Angin Menjerit Sunyi: Jeritan Malam Tanpa Akhir

Angin Menjerit Sunyi: Jeritan Malam Tanpa Akhir post thumbnail image

Angin Menjerit Sunyi menyergap saat fajar tertutup awan kelam. Pertama-tama, aku merasakan hembusan dingin yang tak wajar, seakan membawa jeritan jauh dari lorong tanpa akhir. Namun, rasa penasaran membuatku bertahan di depan jendela tua yang beradu suara nyaring dengan angin malam yang menjerit sunyi itu.

Awal Malam yang Menyimpan Misteri

Pertama-tama, aku menutup gorden rapat-rapat dan menyalakan lampu ruang tamu. Namun, lampu berkelip seolah menolak menyingkirkan kegelapan. Selanjutnya, terdengar desahan lembut di sudut rumah, seakan ada sosok tak kasat mata melintas. Oleh karena itu, aku menahan napas dan menunggu suara itu berhenti.

Di saat itu, aku ingat cerita tetangga tentang rumah ini—bagaimana dulu pemiliknya hilang dalam badai hebat tanpa jejak. Selain itu, kabar angin ribut selalu menjerit di lorong sempit, membawa bisikan kesedihan. Sebagai akibatnya, malam ini terasa lebih berat.

Bisikan di Balik Jendela

Kemudian, aku mendengar suara ketukan samar di jendela. Tiba-tiba, bayangan panjang menari-nari di balik kelambu tipis. Meskipun begitu, keinginan untuk menguak misteri makin menggumpal. Aku melangkah perlahan, kaki kiri terhenti karena papan kayu berderit. Selanjutnya, aku menempelkan telinga ke kayu dingin—di sana ada bisikan: “Tolong…”.

Namun, suara itu teredam angin yang menjerit semakin kencang. Oleh karena itu, aku merasakan jantung berdegup tidak karuan. Selain itu, gemerisik daun di taman belakang seolah bersorak mengikuti ritme terrormu malam ini.

Pencarian Jejak

Setelah itu, aku mengambil senter dari rak buku. Dengan hati-hati, aku menelusuri koridor gelap. Namun, setiap kali aku menoleh, hanya dinding retak dan gelap yang menatap balik. Kemudian, di ujung lorong, aku menemukan cermin pecah setengah—cahaya senterku memantulkan serpihan berdarah yang mengerikan.

Pada saat itu, aku menunduk dan melihat jejak kaki berlumpur di lantai. Jejak itu bergerak ke dalam ruang bawah tanah. Seolah dipaksa, aku menapaki tangga tua hingga akhirnya sampai di pintu kayu tua yang berderit saat kubuka perlahan.

Turun ke Ruang Bawah

Begitu pintu terbuka, udara dingin menusuk tulang punggung. Selain itu, bayangan terpanjang menanti di sudut gelap. Pertama-tama, aku menyalakan senter. Cahaya temaram menyoroti kursi goyang yang terguncang perlahan, meski tak ada yang duduk di sana.

Kemudian, di pojok ruangan, aku melihat sosok tinggi berdiri menatapku. Sosok itu tertutup kain putih sobek, dan suara napasnya beradu dengan desir angin di atas tanah lembap. Tiba-tiba, kain itu terbang, memperlihatkan wajah kosong tanpa mata, hanya rongga gelap yang meratap.

Konfrontasi dengan Teror

Selanjutnya, sosok itu melangkah mendekat. Meskipun kakinya menapak halus, suaranya terasa menggelegar di kepalaku. Ia mengulurkan tangan berdarah, tangisan nyaring pecah dari mulutnya yang terbelah. Aku terkejut, namun naluri bertahan hidup membuatku mundur.

Namun, langkahku terhenti karena ranting patah di belakangku. Ketika aku menoleh, ranting itu terbang ke arahnya, memercikkan percikan api kecil. Sebagai akibatnya, sosok itu tersentak, memberikan kesempatan untukku melarikan diri.

Lari ke Tengah Hutan

Dengan napas terengah, aku menanjak keluar dari ruang bawah. Selanjutnya, aku keluar rumah dan berlari menembus gerimis malam. Namun, jalan setapak di antara pepohonan hitam semakin memancing ketakutan—angin yang menjerit sunyi kini membawa suara tawa serak.

Kemudian, cahaya lampu kota terlihat samar di kejauhan, memberiku harapan. Meskipun begitu, bayangannya kian dekat, menempel di punggungku. Selanjutnya, aku berlari lebih cepat, menendang ranting, hingga akhirnya mencapai jalan beraspal.

Tiba di Desa Terdekat

Setelah berlari tanpa henti, aku sampai di desa terpencil. Namun, suasana di sana tak kalah mencekam. Di sana, penduduk menatapku ngeri, sedangkan suara angin yang menjerit masih terngiang di telinga mereka. Aku menceritakan apa yang kulihat, namun mereka hanya mendesah waswas.

Selanjutnya, sesepuh desa berkata bahwa Angin Menjerit Sunyi adalah kutukan lama—suara para roh yang terperangkap saat badai menewaskan satu dusun. Oleh karena itu, mereka percaya roh itu berusaha menemukan jalan pulang dengan memanggil orang hidup.

Ritual Pelepasan

Kemudian, para tetua desa mengajakku kembali ke rumah tua itu pada malam purnama. Dengan memberi sesajen dan membakar dupa, mereka memulai ritual pelepasan roh. Meskipun aku ragu, bisikan terdalam mengatakan bahwa ini satu-satunya cara menghentikan kengerian.

Pada saat itu, angin menjerit sunyi berubah menjadi gemuruh tumpah—bayangan-bayangan gaib menari di sekitar kita. Namun, sesepuh memimpin mantra dengan suara tenang, walau suaranya bergetar menembus badai.

Puncak Ritual

Selanjutnya, roh itu muncul dalam wujud kabut putih, melayang mengelilingi pagar rumah. Angin menderu kencang, membalikkan kain dan menimbulkan suara ratapan kelam. Namun, ritual terus berjalan hingga purnama mencapai puncak sinarnya.

Kemudian, kabut itu mengerucut, dan suara tangisan berubah menjadi seruan harapan. Sebagai akibatnya, kabut perlahan menghilang, meninggalkan kesunyian yang damai. Angin berhenti menjerit sunyi—digantikan desir lembut pepohonan.

Akhir yang Menyisakan Luka

Akhirnya, pagi menjelang dengan cahaya lembut. Aku berdiri lemas di depan pintu rumah tua, menyaksikan damainya pagi. Namun, bayangan roh itu sesaat melintas di jendela, menatapku dengan mata kosong yang penuh rasa terima kasih.

Namun, aku tahu—meski angin tak lagi menjerit, kenangan malam itu akan terus menghantui pikiranku. Angin Menjerit Sunyi menjadi bisikan abadi, mengingatkan bahwa kegelapan bisa saja datang tiba-tiba, saat kau paling merasa aman.

Makanan dan Perjalanan : Mencicipi Keindahan Alam dan Makanan: Wisata Kuliner di Yogyakarta

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Post