Pertama-tama, Asrama Lama tak diakui oleh Dinas Pendidikan memang bukan sekadar cerita kosong. Begitu gerbangnya terbuka, hawa dingin langsung merayap ke tulang, seakan menegaskan bahwa tidak ada harapan bagi siapa pun yang nekat bermalam di sana. Selain itu, kabar hantu santri hilang tanpa jejak membuat setiap langkah semakin tertahan atau tergesa—sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan nalar semata.
Kedatangan Santri Baru
Selanjutnya, tiga santri baru tiba di asrama itu ketika senja merangkak turun. Mereka membawa tas compang-camping, wajah lelah, dan harapan akan tempat tinggal yang “lumayan” selama masa pendidikan. Meskipun demikian, papan nama berdebu tertulis “Asrama Lama” tanpa nomor atau penanggung jawab, memicu ketakutan sekaligus rasa ingin tahu. Oleh karena itu, malam pertama terasa seperti ujian kesetiaan pada keberanian.
Malam Pertama di Lorong Sunyi
Lebih jauh lagi, lampu koridor utama sering mati mendadak, meninggalkan kepekatan total. Selain itu, suara langkah kaki—yang ternyata milik mereka sendiri—terdengar bergema tak beraturan. Sementara itu, bisikan tipis menyeruak dari dinding, memanggil nama satu per satu. Tanpa ragu, salah seorang santri, Ardi, menoleh ke belakang—hanya menemukan bayangan hitam berkelebat di ujung lorong.
Bisikan dalam Gelap
Namun, puncak ketegangan terjadi ketika waktu menunjukkan pukul dua dini hari. Tiba-tiba, kumpulan bisikan berubah menjadi suara jeritan terlunta, memaksa para santri terjaga. Pada saat itulah mereka sadar, Asrama Lama tak diakui menyimpan jiwa-jiwa yang tak pernah bisa pergi. Lebih lanjut, suara-suara itu menuntun ke kamar nomor empat, di mana pintu terkunci rapat dengan rantai besi karatan.
Jejak Kaki di Dinding
Menurut legenda, di kamar itulah seorang santri perempuan pernah bunuh diri bertahun lalu. Oleh karena itu, tubuhnya dikabarkan bergentayangan, mencari teman untuk mengangkat beban kesepiannya. Lebih lanjut, ketika satu per satu santri menempelkan telapak tangan ke dinding, mereka mendapati bekas jejak kaki kecil mengarah ke langit-langit—sesuatu yang mustahil.
Bayangan di Kamar Tua
Selanjutnya, mereka memutuskan untuk memeriksa kamar tua di ujung lorong, yang bahkan tidak memiliki jendela. Saat pintu diketuk perlahan, suara gerendel berderit sendiri, menimbulkan rasa ngeri. Sementara itu, lampu senter berkelip, lalu padam total—menyisakan mereka dalam kegelapan pekat. Oleh karena itu, satu persatu terdengar suara nafas berat, seolah ada yang membuntuti dari balik ranjang kayu reyot.
Pintu Berderit dan Lembaran Kertas Berdarah
Lebih jauh lagi, ketika lampu padam, lembaran kertas bergaris terlempar ke lantai dengan noda merah yang belum kering—tulisan tangan yang tampak menjerit: “Bebaskan aku!”. Oleh karena itu, para santri berkumpul, saling menahan dada ketakutan, sementara pintu masih berderit seperti menyambut tamu yang tak diinginkan.
Desahan Tanpa Wajah
Kemudian, saat mereka menyalakan lilin seadanya, muncul sosok tanpa wajah di sudut ruangan. Sosok itu berdiri diam, tubuhnya menekuk tak wajar, kemudian menghembuskan desahan panjang—membuat bulu kuduk meremang. Meskipun demikian, sosok itu tak bergerak mendekat, seolah menunggu izin untuk menyentuh jiwa setiap santri.
Pelarian Tanpa Akhir
Oleh karenanya, mereka memutuskan untuk lari mengejar pintu keluar utama. Namun, lorong tampak memanjang tanpa ujung, dan setiap sudut yang mereka belokkan kembali membawa ke ruangan yang sama. Sementara itu, langkah kaki misterius semakin banyak, memburu mereka dari segala arah—menjadikan lari itu seperti mimpi buruk yang tak berujung.
Pengungkapan Misteri
Akhirnya, seorang santri guru bantu, Lestari, menemukan kunci kuno di balik papan kayu longgar di dinding. Ia mengklaim kunci itu milik pengurus asrama sebelum dinas membekukan pengakuan resmi. Selanjutnya, dengan tangan gemetar, Lestari membuka pintu besi di kamar nomor empat—dan di sanalah mereka menyaksikan wujud santri perempuan yang tenggelam dalam pelukan bayangan.
Teror Terakhir dan Kebebasan
Lebih jauh lagi, sosok itu menatap mereka, menangis tanpa air mata, lalu menghilang dengan suara rintihan pilu. Dalam sekejap, lorong kembali terang; pintu-pintu terkunci terbuka; dan bisikan berhenti sama sekali. Dengan cepat, para santri bergegas keluar, meninggalkan Asrama Lama tak diakui yang kini sunyi bak makam.
Akhirnya, ketika fajar merekah, tak ada satu pun santri yang kembali ke bangku asrama. Bahkan bangunan tua itu tampak seperti tertidur, menunggu korban selanjutnya. Meski begitu, bisikan malam dan bayangan dingin akan terus merayap bagi siapa pun yang nekat bertanya: Apa yang sebenarnya tersembunyi di balik pengakuan resmi Dinas Pendidikan?
Politik : Arah Baru RI–Rusia: Ekonomi Strategis dan Diplomasi Timur