Prolog: Dermaga yang Sunyi
Pada malam berkabut, Arwah Pengantin di Dermaga Sepi menanti di ujung dermaga tua. Selanjutnya, angin laut membawa aroma asin yang menusuk, sementara lampu kuning samar memercikkan cahaya di atas papan kayu lapuk. Kemudian aku menjejakkan kaki, merasakan dentuman gelombang yang berirama seperti langkah tentara hantu. Setelah itu, kilatan petir menyingkap sesosok wanita berpakaian pengantin, berdiri di tepian air—matanya kosong, dan gaunnya berlumuran lumpur kelabu.
Kedatangan Penjaga Baru
Awalnya, aku hanyalah penjaga malam yang bertugas menggembalakan dermaga dari vandalisme. Namun demikian, ketika fajar menembus kabut, jejak kaki basah tersisa di antara papan kayu. Selain itu, suara bisikan lembut bergema—suara murahan pengantin yang berderak penuh penyesalan. Meskipun aku berusaha menoleh, ruang di belakang deretan tong kosong tetap hampa, kecuali bayangan kelam yang melengkung dan lenyap.
Bisikan dari Bawah Dermaga
Kemudian aku mendengar bisikan lirih yang memanggil namaku. “Bantu aku…” Suara itu menggema, menembus liang-liang papan. Selanjutnya, aku merunduk dan mengintip celah kayu; cahaya senter menampakkan rongga gelap, di mana bekas kain putih tersangkut di ujung paku. Bahkan ketika aku meraba kain itu, udara dingin menyergap, dan aroma pembusukan menyeruak seakan mayat baru tergali.
Jejak Darah dan Gaun Kusam
Setelah itu, aku melangkah ke ujung dermaga, mengikuti jejak tetesan darah merah pekat. Namun demikian, setiap kali senter menyapu papan kayu, cekungan gelap berubah posisi—seolah ada sesuatu yang bergerak di bawah permukaan. Kemudian aku melihat gaun pengantin tergeletak, kancingnya terlepas, menampilkan noda darah yang masih mengering. Sementara itu, lagu pengamen jauh terdengar terdistorsi, lalu tiba-tiba terhenti, meninggalkanku dalam keheningan menyesakkan.
Penglihatan Sang Arwah
Kemudian pula, di balik layar kabut, sosoknya muncul dengan langkah melayang. Bahkan ketika aku menjerit, tubuhku membeku. Arwah pengantin menyibakkan rambut panjangnya, menampakkan wajah pucat dengan senyum getir. Setelah itu, ia mengangkat tangan seolah menuntunku mendekat—dan setiap helai gaunnya berkibar mengundang nafas terakhir. Namun demikian, aku tertahan oleh suara laut yang meraung, menandai ambang dunia lain.
Ritual Penebusan
Kemudian aku teringat akan legenda setempat: jika arwah pengantin tak dipulangkan, ia akan terus menghantui dermaga sampai akhir zaman. Selain itu, ada catatan tua tentang penanda nisan yang harus diletakkan di dasar laut. Selanjutnya, aku menyiapkan batu nisan kecil bertuliskan nama sang pengantin, lalu menurunkannya ke dalam air dengan jeritan doa. Bahkan ketika batu itu tenggelam, air bergejolak hebat, seolah menolak kehadiranku.
Puncak Teror: Teror Laut Merah
Kemudian tiba-tiba permukaan laut mendidih, memancarkan kilatan merah darah. Sementara itu, sosok pengantin melayang di atas air, menyerukan dendamnya. Meskipun aku berusaha melarikan diri, papan dermaga runtuh, menjebakku di antara teriakan bergema. Selanjutnya, aroma logam dan gaun basah membuat pusing, sementara langit menjadi pekat tanpa cahaya bulan.
Epilog: Dermaga yang Terlupakan
Akhirnya, setelah teriakan terakhir teredam, dermaga kembali sunyi. Namun daun pintu gudang terengah tunduk—bekas gaun pengantin tersangkut di pedang besi. Meskipun tubuhku berhasil lolos, ingatan tentang malam itu tetap menghantui. Karena itu, kisah Arwah Pengantin di Dermaga Sepi akan terus bergema di setiap desir angin laut, menunggu jiwa selanjutnya yang terlalu berani menyusuri senja berdarah.
Inspirasi : Cara Menumbuhkan Rasa Percaya Diri untuk Menghadapi Tantangan