Pada sore yang mendung, sosok tak bernama mengintai di balik bayangan pepohonan, sementara anak-anak di gang sempit mulai bersorak riang hendak bermain petak umpet. Namun, ketika salah satu anak menghitung sampai sepuluh dan kemudian menjerit “siap!”, kegembiraan itu segera berubah menjadi kepanikan, sebab tidak seorang pun menyadari bahwa ada entitas halus yang ikut bermain—dan tentu saja, ia tak bernama.
Awal Keriangan yang Terganggu
Awalnya, suasana tampak biasa saja. Anak-anak berjumlah enam orang dengan semangat membara menyiapkan tempat persembunyian: di balik motor tua, di balik tumpukan kayu, bahkan di dalam selasar rumah kosong. Namun, setelah beberapa menit berlalu, penulis yang kebetulan lewat melihat satu anak—Dito—berdiri terpaku di depan pintu teralis, menatap lurus ke dalam lorong gelap. Selanjutnya, Dito berbisik pelan, “Ada yang menatapku.”
Dengan demikian, keriangan berubah menjadi pertanyaan penuh kekhawatiran. Meskipun dia segera menutup mata dan kembali menghitung, tetapi getar suara hitungan tidak lagi terdengar seperti biasanya. Malahan, ada jeda-jeda aneh yang seolah memperpanjang hitungan hingga detak jantung semakin cepat.
Tanda-Tanda yang Mula-Mula Terlihat
Seiring waktu, beberapa anak merasakan bisikan udara dingin menyentuh leher mereka. Bahkan, ketika mereka bersembunyi di balik pagar, terdengar suara langkah kaki ringan—namun bukan dari mereka. Oleh karena itu, satu per satu anak memutuskan pindah tempat, berpindah ke sudut gelap yang lain, berharap rasa was-was itu berlalu.
Lebih jauh lagi, ketika lampu jalan redup bergemerlap, bayangan samar melintas di ujung gang. Bayangan itu tipis, tanpa wajah, dan bergerak cepat. Padahal, tidak ada orang dewasa atau tetangga yang lewat. Kemudian, sesosok bayangan itu seolah menoleh, meski tidak ada kepala yang terlihat di balik tubuh abu-abu itu.
Teror Petak Umpet Pertama
Ketika hitungan “satu… dua… tiga…” mencapai sepuluh, tak ada seorang pun yang menjawab panggilan Dito. Malahan, tercium bau anyir seperti tanah basah bercampur jerami tua di sekitar. Lantas, Dito membuka matanya dan berlari terbirit-birit, menjerit, “Sosok itu! Sosok tak bernama itu!”
Selanjutnya, teman-temannya yang bersembunyi di sudut pagar berhamburan keluar, mencari Dito. Namun, lorong sempit itu tampak kosong, kecuali suara pintu besi yang berderit pelan. Anehnya, suara deritan itu datang persis dari dalam rumah kosong di ujung gang—tempat seharusnya tidak ada aktivitas.
Pencarian yang Membawa Petaka
Kemudian, dengan keberanian setengah mati, Eni dan Rara memutuskan memeriksa rumah itu. Pertama, mereka menapak pelan ke halaman, lalu mendekat ke pintu yang setengah terbuka. Meskipun kaki gemetar, Eni meraih gagang pintu dan mendorongnya perlahan.
Namun, momen itu justru memicu sebuah ledakan kengerian: di sudut ruang tengah, terlihat siluet manusia tanpa wajah, berdiri tegap sambil memegang boneka kertas sobek. Selanjutnya, rumah menjadi senyap sejenak, lalu suara tawa sinis bergema, menebar dingin hingga tulang sumsum.
Pertemuan dengan Sosok Tak Bernama
Karena tak tahan, Rara menjerit dan lari terbirit keluar, menarik Eni bersamanya. Namun demikian, jejak kakinya tertinggal di lantai kayu—bekas tapak telanjang yang sepertinya bukan milik anak kecil. Beberapa detik kemudian, sosok itu ikut keluar, melayang mengikuti Rara dalam diam.
Lebih menakutkan, bayangan sosok berpindah antar tembok, tanpa suara langkah, melainkan hanya hembusan napas dingin. Sementara itu, anak-anak yang lain menunggu di ujung gang, bingung melihat dua temannya muncul dengan wajah pucat pasi, matanya memerah menahan air mata.
