Bayang-bayang di Ujung Lorong Panjang Penuh Duka dan Teror

Bayang-bayang di Ujung Lorong Panjang Penuh Duka dan Teror post thumbnail image

Bayang-bayang di ujung lorong panjang menari di sela cahaya remang, seolah memanggil jiwa-jiwa yang terseret antara hidup dan mati. Sesungguhnya, tak ada orang yang berani melangkah lebih jauh pada malam penuh kabut itu; namun, Dimas terpaksa menyusuri lorong itu untuk mencari jawaban atas hilangnya adiknya. Walaupun pintu gerbang sudah terkunci dan rantai berderit mencegah siapa pun masuk, suara ratapan lembut memecah keheningan, memaksa Dimas meneruskan langkahnya. Sementara itu, lantai keramik dingin membekas di telapak kaki telanjang, dan dinding beton retak meneteskan air keruh seiring detik bergulir. Meskipun ia berusaha menenangkan napas, rasanya tekanan di dada semakin berat—seakan ada sesuatu yang mengawasinya dari balik bayang-bayang.

Awal Ketakutan

Pertama-tama, Dimas merasakan hembusan angin dingin yang melintas di lehernya, meski lorong itu tak memiliki jendela terbuka. Selanjutnya, lampu gantung yang tergantung di langit-langit bergetar, menimbulkan bayangan bergelombang di sepanjang dinding. Kemudian, ia melihat sosok samar di ujung lorong: sesosok tubuh kurus membungkuk, rambut panjang menutupi wajahnya. Namun, saat ia menodongkan senter, sosok itu lenyap begitu saja—seakan tercabut dari realitas. Meskipun demikian, suara dengusan pelan terus bergema, menambah rasa cemas yang menggumpal di tenggorokan Dimas.

Bisikan Terlarang

Setelah beberapa langkah, bayang-bayang itu muncul kembali—kali ini lebih dekat, dan kini ia bisa mendengar bisikan serak: “Tolong bawa aku pulang.” Meski terdengar memikat, suara itu membuat urat leher Dimas menegang. Sementara itu, hati kecilnya berteriak agar ia berbalik dan lari, namun rasa kasihan mendorongnya maju. Selanjutnya, setiap kali ia memijak lantai retak, suara retakan terdengar semakin keras, seolah lorong hendak runtuh. Kemudian, bayangan itu beringsut di sepanjang dinding, meninggalkan jejak hitam seperti tinta yang tumpah. Tanpa ragu, Dimas menekan senternya ke arah jejak, dan di sanalah ia melihat tulisan samar: “Jangan datang lebih jauh.”

Jejak Luka

Walaupun tulisan peringatan itu menakutkan, Dimas tetap berjalan, karena ia yakin hanya lewat lorong ini ia bisa menemukan adiknya. Setelah itu, ia menoleh ke belakang—namun tidak ada siapa pun di sana, hanya lorong kosong dan tangga besi yang berderit pelan. Selanjutnya, saat ia menginjak lantai berikutnya, tuts piano tua di pojok lorong tiba-tiba menekan sendiri sebuah nada rendah yang menusuk. Kemudian, sesosok kecil muncul di sudut kaca retak, menyaksikan Dimas dengan mata kosong. Dalam sekejap, lukisan-lukisan yang tergantung di dinding—semula menggambarkan wajah tersenyum—berubah menjadi wajah muram penuh darah menggumpal.

Detik Menuju Hancur

Kemudian, Dimas mendengar ketukan pelan dari balik pintu besi di ujung lorong. Meskipun detaknya lambat, setiap ketukan terasa bagai palu yang memukul jantungnya. Setelah itu, ia berbisik, “Adek, di mana kau?” Namun hanya bayang-bayang di cermin berembun menjawab: sosok adiknya mematung, dengan tangan terkepal dan mata melotot. Selanjutnya, bayangan di cermin itu terdistorsi, menjadi dua, lalu empat, bergandeng mengikuti gerakan Dimas. Meski senter nyaris padam, kilatan cahaya membuat bayangan itu menari liar, seolah merayakan penderitaannya.

