Ayunan di Taman yang Bergerak Sendiri di Senja Sunyi Malam

Ayunan di Taman yang Bergerak Sendiri di Senja Sunyi Malam post thumbnail image

Bayangan yang Terbangun

Pada suatu sore menjelang senja, aku tersadar bahwa ayunan di taman yang bergerak sendiri bukan sekadar bisik keliru angin. Saat pertama kali kutatap, rantai besinya tertutup karat, permukaannya berdebu—namun ayunan itu berayun perlahan, seolah menunggu tubuh untuk duduk. Perasaan dingin merambat, lalu aku mendekat, dan tiba-tiba ujung rambutku tertiup… seperti sebuah undangan maut.

Kehadiran yang Menyelinap

Selain suara rantainya, taman itu sunyi tak wajar. Di antara pepohonan meranggas, daun-daun kering bergesekan menambah irama aneh. Namun, lebih menakutkan, ayunan di taman yang bergerak sendiri bergerak semakin cepat tanpa tombol atau benang penghubung terlihat. Aku menahan napas, dan di balik rerimbunan, bayangan seseorang berdiri menatapku—tanpa bentuk, tanpa wajah.

Suara yang Berbisik

Lalu, perlahan, terdengar bisikan tipis. Sumpah, suaranya seperti kepingan kaca pecah. “Duduklah…” bisiknya berulang, membuat bulu kuduk meremang. Meskipun ragu, langkahku terhuyung mendekat, menyentuh rantai dingin itu. Saat tanganku menggapainya, air mataku luruh—tapi bukan karena takut, melainkan terhipnotis oleh pesona gelap yang memanggilku.

Bayangan yang Berputar

Setelah itu, bayangan di ayunan tampak berputar sendiri. Tak ada tubuh, hanya siluet samar yang menari di udara. Aku mundur, namun akar di bawah kakiku seolah mencengkeram. Bahkan suara angin pun terhenti, menyisakan kekosongan memekik. Ayunan di taman yang bergerak sendiri kini berayun tinggi, menjulang menembus remang-remang senja, menyiapkan kejatuhan.

Pertemuan Malam

Ketika gelap semakin pekat, aku duduk—meski takut, rasa penasaran menguasai. Seketika, tubuhku kaku, seolah dirasuki. Sekeliling berubah; bunga layu, jalan setapak retak, dan pepohonan berbisik dalam bahasa tak kukenal. Namun, yang paling menakutkan, wajah pucat muncul di belakangku—entah manusia atau arwah—menatap dengan mata kosong tak berujung.

Sujud pada Kengerian

Meski inginku menjerit, suaraku tertahan. Tangan gemetar memegang rantai, dan ayunan di taman yang bergerak sendiri menjegal antara hidup dan mati. Aku terhanyut dalam mimpi buruk yang nyata, di mana setiap detik bergema menjadi derit logam. “Pergi…” suaraku melemah, tapi sosok di belakangnya tertawa pelan, menambah dingin hingga menembus darah.

Kejaran Bayangan

Setelah beberapa detik mendebarkan, ayunan berhenti mendadak. Aku terjatuh ke tanah, memilih untuk lari. Namun, langkahku terhambat—tanah bergetar, bayangan melesat di sampingku. Dalam kabut senja, sosok itu memelukku, mencekik napas. Rasa sesak mencekam, dan aku tahu, satu tarikan napas lagi berarti… selamanya terjebak.

Puncak Kengerian

Tiba-tiba, rerumputan di sekitarku terbakar api biru dingin tanpa asap. Suara teriakan jiwa yang hilang bergemuruh, menambah chaos malam. Aku menutup mata, memohon ampun, tapi muncul sesosok bocah berlumuran tanah, rambutnya panjang menjuntai. Ia menepuk bahuku lembut—sementara segala kekacauan berdesir ke ayunan, menghunus kesunyian.

Penghujung Malam

Ketika fajar mulai menyibak senja, taman kembali normal. Ayunan di taman yang bergerak sendiri terdiam; rantainya kaku, kosong tanpa jiwa. Namun, di tubuhku, aku tahu ada yang tersisa—bisikan halus dan dingin yang takkan pernah hilang. Sejak malam itu, setiap langkahku di bawah cahaya rembulan, bayangan bocah itu menari, mengingatkan bahwa kengerian bisa hidup lebih lama dari tubuh.

Kesehatan & Gaya Hidup : Keistimewaan Buah Salak untuk Kesehatan Tubuh

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Post