Upaya Memanggil Orang Tua
Kemudian, mereka berlari ke rumah Kak Sari yang tinggal tak jauh dari tempat itu. Selanjutnya, mereka menceritakan seluruh kejadian dengan terengah-engah. Kak Sari yang prihatin mengajak mereka kembali dan membawa senter serta saluran doa. Namun, begitu tiba di gang, lampu-lampu jalan tiba-tiba padam total.
Oleh karena itu, langit malam semakin pekat, seakan menelan suara mereka. Lampu senter yang hanya satu tampak kurang terang. Dengan demikian, Kak Sari menyarankan agar anak-anak merapat, membaca ayat perlindungan, dan mengusir ketakutan mereka sendiri agar sosok itu tak berani mendekat.
Ritual Sederhana yang Gagal
Meskipun telah membaca doa dan menyalakan lilin, keheningan justru semakin menekan. Selanjutnya, sosok tak bernama muncul lagi, kali ini lebih dekat—hanya beberapa meter dari barisan mereka. Tanpa menunggu, Kak Sari melafalkan ayat suci lebih kuat, sambil menabrakkan tangan ke batu nisan kecil yang sengaja dibawa dari rumah.
Sayangnya, ritual sederhana itu gagal menahan arwah yang kuat. Malahan, lilin padam satu per satu, dan hawa dingin berputar membentuk pusaran kabut. Anak-anak berpegangan tangan, menggigil ketakutan, sementara sosok itu mendekat perlahan, memperlihatkan lekukan wajah yang samar—lebih menyeramkan karena tak terlihat jelas.
Pelarian yang Panik
Selanjutnya, dengan teriakan histeris, mereka semua melarikan diri ke dalam rumah Kak Sari. Namun, saat menutup pintu rapat-rapat, suara dentuman keras mengguncang kayu pintu, menandakan sosok itu mencoba memaksa masuk. Oleh karena itu, Kak Sari segera mengunci pintu kedua dan menyalakan lampu rumah sebanyak mungkin.
Karena lampu listrik kembali menyala, seketika bayangan itu menghilang, membubung ke atas seolah menguap. Beberapa detik berlalu, rumah kembali tenang. Namun, jantung mereka masih berdebar. Mereka saling memandang, bertanya-tanya apakah pagi akan tiba dengan selamat.
Misteri Asal Sosok Tak Bernama
Setelah situasi mereda, Kak Sari bercerita bahwa dulunya, di gang itu pernah terjadi kecelakaan tragis: seorang anak hilang tanpa jejak saat bermain petak umpet puluhan tahun lalu. Meski keluarga dan warga mencari, tidak ditemukan, kecuali boneka kertas sobek—yang kini dipegang oleh sosok halus itu.
Maka, diduga arwah anak malang itu tak mendapat keadilan untuk “pulang,” sehingga terus bergolak di tempat permainan lamanya. Dengan demikian, ia mengundang anak-anak lain bermain, berharap seseorang berhasil menemukannya dan merelakannya pergi.
Penutup yang Menegangkan
Kemudian, untuk menghentikan teror, mereka memutuskan menangkap boneka kertas itu dan membawanya ke tepi sungai, membiarkannya hanyut ke muara. Namun, malam itu, sungai sedang pasang, air keruh berdesir menakutkan. Saat boneka diletakkan di atas air, bulir hujan mulai turun, mencampur lumpur dan memori kelam.
Selanjutnya, boneka kertas menepi sejenak, lalu larut di dalam arus. Tiba-tiba, dari dasar sungai terdengar jeritan tertahan, seakan arwah lega, namun juga menimbulkan duka. Beberapa detik kemudian, air tenang kembali, lampu jalan memantulkan cahaya ke permukaan sungai.
Akhirnya, anak-anak pulang dengan hati lega sekaligus trauma. Meskipun malam itu sosok tak bernama mungkin telah pergi, bayangan dan bisikan hawa dingin—terutama saat bermain petak umpet—pernah mengingatkan mereka bahwa ada entitas yang tak boleh diabaikan begitu saja.
Otomotif : Perbandingan Mobil Diesel dan Bensin: Mana Pilihan Anda