Saat pertama kali aku menyadari bantal berubah posisi, jantungku langsung berdebar. Padahal kamar sudah terkunci meski suara pintu terkunci terangkas, dan lampu padam total, hawa dingin tetap merayap di tulang. Meskipun kupikir itu halus saja, kenyataannya, malam itu menandai awal mimpi buruk yang tak kunjung usai.
Kejanggalan di Tengah Gelap
Awalnya, aku hanya hendak merapikan selimut. Namun kemudian, mataku tertuju pada bantal—yang semula di sebelah kepala, kini berpindah ke ujung kaki. Sementara itu, detik jarum jam berdetak pelan, aku berusaha menenangkan diri. Selain itu, kupastikan kunci ganda di pintu tetap terpasang. Namun demikian, bantal terus mengundang pertanyaan: siapa yang menggerakkannya?
Bisikan Tanpa Wujud
Selanjutnya, ketika aku hendak menarik bantal kembali, terdengar bisikan samar di sudut ruangan. Tiba-tiba, hawa dingin menusuk tenggorokan. Kemudian, kupalingkan tubuh, mencoba menebak sumber suara—namun hanya kegelapan pekat yang menyambut. Bahkan ketika kupanggil “siapa di sana?”, balasan hanya dentingan jam dinding yang bergema mirip tawa.
Bayangan di Ambang Pintu
Kemudian, lampu darurat di lorong menyala sesaat, memantulkan siluet samar di celah pintu. Selanjutnya, aku menahan napas, penasaran sekaligus takut. Meski inilah satu-satunya sumber cahaya, siluet itu lenyap begitu cepat. Sementara pintu tetap terkunci—karena aku sudah mengecek berulang kali—pertanyaan kembali muncul: bagaimana mungkin makhluk itu masuk?
Hening yang Mematikan
Setelah itu, keheningan menjadi lebih menekan. Bahkan, setiap tarikan nafas terdengar seperti gemericik keringat yang menetes di lantai kayu. Lalu, bantal kembali berpindah, kali ini tergeletak di lantai dengan lipatan menyeramkan. Selain itu, aku merasakan getaran halus di kasur, seakan ada berat yang duduk di pinggirnya.
Pencarian Jejak
Kemudian, aku menyalakan senter ponsel, menelusuri jejak kaki kecil di lantai. Selanjutnya, pena tinta merah menetes di dekat ambang jendela—padahal aku tidak pernah menulis. Bahkan jejak langkah itu berujung ke sudut kamar, di mana cermin antik tergantung. Pada saat itu, sorotan senter menyingkap goresan panjang di kaca, menyerupai sosok merangkak.
Konfrontasi dengan Bayangan
Lalu, aku mendengar suara dra… dra… dra… seperti kuku menggores kayu. Meski nadanya pelan, aku tahu betul itu bukan bunyi alami. Selanjutnya, kupantulkan senter ke sudut, menemukan bayangan kurus tanpa wajah—hanya siluet hitam yang bergerak perlahan. Bahkan ketika kupalingkan senter, bayangan itu berpindah ke sudut lain dalam sekejap.
Pelarian Tanpa Jalan Keluar
Kemudian, panik memuncak. Aku berlari ke pintu, namun gagang terkunci rapat. Selain itu, jendela teralis besi pula. Sementara itu, suara dra… dra… dra… terus mendekat dari arah lemari pakaian. Lalu, bantal yang kubawa terlepas dari tangan, terbang melayang ke arah bayangan itu—seakan ditarik oleh kekuatan gaib.
Jeritan Penyesalan
Setelah itu, aku menutup mata dan menjerit ketika sesuatu menyentuh pundakku. Kemudian, kupaksa membuka mata: sosok itu berdiri di samping tempat tidur, melongok ke arahku dengan kekosongan yang menjelma teror. Bahkan saat aku menjerit lagi, tak ada suara yang keluar—seakan tenggorokan ikut membeku.
Waktu Membeku
Selanjutnya, detik-detik terasa melambat. Cahaya senter berkedip buruk, lalu padam. Lalu, kegelapan mutlak menelan segalanya. Hanya terdengar suara napas berat di udara dingin. Bahkan di kegelapan, aku menyaksikan bantal berpindah sekali lagi, kini menutupi wajahku—dan aku tahu ini bukan sekadar lelucon arwah.
Akhir yang Menghantui
Akhirnya, saat fajar menyingsing, kamarku ditemukan dalam kekacauan: bantal berserakan, baju terlempar, dan aku terbaring lemas di sudut. Selanjutnya, kunci pintu masih menancap rapat—namun bukti goresan di kayu dan jejak tinta merah membuktikan malam itu bukan mimpi. Bahkan setelah aku keluar dari kamar, bisikan “kamu berikutnya” terus bergema di telingaku.
Sejak malam itu, aku tak pernah lagi menaruh bantal di samping kepala. Selain itu, setiap pintu kukunci berulang kali, hati tetap waspada. Namun demikian, saat lampu padam total—aku masih dapat merasakan tatapan tanpa kepala yang mengintai. Dan meski bantal berubah posisi hanya di ruang terkunci, kisah ini membuktikan, kengerian tak mengenal batas pintu atau kunci manapun.
Olahraga : Renang Artistik Indonesia Curi Perhatian ASEAN Games