Arwah Bidan Menangis di Puskesmas Terbengkalai Wonosobo

Arwah Bidan Menangis di Puskesmas Terbengkalai Wonosobo post thumbnail image

Bayang di Balik Bangunan Tua

Malam di Wonosobo selalu menyimpan hawa dingin yang menggigit tulang. Namun ada satu tempat yang bahkan udara pegunungannya terasa lebih beku dari biasanya — Puskesmas terbengkalai di tepi jalan Kaliurang Lama. Sudah lebih dari dua dekade bangunan itu ditinggalkan. Cat temboknya mengelupas, jendela-jendelanya retak, dan bau lembap bercampur dengan aroma karat besi yang menguar dari peralatan medis tua yang berkarat di dalamnya.

Masyarakat sekitar menyebutnya sebagai tempat arwah bidan. Katanya, setiap malam Jumat Kliwon, terdengar tangisan samar seorang perempuan dari ruang bersalin. Awalnya pelan, seperti desahan lirih bayi yang baru lahir, lalu berubah menjadi tangis panjang yang memilukan—seolah memanggil seseorang dari balik dunia yang tak terlihat.

Awal Dari Sebuah Tragedi

Dua puluh tahun lalu, puskesmas ini masih beroperasi dengan normal. Ada seorang bidan muda bernama Saras, yang dikenal lembut dan sabar. Ia sudah membantu banyak ibu melahirkan di daerah itu. Namun suatu malam, saat hujan turun sangat deras dan listrik padam di seluruh kecamatan, seorang ibu datang dengan kondisi kritis. Saras sendirian di ruang bersalin malam itu.

“Tenang, Bu… tarik napas, saya akan bantu,” katanya dengan suara lembut di tengah deru hujan.

Namun nasib berkata lain. Bayi yang ditolong Saras tidak selamat, begitu pula sang ibu. Ketika warga datang membantu keesokan paginya, Saras ditemukan tak sadarkan diri di lantai ruang bersalin, bersimbah darah—bukan karena luka, tetapi karena ia mencoba melakukan tindakan medis seorang diri tanpa bantuan alat lengkap.

Sejak hari itu, Saras menghilang. Pihak puskesmas menutup kasus itu dengan alasan ia pindah ke kota lain. Namun warga yang tinggal di sekitar bangunan tua itu tahu kebenarannya: Saras tak pernah pergi.

Kunjungan Mahasiswa Kesehatan

Tahun ini, lima mahasiswa kedokteran dari Jogja datang untuk melakukan dokumentasi bangunan medis tua sebagai tugas penelitian. Mereka—Raka, Dinda, Miko, Tami, dan Guntur—tidak percaya dengan cerita rakyat setempat.

“Cuma sugesti aja, kan?” ujar Raka sambil menyorotkan senter ke papan kayu yang bertuliskan Puskesmas Kaliurang Lama. Huruf-hurufnya nyaris terhapus.

Namun begitu melangkah masuk, hawa dingin seperti menyergap dari segala arah. Dinda yang sensitif terhadap hal gaib mulai gelisah. “Rasanya… ada yang melihat kita,” bisiknya pelan.

Guntur menyalakan kamera, merekam setiap sudut ruangan. Meja pendaftaran masih ada, beberapa catatan medis berserakan di lantai. Di salah satu lembaran, mereka menemukan nama Bidan Saras, 2003.

Miko tertawa kecil. “Nah, ini kan tokoh utamanya cerita warga. Mungkin kita bisa wawancara warga sekitar nanti buat tambahan footage.”

Namun sebelum sempat mereka keluar, dari arah koridor belakang terdengar suara benda jatuh keras, disusul oleh tangisan perempuan yang lirih tapi jelas.

Tangisan di Ruang Bersalin

“Lo denger nggak?” Tami menatap panik.
“Kayak… suara bayi nangis?” sahut Dinda gemetar.

