Awal Senja yang Sunyi
Ayunan bergerak saat tidak ada angin—bunyi itu pertama kali terdengar oleh Rani dan teman-temannya saat mereka baru saja pulang sekolah. Mereka melintas di taman bermain, sementara lampu jalan telah menyala temaram. ayunan bergerak saat tidak ada angin terngiang di kepala Rani, membuatnya terhenti sejenak. Namun, teman-temannya mendesak agar mereka cepat pergi karena hari sudah gelap.
Gerakan yang Tak Wajar
Sesaat setelah mereka menoleh, tampak satu kursi ayunan bergerak perlahan, meski udara terasa begitu hening. Bahkan ketika mereka berusaha membuat canda untuk menenangkan diri, ayunan bergerak saat tidak ada angin terus berayun lebih cepat. Gerakannya seperti diungkapkan oleh tangan tak kasat mata yang sengaja menggoyangkan.
Desiran Sepi dan Bisikan
Kemudian, setelah beberapa detik, terdengar desiran halus—seolah-olah pohon rindang di sekitar taman mengerang lirih. Ranting-ranting bergesekan, tetapi daun-daunnya tidak berjatuhan. “Kalian dengar itu?” bisik Rani. Tiba-tiba, angin dingin menyusup di antara pohon, walau sebelumnya udara terasa beku tanpa embusan. Sekali lagi, ayunan bergerak saat tidak ada angin berulang di telinga mereka, semakin memekakkan.
Kenangan Kelam Masa Lalu
Sebagaimana cerita penduduk setempat, dulunya seorang bocah pernah tewas saat bermain ayunan di taman itu. Namun, tidak ada catatan resmi—hanya desas-desus tentang kematian tragis yang diakhiri oleh jeritan malam. Meskipun tak ada yang berani mengonfirmasi, rasanya seperti ada seorang anak yang belum bisa pergi dari tempat itu.
Teriakan yang Mengiris Hati
Selanjutnya, Rani mendengar suara anak menangis di kejauhan. Tangisan itu begitu memilukan hingga membuat bulu kuduknya berdiri. Teman-temannya mundur, tetapi Rani justru melangkah mendekat. Di sela-sela pepohonan, sosok bayangan anak tampak—berdiri menatap kosong. Sesaat, ayunan bergerak saat tidak ada angin kembali bergoyang cepat, membuat kaki Rani terpaku di tempat.
Ketegangan yang Mencekam
Kemudian, hujan rintik turun, meski langit tetap cerah tanpa awan mendung. Setiap tetes air seakan berbisik, menambah kepulan kengerian. “Kita harus lari,” bunyi langkah tergesa-gesa terdengar di antara daun basah. Mereka berhamburan, namun bayangan itu seolah mengikuti, tanpa suara kaki, melayang di antara pepohonan.
Puncak Kengerian
Akhirnya, di hadapan mereka, ayunan terus berayun lebih liar—ayunan bergerak saat tidak ada angin kini memuntahkan suara berderit, seolah engselnya digerayangi kuku tak kasat mata. Lampu taman berkedip, kemudian padam total. Kegelapan menelan semua, hanya terdengar desahan napas anak-anak yang ketakutan.
Pelarian Menuju Keselamatan
Namun, tiba-tiba pintu gerbang taman terbuka dengan sendirinya. Sebagian anak sudah berlari, menembus gelap, sampai mereka mencapai jalan utama. Rani sempat menoleh, dan melihat bayangan anak itu berdiri di ayunan—matanya merah menyala, senyumnya mengerikan. Begitu Rani menjerit, lampu taman kembali menyala, dan sosok itu lenyap sekejap.
Jejak yang Tak Terhapus
Kemudian, keesokan harinya, warga menemukan bekas jejak kaki kecil di tanah lembab di bawah ayunan. Namun, ketika diukur, jejak itu terlalu kecil untuk ukuran anak biasa. Tak ada yang bersuara, hanya rasa dingin yang tersisa. Hingga hari ini, setiap ada yang melewati taman di senja hari, suara berderit ayunan bergerak saat tidak ada angin selalu mengundang kengerian
Politik : Arah Baru RI–Rusia: Ekonomi Strategis dan Diplomasi Timur