Sungai yang Menyimpan Nafas Tua
Di tepi Sungai Kapuas, malam selalu membawa aroma yang aneh. Kadang seperti tanah basah, tapi malam itu berbeda — bau busuk menyengat hingga menusuk dada.
Warga kampung tahu artinya: sungai sedang “bernapas”. Dan bila ia mulai bernapas, itu tanda arwah lama sedang berjalan di permukaan air.
Syarif, seorang nelayan tua, tetap nekat turun ke sungai. Ia butuh uang dari hasil tangkapan malam itu. Lampu petromaks di perahunya bergoyang, memantulkan bayangan air yang hitam pekat. Ia mencium udara — bau busuk itu kini lebih kuat, seperti bangkai yang baru saja diangkat dari dasar sungai.
Namun ia mendayung juga, menembus kabut yang tebal seperti kain kafan.
Ketukan dari Dalam Air
Air Kapuas malam itu tak bergelombang. Hanya bunyi dayung dan detak jantungnya yang terdengar. Sampai tiba-tiba — tok, tok, tok.
Syarif menoleh. Ketukan itu datang dari bawah perahu. Ia membungkuk, menyorotkan lampu, dan melihat permukaan air beriak pelan. Lalu muncul rambut hitam panjang, menempel di ujung jaringnya. Rambut itu basah dan menggeliat seperti hidup.
Tangannya gemetar. Ia ingin menarik jaringnya, tapi sesuatu di bawah sana menarik balik. Air mendadak berputar, seolah ada tubuh besar menahan perahunya.
Syarif meludah ke air, berusaha menenangkan diri. Tapi bau busuk itu makin kuat, seolah keluar dari pori-pori sungai.
Sosok di Tengah Arus
Jaringnya menegang, berat seperti memancing batu. Ia menarik dengan sekuat tenaga, dan sesuatu muncul dari air — sesosok tubuh hitam, lumpur menutupi wajahnya. Tubuh itu menggantung di jaring, mengeluarkan bau busuk yang membuat perutnya mual.
Syarif memundurkan diri. Tubuh itu perlahan membuka matanya. Kelopak putih menatapnya kosong, lalu dari mulutnya keluar suara serak, seperti air menetes dari tenggorokan busuk:
“Kau… tak… tiup…”
Syarif terpaku. Ia tahu suara itu. Suara Rumi — adiknya yang tenggelam di Kapuas dua puluh tahun lalu.
Tubuh itu perlahan tenggelam lagi, membawa jaringnya ikut hanyut. Syarif hanya sempat melihat benda kecil yang tersisa di perahunya: sebuah peluit logam. Peluit Rumi.
Peluit yang Menyeret Kenangan
Syarif menggenggam peluit itu erat. Dulu, saat masih anak-anak, ia dan Rumi sering bermain di sungai. Mereka punya janji: siapa yang dapat ikan duluan, meniup peluit tiga kali.
Malam ketika Rumi hilang, badai datang sebelum sempat meniup peluit itu. Sejak saat itu, sungai seakan menyimpan suaranya sendiri.
Kini peluit itu kembali, dingin dan berkarat. Dan bau busuk dari sungai tidak juga hilang.
Pagi yang Menyimpan Hilang
Pagi berikutnya, warga heboh. Seorang nelayan perempuan bernama Maya tak pulang sejak malam. Perahunya ditemukan hanyut, lantainya penuh lumpur dan jaring robek seperti digigit.
Syarif berdiri di dermaga, menatap air keruh. Ia ingin bercerita, tapi lidahnya kelu. Ia hanya mencium lagi bau busuk samar dari arah tikungan sungai — tempat Rumi dulu tenggelam.
Tuk Bandang dan Sungai yang Mengingat
Sore harinya, datang Tuk Bandang, dukun tua penjaga sungai. Ia melihat peluit di tangan Syarif dan menggeleng pelan.
“Air mengingat,” katanya lirih. “Dan sungai ini belum memaafkanmu.”
Syarif tak paham. Tuk Bandang menancapkan tongkat akar di tanah, membaca mantra pendek. Bau busuk kembali menguar.
“Kau berjanji meniup peluit tiga kali untuk adikmu, tapi janji itu tak pernah sampai,” lanjutnya. “Sungai menagih janji yang tak ditepati.”
Ritual di Tikungan Arus
Senja turun cepat. Langit Kapuas menjadi ungu tua. Tuk Bandang, Syarif, dan dua warga muda naik ke perahu. Mereka membawa sesajen: nasi kuning, ayam hitam, dan daun nipah bertuliskan nama-nama orang yang hilang di sungai.
Tuk Bandang menatap Syarif.
“Tiup tiga kali, seperti dulu.”
Syarif menempelkan peluit ke bibirnya. Tangannya bergetar. Ia meniup satu kali… dua kali… tiga kali.
Suara peluit menggema panjang, memantul ke dinding hutan nipah. Lalu hening. Air tiba-tiba bergerak sendiri, membentuk pusaran kecil di depan perahu. Dari pusaran itu muncul gelang perak milik Maya, berlumur lumpur.
Tangan dari Dasar Sungai
Syarif berjongkok untuk meraih gelang itu. Saat jari-jarinya hampir menyentuh, tangan lain muncul dari bawah air — pucat, dingin, dan berlumur lumpur. Ia mengenali kelingkingnya yang bengkok. Itu tangan Rumi.
“Rumi…” bisiknya.
Tangan itu tidak menggenggam, hanya menunjuk ke arah akar nipah besar di tepi sungai. Lalu tenggelam perlahan.
Tuk Bandang menatap arah yang sama. “Dia menunjukkan jalan.”
Penemuan di Dalam Nipah
Mereka mendayung ke sana. Akar nipah menutup seperti gerbang. Dua warga turun, menyingkap lumpur. Dari balik sela akar, terdengar batuk lemah. Mereka menarik tubuh Maya keluar — hidup, tapi pucat dan menggigil.
“Dia yang menolongku,” katanya terbata. “Ada lelaki di air… bilang ‘pulang’.”
Syarif menatap permukaan sungai yang beriak halus. Bau busuk itu masih ada, tapi kini lebih lembut, seperti aroma tanah sehabis hujan.
Janji yang Akhirnya Ditepati
Beberapa malam kemudian, kampung tenang lagi. Tak ada nelayan hilang. Lonceng masjid berdentang seperti biasa. Tapi setiap kali malam turun, dari arah sungai terdengar peluit tiga kali — pelan, panjang, dan kemudian hilang ditelan kabut.
Syarif tahu itu tanda perpisahan. Ia berdiri di tepi dermaga, membawa mata kail berkarat yang dulu ditemukan ibunya di jaring Rumi.
“Aku tiupkan, akhirnya,” katanya ke air. “Kau bisa tenang.”
Sungai tak menjawab, hanya mengirimkan gelombang kecil ke kakinya — lembut, seperti tepukan di bahu.
Sungai yang Menjadi Doa
Sejak malam itu, bau busuk di kampung tak pernah muncul lagi. Tapi setiap musim hujan, warga masih menaruh nasi kuning di dermaga dan menyalakan lilin kecil.
Mereka percaya arwah nelayan masih berlayar di sana, menjaga yang hidup dari tenggelam.
Dan bila peluit terdengar lagi, mereka tahu — itu bukan panggilan maut, melainkan pengingat bahwa janji yang tak ditepati bisa berumur lebih panjang dari manusia.
Lifestyle : Gaya Hidup Fleksitarian Jadi Alternatif Makan Sehat