Mereka berjalan mengikuti suara itu menuju ruang bersalin di ujung lorong. Pintu kayu tua itu berderit ketika dibuka. Di dalamnya masih ada ranjang besi berkarat dan lampu gantung yang bergoyang perlahan. Di sudut ruangan, ada baskom logam yang berisi air keruh, dan di lantai tampak noda cokelat tua seperti darah kering.

Tiba-tiba, Dinda berhenti di depan cermin yang retak di dinding. “Astaga…” bisiknya.

Dalam pantulan cermin, tampak sosok perempuan berseragam bidan putih berdiri di belakang mereka. Rambutnya panjang menutupi wajah, dan di dadanya menempel lencana bertuliskan Saras.

Raka menoleh cepat, namun tidak ada siapa pun di ruangan. Saat mereka hendak lari, tangisan itu berubah menjadi jeritan. Lampu senter bergetar, kamera Guntur mati, dan udara di ruangan menebal seperti kabut hitam.

Arwah Bidan Menangis

Raka menubruk pintu keluar, tapi pintu seolah terkunci dari luar. Dari balik kabut, samar-samar terdengar suara perempuan memanggil, “Tolong aku… bayi itu… tolong…”

Tangisan itu kini terdengar di setiap dinding, seakan ruangan itu hidup dan menangis bersama.

Dinda jatuh terduduk sambil menutup telinganya. “Dia nyari bayinya…” gumamnya lirih.

Miko yang panik mencoba memecahkan jendela, namun kaca tidak pecah sama sekali. Lalu dari lantai muncul genangan air yang perlahan berubah warna merah tua. Di dalamnya muncul bayangan wajah pucat dengan mata kosong menatap mereka.

Suara keras seperti detak jantung menggema, dan tiba-tiba mereka semua terpental ke arah yang berbeda. Saat Raka membuka matanya, ruangan itu sudah berubah—lampu menyala terang, seolah puskesmas itu kembali hidup seperti dua puluh tahun lalu.

Di depannya, Saras sedang menggendong bayi dengan wajah penuh air mata. “Aku hanya ingin menyelamatkan mereka… tapi aku gagal…” katanya sambil menatap Raka. “Sekarang aku di sini, menunggu mereka kembali.”

Bayangan hitam melintas di belakang Saras, lalu tangis bayi bergema memenuhi udara. Raka menutup telinganya dan berlari keluar, meninggalkan teman-temannya yang masih terperangkap di dalam.

Kembali ke Dunia Nyata

Raka terbangun keesokan harinya di pinggir jalan, tepat di depan puskesmas. Ia sendirian. Polisi dan warga sudah ramai di sana. Menurut saksi, mereka hanya menemukan satu orang, sementara empat lainnya hilang tanpa jejak.

Ketika polisi masuk, seluruh interior bangunan kembali gelap dan rusak seperti semula. Tidak ada tanda-tanda aktivitas manusia. Namun di meja pendaftaran, ada rekaman video dari kamera Guntur.

Dalam rekaman itu terlihat bayangan Saras berjalan melewati kamera, lalu berhenti menatap lensa. “Mereka yang masuk… tidak akan keluar sebelum mendengar tangisanku…” katanya dengan suara serak, lalu layar mendadak gelap.

Epilog: Tangisan Tak Pernah Usai

Beberapa minggu setelah kejadian itu, warga kembali melaporkan suara tangisan perempuan dan bayi dari arah puskesmas setiap malam Jumat. Pemerintah sempat berencana merobohkan bangunan itu, tapi para pekerja menolak karena mesin bor selalu mati saat mulai menembus lantai ruang bersalin.

Raka yang kini dirawat di rumah sakit jiwa Wonosobo sering berteriak di malam hari, memanggil nama teman-temannya. Kadang ia menulis di dinding kamarnya:

“Dia tidak berhenti menangis. Saras masih menunggu bayi yang tak pernah lahir.”

Food & Traveling : Makanan Berbumbu Kacang yang Jadi Primadona Nusantara

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Post