Kedatangan di Asrama Tua
Langit senja memburam ketika kami menjejakkan kaki di gerbang besi asrama putri tua, tempat suara tangisan tengah malam kerap bergema di lorong sunyi. Dari balik jendela berjeruji, cahaya kuning remang menerpa kursi-kursi tua dan rak buku berdebu. Setiap hembusan angin membawa bisikan lirih, seolah bernada ajakan: “Masuklah…” Walau rasa penasaran menuntun kami, jantung berdegup makin kencang ketika derap langkah sendiri terdengar di lantai kayu. Suara itu bukan angin—itu suara tangisan tengah malam yang memanggil nama kami satu per satu, mengguncang akal sehat.
2. Bisikan yang Menggurat Ketakutan
Transisi dari rasa takjub ke ketakutan terjadi sekejap setelah pintu kayu tua kami dorong. Lorong sempit dihadang bayangan bergerak, dan gema suara tangisan tengah malam bergulung di setiap sudut. Lampu senter berguncang, menciptakan siluet perempuan bergaun putih lusuh, matanya kosong menatap. Ia menunduk, tangannya terkatup di dada, lalu membuka mulut—tetapi tak ada suara nyata, hanya desahan yang berkelip bagai titik-titik cahaya hampa. Hole di tembok menampung gema rintihan yang melengking, memaksa kami menutup telinga sambil berlari, namun lorong seakan memanjang tak berujung.
3. Langkah Terpaku di Depan Ruang Besar
Sesaat memasuki aula pusat, remang lampu gantung menyorot ukiran kayu lusuh dan lukisan siswa angkatan lama yang berlubang matanya. Suara tangisan tengah malam berhembus lagi, lebih dekat, berputar—“Tolong aku…” Ia menelusup lewat celah pintu, menembus tenggorokan kami dengan dingin. Sebuah patung gadis dengan rambut panjang menutupi wajah berdiri di pojok; air mata pahit menetes ke kaki patung. Saat kami mendekat, patung itu seakan mengerutkan kening, bibirnya bergerak, membisik: “Pergi…” Tanpa arah, kami terdiam, merasakan kepanikan menggulung.
4. Bayangan di Balik Tirai Kusam
Masih berguncang, kami menembus ruang belajar yang tirainya terkoyak. Cerapan senter menangkap bayangan samar di balik kain lusuh—sesosok bocah menangis tanpa suara. Air mata merembes di pipi, membentuk alur gelap yang menetes ke lantai. Suara tangisan tengah malam kini terpecah menjadi rintihan anak kecil: “Mama…kenapa…” Hati kami teriris, sekaligus terkunci rasa takut tersedak. Saat kami membalik tirai, sosok itu lenyap, namun gemuruh langkah kaki kecil menggema, menuntun kami ke pintu keluar—yang tiba-tiba terkunci.
5. Teriakan di Koridor Hitam
Panik meresap ketika kami tersesat di koridor tanpa jendela. Setiap belokan menampakkan tulisan kapur di dinding: “JANGAN TINGGALKAN AKU.” Di balik huruf-huruf itu, suara tangisan tengah malam berubah menjadi teriakan panjang, menusuk gendang telinga. Kami berlari tercekat, tapi kaki terasa berat, seakan tertimbun lumpur mistis. Pintu-pintu berderit, lampu-lampu padam, menyisakan kegelapan pekat—dan di situ, gundukan tubuh tergeletak, berlumuran darah kering. Mayatnya mematung, mulut ternganga membentuk bisikan hampa.
6. Penemuan Buku Harian Terbelah
Setelah berhasil melepaskan diri dari teror mayat, kami menemukan ruang kamar asrama. Di meja belajar, tergeletak buku harian lusuh. Halaman terakhir robek, namun masih terbaca:
“Malam ini, aku mendengar suara tangisan tengah malam di bawah lantai. Aku tahu mereka menungguku…”
Tulisan semakin kabur, noda darah menandakan kegelisahan terakhir sang penulis. Saat membolak-balik halaman, suara langkah memenuhi langit-langit, berputar, meninggi. Buku terlepas dari tangan, menimpa lantai dengan dentang keras, memecah keheningan yang berbalik menyeramkan.
7. Ritual Terlarang di Bawah Tanah
Jejak langkah menuntun kami ke pintu jebakan di bawah lemari besi. Di ruang bawah tanah, lilin-lilin setengah meleleh terhampar di lantai berlumpur. Dalam lingkaran darah, terhampar boneka kain dan satu patung topeng—keduanya dipenuhi ukiran anak-anak. Suara tangisan tengah malam menyemai kecemasan ketika sosok berselubung kain putih mengangkat tangan, berjalan memutari lingkaran. Bisikannya jelas: “Aku disini…” Kali ini, ia menyebut nama kami satu per satu, lalu menjerit melolong, mengundang makhluk-makhluk bayangan untuk menari di kegelapan.
8. Pengejaran Tanpa Akhir
Lampu senter kami padam serempak, membuat ruang bawah tanah seperti perut bumi. Pengejaran pun dimulai—bayangan menerkam, suara rintihan berubah deru serigala lapar. Kaki melangkah pincang, nafas pendek, jantung seolah hendak meledak. Suara tangisan tengah malam bergulung menjadi dinding suara yang memburu kami. Satu per satu rekan terseret bayangan, raungan takut menambah bising koridor gelap. Kami berteriak, namun tak ada yang mendengar—hanya gema penderitaan yang menempel di dinding batu.
9. Konfrontasi Terakhir di Aula Senja
Dengan tenaga terakhir, kami menjejak kembali ke aula pusat yang kini disinari cahaya senja menelisik celah jendela pecah. Di tengah ruangan, sosok besar berdiri menatap: gadis bergaun putih, wajahnya komposisi rongga tawa dan tangis. Bibirnya bergerak pelan, membisik: “Kini aku bebas…” Sebelum ia mengangkat tangan, kami menutup mata, memekik, lalu mendarat di lantai—senter menyala, menyorot sosok itu yang telah lenyap. Hanya lingkaran darah dan boneka kain tergeletak.
10. Keheningan yang Memekakkan
Saat kami terhuyung keluar asrama, gerbang besi terkunci sendiri. Hanya sisa hening yang menunggu—hening yang kini berhiaskan suara tangisan tengah malam samar. Setiap malam, di rumah masing-masing, kami mendengar ketukan di pintu dan rintihan jauh, menanyakan apakah kami masih di sana. Barangkali, teror itu belum selesai. Dan asrama putri tua itu akan menanti kedatangan orang berikutnya, siap menyambut dengan tangisan yang tak kunjung usai.
Lifestyle : Bahaya Penggunaan Vape Berlebihan bagi Kesehatan