Serbuk Merah di Tanah

Sementara senter berkedip, tanah di lorong mulai berderak, mengelurkan serpihan batu dan debu. Setelah itu, di bawah kaki Dimas, terlihat bekas luka merah—seperti garis-garis tangan yang telah dipahat dalam semen. Kemudian, ia memungut sejumput serbuk merah itu dan terkejut saat terasa hangat, bagaikan darah yang masih hidup. Sementara ia memperhatikan lebih lanjut, bayangan di ujung lorong memanjang dan merambat, seakan hendak merenggut jiwanya. Meski rasa takut semakin memuncak, Dimas memutuskan menerobos kegelapan—dia yakin hanya dengan menghadapi kengerian ia bisa menemukan adiknya.

Jeritan Kehampaan

Tak lama kemudian, jeritan melengking menembus langit-langit beton, membuat gendang telinga nyaris pecah. Seketika, bayang-bayang di ujung lorong panjang itu berubah wujud menjadi sosok tinggi, berbalut selubung hitam pekat, tanpa wajah—hanya ada rongga gelap kosong. Selanjutnya, makhluk itu menggapai dengan tangan panjangnya, menjalar seperti bayam busuk. Namun, Dimas mengangkat senter terakhirnya—mencoba memecah kegelapan. Dan ketika sinar menyentuh makhluk itu, ia mencicit nyaring, lalu lenyap, meninggalkan kepulan asap kelabu.

Terowongan Tanpa Akhir

Begitu asap menghilang, lorong di belakang Dimas berubah total: tidak ada lagi pintu besi, tidak ada jejak jejak darah, hanya terowongan yang membentang tanpa ujung—berliku dan semakin sempit. Setelah itu, bisikan kembali terdengar, berganti menjadi tawa dingin yang menyayat hati. Selanjutnya, luluhan lampu sisa berkedip, menampilkan dinding yang berdenyut, seolah bernapas. Dimas merasakan tarikan di dada, seakan lorong itu sendiri ingin menelannya. Meski demikian, ia menggenggam tekad: “Aku tidak akan mundur, adikku menungguku.”

Puncak Kehancuran

Dalam puncak keputusasaan, Dimas tiba di sebuah pintu kayu rapuh. Pintu itu menutup rapat, dan pada permukaannya terukir fokus keyphrase: bayang-bayang di ujung lorong panjang. Ketika ia menyentuh ukiran itu, pintu terkuak perlahan, mengungkap ruangan kecil berisi kursi roda berlumuran darah. Di kursi itu, sosok adiknya terikat, matanya kosong dan bibirnya terkatup rapat. Setelah Dimas meraih tangan adiknya, ia mendengar suara tawa mengerikan yang bergema, menyalak seperti anjing gila. Seketika, ruangan itu bergetar, dinding retak, dan makhluk tanpa wajah muncul kembali—kali ini lebih dekat, menjulang di atas kepala mereka.

Dalam keheningan sesaat, Dimas berteriak, “Pergi!” Lalu, ia memecahkan senter yang tersisa ke wajah makhluk itu. Pecahan kaca menebar cahaya tajam, memotong bayangan menjadi ribuan serpihan gelap. Makhluk itu meraung, tubuhnya hancur berkeping, dan terdengar deru angin topan yang menghisap kegelapan. Sementara itu, Dimas menuntun adiknya keluar, meski lorong masih bergelombang dan terlihat seperti mimpi buruk yang hidup.

Akhirnya, mereka tiba di ujung lorong panjang—di mana lampu kota memancar redup, menuntun langkah mereka kembali ke dunia nyata. Namun, di dada Dimas masih terasa denyut ngeri, dan di matanya terpatri bayangan hitam yang tak kunjung hilang. Sementara adiknya terkulai lemah, bayang-bayang di ujung lorong panjang itu seolah merangkai janji bahwa kengerian belum berakhir—dan selamanya akan menunggu siapa saja yang berani menelusuri lorong itu.

Gaya Hidup : 10 Kursi Paling Unik yang Bikin Anda Terpesona

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Post