Bau Kembang Tujuh Rupa Mencekam Jam Dua di Ruang Tengah

Bau Kembang Tujuh Rupa Mencekam Jam Dua di Ruang Tengah post thumbnail image

Ketika jam berdentang tepat pukul dua dini hari, bau kembang tujuh rupa menyeruak tiba-tiba di ruang tengah. Meskipun pintu terkunci rapat dan jendela tertutup rapih, aroma itu merayap di sela papan lantai, menjalar ke sumsum tulang. Bahkan ketika aku menarik napas panjang, hawa harum itu berubah menjadi pekat, memaksa paru-paru menolak menghirupnya. Sedangkan detak jam terus bergema, aku tahu ini bukan sekadar angin lalu.

Bisikan di Kegelapan

Pada awalnya, hanya keheningan yang menyapa. Namun kemudian, terdengar bisikan halus—seperti anak-anak tengah berzikir dalam nada sumbang. Selain itu, bayangan tirai bergoyang seakan tersapu hembusan angin, padahal udara di dalam rumah terasa mandek. Selanjutnya, langkah kakiku tertahan ketika aku menoleh ke sudut ruangan: di ranting salam kecil yang dipasang nenek, kelopak kembang tujuh rupa berguguran perlahan.

Bayangan yang Memantul

Setelah itu, aku menyalakan lampu meja. Namun cahaya redup memantul di dinding retak, menampakkan siluet hitam bergerak-gerak. Sementara aku terpaku, aroma bunga kian pekat, seolah mengundang sosok apa pun untuk menjelma. Kemudian, ketegangan memuncak ketika bayangan itu memantul dari satu sudut ke sudut lain, menandakan makhluk tanpa bentuk yang menari di balik cahaya remang.

Pencarian Sumber Aroma

Karena penasaran sekaligus takut, aku mengambil senter dan menyusuri lantai kayu. Lalu, kulihat sebuah vas antik tergeletak—biasanya selalu menempel di rak lemari. Seketika, isinya tumpah berserakan: kelopak kembang tujuh rupa, lembap dan berembun. Selain itu, vas retak meneteskan cairan merah ke lantai. Selanjutnya, aku merogoh lembar catatan nenek, namun halaman yang memuat ritual bunga itu terobek dengan huruf “JANGAN” yang ditulis tangan miring.

Deretan Lilin yang Menyala Sendiri

Kemudian, di sudut ruang, lilin putih di atas piring keramik menyala satu per satu—seakan dipantik tangan tak kasat mata. Sementara aku membeku, senter menyorot ke deret cristamin, memantulkan titik-titik cahaya menari di udara. Lalu, nyala lilin bergoyang pelan, memunculkan bayangan anak-anak kecil berdiri melingkar. Bahkan, aroma kembang tujuh rupa terasa semakin menusuk, mencampur harum manis dengan anyir dingin.

Tangan Tipis Menyentuh Bahu

Selanjutnya, terasa sentuhan selintas di bahuku—lembut namun dingin membeku. Ketika aku menoleh, tidak ada siapa pun di sana; hanya kegelapan mendesak di balik rak buku. Tiba-tiba, angka di jam dinding berkedip “2:02”, lalu berubah “2:03”… “2:04”, meski detik jarum berhenti bergerak. Selain itu, bisikan lagu anak-anak terdengar gaduh, mengundang rasa mual. Dengan napas serak, aku melangkah menjauhi sentuhan itu ke ambang pintu.

Pintu yang Terbuka Setengah

Kemudian, pintu ruang tengah tergerak setengah terbuka, meski kukunci ganda beberapa detik lalu. Selanjutnya, cahaya lorong masuk, menyingkap dua jejak kaki kecil bercampur kelopak bunga. Selain itu, suara bisikan berpindah sudut, mengucap “lagi…”. Sementara aku menutup pintu paksa, senter menyapu lantai; namun, jejak kaki tiba-tiba lenyap saat disentuh ujung sepatu.

Simfoni Ketakutan

Lalu, seluruh lampu rumah padam mendadak, menyisakan kegelapan mutlak. Sementara aku berusaha mengumpulkan senter, suara bisikan berpadu dengan dentingan jam—“ding… ding…”. Selain itu, aroma bunga tujuh rupa kini bercampur bau tanah basah—seakan makam kuno terbuka di ambang pintu. Selanjutnya, aku merasakan titik-titik dingin menetes di ubun-ubun, membuat seluruh tubuh menggigil.

Konfrontasi di Tengah Harum Bunga

Akhirnya, aku menyalakan korek api dan mencoba membakar kelopak kembang tujuh rupa—namun api padam setiap kali menyentuh kelopak lembap. Dengan terpaksa, aku meraihnya satu persatu dan membuang ke wastafel. Namun, begitu terbuang, kelopak kembali muncul di lantai—seolah dipanggil pulang. Selanjutnya, aku menjauh, tapi aura bunga itu mengikuti; membuatku terpojok di sudut, terkurung aroma tengik yang kian mencekam.

Kilasan Wajah di Cermin

Setelah lampu darurat remang menyala, aku melihat diriku di cermin—namun di bahuku ada sosok kekanak-kanakan berbalut kain putih. Ketika aku menatap lebih tajam, sosok itu menoleh: wajahnya datar, tanpa mata, tapi mulutnya terkatup rapat. Selain itu, di tangannya, kelopak bunga tujuh rupa mengalir bak darah segar. Selanjutnya, sosok itu meneguk aroma itu sebagai santapan, lalu menatapku seakan memerintah: “Ikuti aku…”

Pelarian Menuju Kamar Tidur

Dengan panik, aku berlari ke kamar utama dan membanting pintu. Kemudian, kunci terkunci rapat, namun aroma kembang tujuh rupa telah menyerbu bawah pintu. Selanjutnya, aku menutup jendela, namun di kaca tampak sidik jari kecil bercampur noda hitam. Selain itu, terdengar ketukan pelan: “tik… tik…” di kayu, seiring nafas teratur karakter tanpa tubuh.

Titik Puncak Teror

Lalu, pada detik-detik menjelang pukul tiga, keheningan pecah oleh tawa anak-anak bergema. Sementara aku menutup mata, kaukutip doa apa pun yang terlintas. Selanjutnya, pintu kamar bergetar hebat, lantai bergetar, dan di sudut ruangan, kelopak bunga melayang terbiasa. Bahkan, senterku mati total, meninggalkan aku dalam kegelapan pekat—hanya suara ketukan “tik… tik…” dan bisikan “dua… dua…” yang terus mencemooh.

Bayangan di Kelembapan Dini Hari

Ketika fajar perlahan memecah malam, bau kembang tujuh rupa meredup menjadi ringan—menyisakan embun lembut di lantai. Namun, sisa kelopak masih tersebar, seperti nodai perjanjian yang tak terhapus. Meskipun aku kini berjaga sepanjang malam, setiap jarum jam mendekati dua, aku merasakan getar ketakutan dan aroma kembang tujuh rupa menyelimuti, menantang keberanian—karena teror itu belum selesai menuntut jiwa penyaksi.

Politik : Indonesia, China & Rusia: Strategi Diplomasi Tiga Poros RI

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Post