerita lama yang dilebih-lebihkan,” kata Dimas dengan nada santai sambil menyiapkan kamera. Namun Fahri memperingatkan, “Biar begitu, jangan sepelekan tempat kayak gini. Orang bilang bayangan pengantin masih suka muncul.”

Mereka masuk ke aula saat senja. Cahaya matahari terakhir memantul di kaca besar di ujung ruangan. Debu menari di udara. Di tengah aula, panggung pernikahan tua masih berdiri, dengan kain putih kusam dan bunga plastik yang sudah kehilangan warna.


Gaun di Ruang Rias

Citra berjalan ke ruang rias yang dulu dipakai Rani. Di sana, cermin besar masih menggantung di dinding, penuh retakan. Di meja rias, ia menemukan gaun pengantin putih yang sudah menguning tergantung rapi di gantungan.

“Ini pasti kostum lama,” ujarnya. Tapi ketika ia menyentuh kain itu, udara ruangan mendadak dingin. Dari cermin, tampak bayangan perempuan mengenakan gaun yang sama — berdiri tepat di belakangnya.

Citra terlonjak. Saat ia menoleh, tak ada siapa pun di ruangan. Namun, di kaca kini muncul tulisan samar seperti goresan jari:

“Aku masih menunggu Andra…”


Tawa dari Aula

Sementara itu, Fahri dan Dimas sedang menyiapkan tripod di tengah aula. Suara statis muncul dari mikrofon, padahal belum dinyalakan. Dimas mengutak-atik kabel sambil mengeluh, tapi tiba-tiba terdengar tawa pelan dari arah balkon atas.

Suara itu halus, seperti tawa perempuan muda. “Citra?” panggil Fahri. Tapi Citra masih di ruang rias. Tawa itu berubah menjadi nyanyian lirih, seperti lagu pernikahan yang dinyanyikan dengan nada sumbang.

Lampu sorot yang mereka bawa berkedip. Dari bayangan di dinding, tampak siluet dua orang berdiri bergandengan. Satu memakai jas hitam, satu lagi dengan gaun panjang menjuntai. Namun yang membuat jantung mereka berhenti berdetak adalah — bayangan perempuan itu tak memiliki kepala.


Bayangan Pengantin

Ketika Citra keluar dari ruang rias, ia melihat kedua temannya berdiri terpaku menatap panggung. Di atas sana, sesosok perempuan memakai gaun putih berdiri membelakangi mereka. Gaun itu sama persis dengan yang tergantung di ruang rias.

“Bu… bukan boneka, kan?” bisik Dimas.

Sosok itu perlahan menoleh. Wajahnya pucat, matanya kosong, dan di bibirnya terukir senyum tipis. Dari kepalanya menetes air seperti darah kental. Ia melangkah turun dari panggung dengan gerakan kaku.

“Rani…” bisik Citra tanpa sadar.

Perempuan itu menatap Citra lalu mengulurkan tangannya. “Aku… belum menikah…” katanya lirih. Seketika, bayangan gaun di lantai menegang seperti tali yang menggantung.


Panggilan dari Masa Lalu

Fahri berusaha menarik Citra keluar, tapi pintu aula terkunci rapat. Tiba-tiba, semua lilin di ruangan menyala sendiri. Cermin besar di ujung ruangan memantulkan bayangan tiga orang yang berdiri — dua di antara mereka adalah Citra dan Fahri, sementara sosok ketiga adalah bayangan pengantin yang tersenyum di tengah-tengah mereka.

Dimas menjerit dan berlari ke arah jendela, memecah kaca dengan tripod. Saat mereka berhasil keluar, suara tawa perempuan menggema di belakang mereka, diikuti bisikan yang tak akan pernah mereka lupakan:

“Kalau kalian menikah, undang aku…”


Penemuan Aneh di Kamera

Beberapa hari kemudian, Fahri membawa kamera ke laboratorium kampus. Ia ingin memastikan apa yang terekam malam itu bukan halusinasi. Saat video diputar, layar menampilkan ruangan kosong. Tapi di detik ke-45, muncul siluet perempuan dengan gaun putih, menatap langsung ke kamera.

Di akhir rekaman, terdengar suara pelan perempuan berbisik:

“Aku tak mati… aku menunggu di altar…”

Ketika video berhenti, layar monitor tiba-tiba retak sendiri dari tengah, membentuk pola seperti lingkar cincin kawin.


Pengakuan Penjaga Gedung

Fahri dan Citra kemudian menemui Pak Surya, mantan penjaga aula. Ia membenarkan bahwa dulu Rani memang bunuh diri. Namun ia juga mengaku satu hal yang tidak pernah diungkap media: jasad Rani hilang keesokan harinya sebelum sempat dimakamkan.

“Gaunnya masih di ruang rias, tapi tubuhnya nggak ada,” katanya. “Orang bilang arwahnya nggak pergi, karena dia masih menunggu Andra datang menjemputnya di altar.”

Saat Fahri menatap ke arah aula yang kini terbengkalai, ia merasa melihat sesuatu di jendela lantai dua. Bayangan perempuan bergaun putih berdiri di sana, menghadap keluar.


Aula yang Masih Bernyawa

Kini, Aula Nikah Sari Bahagia sudah ditutup untuk umum. Papan kayu menutupi pintu masuk, tapi setiap kali hujan turun, warga sekitar mendengar suara musik pernikahan samar dari dalam gedung.

Beberapa orang yang lewat malam hari mengaku melihat dua sosok berdiri di depan pintu: seorang pria dengan jas hitam dan seorang perempuan dengan gaun putih berlumuran darah. Dari kejauhan, mereka tampak seperti sepasang pengantin yang menunggu tamu datang.

Dan kadang, di balik tirai aula yang robek, terlihat siluet bayangan pengantin tersenyum di bawah cahaya lampu redup — senyum yang menandai bahwa pesta pernikahan itu… belum pernah benar-benar berakhir.

Sejarah & Budaya : Sejarah Emansipasi Wanita dari Masa Kolonial ke Kini

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Post